ANALISIS
DAN IDENTIFIKASI NILAI KERAPATAN MANGROVE
DI DESA
ILANGATA KECAMATAN ANGGREK KABUPATEN
GORONTALO
UTARA
OLEH
SANDRIANTO
DJUNAIDI
FORUM KAJIAN
PENELITI PERIKANAN
KOMUNITAS DEHETO
HULONTHALO
FISHERIES OF
RESEARCH
2016
KATA
PENGANTAR
Puji syukur ke Hadirat
ALLAH SWT karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan skripsi ini. Banyak hal yang terjadi berkat kuasa-Nya sehingga
segala sesuatunya dimudahkan. Salawat dan salam tak lupa kita ucapkan kepada
junjungan Nabi Muhammad SAW dan keluarganya.
Laporan ini berjudul “Analisis dan Identifikasi Nilai Kerapatan
Mangrove di Desa Ilangata Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara”. Laporan
praktikum ini berisi uraian tentang membandingkan kerapatan, dan tingkat
penutupan jenis mangrove.
Disadari sepenuhnya
bahwa meskipun tulisan ini telah disusun dengan usaha yang semaksimal mungkin,
namun bukan mustahil bila di dalamnya terdapat berbagai kekurangan. Oleh karena
itu penyusun dengan kerendahan hati akan menerima setiap saran dan kritik untuk
perbaikan dari semua pihak demi kesempurnaan laporan ini dan untuk pelajaran
dimasa yang akan datang.
Harapan penyusun semoga
laporan ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Akhir kata semoga ALLAH
SWT memberikan balasan yang setimpal kepada semua pihak yang telah membantu
penyusun dalam pengembangan diri dikemudian hari dan senantisa menunjukkan
jalan yang terbaik untuk kita serta dapat menuntun kita untuk terus bekerja
dengan tulus, Amin.
Gorontalo, Januari 2016
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Ekosistem
mangrove sebagai salah satu ekosistem penting di kawasan pesisir pantai terus
mengalami tekanan di seluruh dunia. FAO (2003) mencatat bahwa luas mangrove
dunia pada tahun 1980 mencapai 19,8 jt ha, turun menjadi 16,4 juta ha pada tahun 1990, dan menjadi 14,6
juta ha pada tahun 2000. Sedangkan di
Indonesia, luas mangrove mencapai 4,25 juta hektar pada tahun 1980, turun
menjadi 3,53 juta hektar pada tahun 199,0 dan tersisa 2,93 juta hektar pada
tahun 2000. Apabila tidak diimbangi dengan kebijakan pengelolaan yang tepat,
fenomena degradasi mangrove akan terus
terjadi seiring dengan meningkatnya kebutuhan ruang untuk pembangunan sarana
dan prasarana ekonomi. Ancaman degradasi mangrove akan semakin besar potensi
terjadinya pada daerah yang dekat dengan pusat kegiatan ekonomi.
Ekosistem mangrove
merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang mempunyai peran sangat penting
dalam mendukung produktivitas perikanan, sebagai nursery ground (tempat pembesaran) dan spawning
ground (tempat pemijahan) bagi beragam
jenis biota air. Disamping itu juga sebagai penahan erosi pantai, pencegah intrusi air laut ke daratan,
pengendali banjir, merupakan perlindungan
pantai secara alami mengurangi resiko dari bahaya tsunami dan juga merupakan habitat dari beberapa jenis satwa liar
(burung, mamalia, reptilia dan amphibia)
(Othman, 1994).
Hutan mangrove
juga merupakan salah satu sumberdaya hayati pesisir dan laut yang mempunyai
tipe vegetasi khas di daerah pantai tropis (Nirarita dkk, 1996 dalam Usman dkk, 2013). Kawasan pesisir
Gorontalo yang memiliki potensi sumberdaya hutan mangrove yakni wilayah
Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara dengan luas hutan mangrove ±
1.441,04 Ha, atau 5,29% dari seluruh luasan wilayahnya 27. 228, 79 Ha. (Dinas
Kehutanan Gorontalo Utara, 200)
Didasarkan pada
manfaat hutan mangrove, diperlukan adanya perhatian khusus bagi komunitas hutan
mangrove ini. Untuk mencegah dan
menaggulangi kerusakan hutan mangrove diperlukan inventarisasi tentang
distribusi, luas dan kerapatan magrove. Inventarisasi ini berguna untuk
pengelolaan dan penetapan kebijakan pada ekosistem mangrove dan daerah pesisir
sehingganya perlu dilakukan pengamatan tentang analisis dan identifikasi nilai
kerapatan mangrove di Desa Ilangata Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara
1.2 Tujuan
Praktikum rehabilitasi dan
pengembangan ekosistem ini bertujuan untuk melakukan Field Trip untuk analisis vegetasi dan komunitas mangrove
menggunakan metode line transect,
menganalisis indeks nilai penting (INP) ekosistem mangrove berdasarkan hasil
analisis vegetasi, menilai kesehatan mangrove berdasarkan tingkat kerusakan
tegakannya.
1.3
Manfaat
Manfaat
praktikum ini diharapkan menjadi bahan informasi
tentang pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Selain itu juga diharapkan
menjadi langkah awal pengambilan kebijaksanaan pengelolaan hutan mangrove bagi
kepentingan pengembangan perikanan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Mangrove
Kata
mangrove berasal dari kombinasi antara istilah dalam Bahasa Portugis mangue dan
Bahasa Inggris grove (Macnae, 1974). Menurut bahasa Inggris, kata mangrove
digunakan untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut atau
setiap individu jenis tumbuhan yang berasosiasi dengannya, sedangkan dalam bahasa
Portugis istilah mangrove digunakan untuk setiap individu spesies tumbuhan yang
hidup di laut dan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan yang terdiri
dari jenis-jenis mangrove (Macnae, 1974).
Hutan mangrove merupakan komunitas
pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu
tumbuh dan berkembang di daerah pasang surut baik pantai berlumpur atau
berpasir (Bengen, 1999). Saenger et al. (1983) mendefinisikan mangrove sebagai
karaktersitik formasi
tanaman littoral tropis dan sub tropis di sekitar garis pantai yang terlindung.
Nybakken (1992) menggunakan sebutan bakau untuk suatu komunitas vegetasi pantai
tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak
dengan kemampuan untuk tumbuh di perairan asin. Mangrove juga didefinisikan
sebagai ekosistem hutan yang memiliki toleransi terhadap kadar garam pada
daerah intertidal di sepanjang garis pantai (Hamilton dan Snedaker, 1984 in
Aksornkoae, 1993).
2.2 Distribusi dan Zonasi Mangrove
Nontji (1987), menyatakan bahwa ekosistem mangrove di Indonesia memiliki
keanekaragaman jenis yang tinggi. Tercatat 89 jenis, yaitu 35 jenis berupa
pohon, selebihnya berupa 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 29 jenis epifit dan 2
jenis parasit. Beberapa jenis yang umum dijumpai di wilayah pesisir Indonesia
adalah Bakau (Rhizophora), Api-api (Avicennia), Pedada (Sonneratia), Tanjang (Bruguiera),
Nyirih (Xylocarpus), Tengar (Ceriops), dan Buta-buta (Exoecaria) (Kawaroe, 2000).
Menurut Bengen (1999), salah satu zonasi hutan
mangrove, yaitu :
a)
Daerah
yang paling dekat dengan laut dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi
oleh Avicennia sp. Di zona ini biasa
berasosiasi jenis Sonneratia sp. yang
dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
b)
Lebih
ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora sp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera sp. dan Xylocarpus
sp.
c)
Zona
berikutnya didominasi oleh Bruguiera
sp.
d) Zona transisi antara hutan
mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans dan beberapa spesies palem lainnya.
Gambar 1. Tipe zonasi mangrove dari
laut ke darat (Bengen, 1999)
2.3 Adaptasi Vegetasi Mangrove
Beberapa
adaptasi mangrove antara lain (Bengen, 1999) :
a. Adaptasi terhadap kadar oksigen rendah.
Pohon mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas. Avicennia sp Xylocarpus
sp dan Sonneratia sp memiliki tipe
akar cakar ayam dengan pneumatofora untuk mengambil oksigen dari udara. Rhizophora sp memiliki tipe akar
penyangga atau tongkat dengan lentisel (Gambar 2).
Gambar 2. Tipe-tipe akar mangrove (a) akar papan (b)
akar cakar ayam
(c) akar tunjang (d) akar lutut (Bengen, 1999)
b. Adaptasi terhadap kadar garam
tinggi
Mangrove memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk
menyimpan garam. Daun mangrove yang tebal, kuat dan banyak mengandung air
berfungsi mengatur keseimbangan garam. Daun mangrove juga dilengkapi struktur
stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
c. Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil
dan pasang surut
Mangrove mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk
jaringan horizontal yang lebar. Selain memperkokoh pohon, akar tersebut juga
berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
Hutchings dan Saenger (1987), menjelaskan tiga cara mangrove beradaptasi,
yaitu :
a)
Salt
Extrusion / Salt Secretion. Mangrove menyerap air bersalinitas tinggi kemudian
mengeksresikan garam-garaman melalui sistem yang terdapat dalam salt gland di
daun.
b)
Salt
Eclusion. Akar mangrove mencegah garam-garaman masuk dengan cara menyaring
garam-garaman tersebut.
c)
Salt
Accumulation. Mangrove mengakumulasi garam-garaman (Na dan Cl) di daun, kulit
kayu dan akar. Daun penyimpan garam biasanya akan gugur setelah akumulasi garam
melewati batas. Kelebihan garam dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan
buah mangrove.
2.4 Analisis Vegetasi Mangrove
Beberapa
analisis yang dijadikan sebagai tolak ukur dalam menentukan vegetasi mangrove
adalah kerapatan, frekuensi, dominansi dan indeks nilai penting (INP).
a.
Kerapatan
Kerapatan jenis mangrove merupakan
parameter untuk menduga kepadatan jenis mangrove pada suatu komunitas. Kerapatan
jenis pada suatu daerah memberikan gambaran ketersediaan dan potensi tumbuhan
mangrove. Supardjo (2007) dalam Usman (2013) menyatakan bahwa tinggi rendahnya
kerapatan mangrove disebabkan oleh matahari yang dibutuhkan untuk
berfotosintesis, selain itu kerapatan jenis juga dipengaruhi oleh jenis
vegetasi mangrove yang toleran terhadap kondisi lingkungan. Kerapatan padat ≥
1.500 ind/Ha, sedang ≥ 1.000 – 1.500 ind/Ha dan jarang < 1.000 ind/Ha
(Usman, 2013).
b.
Frekuensi
Sultan (2001) dalam Usman (2013), bahwa frekuensi
suatu jenis menunjukan penyebaran suatu jenis dalam suatu area. Jenis yang
menyebar secara merata mempunyai frekuensi yang kecil mempunyai daerah sebaran
yang tidak merata dan kurang luas. Jenis mangrove yang mempunyai penyebaran
yang merata dan luas disominansi oleh jenis Rhizopora.
Sementara frekuensi relative merupakan pengukuran distribusi spesies yang
ditemukan pada plot yang dikaji. Nilai dari frekuensi relative menunjukan
keseringan suatu jenis ditemukan dalam suatu kawasan. Tinggi rendahnya nilai
frekuensi relatif disebabkan oleh terjadinya kompetisi yang tidak seimbang
antar jenis mangrove yang menempati suatu habitat yang sama, sehingga kurang
kompetetif dalam memperoleh unsure hara (Bengen, 2000).
c.
Dominansi
Dominansi suatu
jenis merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan suatu jenis tumbuhan
tingkat pohon dalam hal bersaing dengan tumbuhan lainnya, dalam hal ini terkait
dengan besarnya diameter tumbunhan. Sementara luas basal area suatu jenis pohon
mangrove dapat diperoleh dari diameter pohon setinggi 1.5 meter dari permukaan
tanah atau setinggi dada dari permukaan tanah. Hal ini berarti semakin besar
diameter pohon suatu tumbuhan, maka luas basal area pohon juga semakin besar.
Sementara tingginya dominansi relatif menunjukan bahwa suatu kawasan memiliki
kekayaan jenis yang rendah (Usman, 2013).
d.
Indeks
Nilai Penting (INP)
Fachrul (2007) dalam Usman (2013) menyatakan bahwa Indeks Nilai Penting (INP) merupakan
indeks yang memberikan suatu gambaran mengenai pentingnya peranan atau pengaruh
pada suatu vegetasi mangrove dalam suatu lokasi. Indeks nilai penting bisa
digunakan untuk menentukan dominansi jenis tumbuhan terhadap jenis tumbuhan
lainnya, karena dalam suatu komunitas yang bersifat heterogen, data parameter
vegetasi dari nilai frekuensi, kerapatan dan dominansinya tidak dapat
menggambarkan komunitas tumbuhan secara menyeluruh, maka untuk menentukan nilai
pentingnya mempunyai kaitan dengan struktur komunitas dapat diketahui dari
indeks nilai penting lainnya, yaitu suatu indeks yang dihitung berdasarkan
jumlah seluruh nilai frekuensi relatif (FR), kerapatan relatif (KR) dan
dominansi relatif (DR). kisaran INP untuk tingkat pohon yakni 0 – 300 %
sedangkan untuk kisaran INP semai yakni 0 – 200 %.
2.5 Faktor Pembatas Pertumbuhan Mangrove
Faktor-faktor lingkungan yang berinteraksi satu sama lain secara
kompleks akan menghasilkan asosiasi jenis yang juga kompleks. Dimana distribusi
individu jenis tumbuhan mangrove sangat dikontrol oleh variasi faktor-faktor
lingkungan seperti tinggi rata-rata air, salinitas, pH, dan pengendapan
(Hasmawati, 2001)
1. Suhu
Pada perairan tropik suhu permukaan air laut pada umumnya 27°C -
29°C. Pada perairan yang dangkal dapat mencapai 34°C. Di dalam hutan bakau
sendiri suhunya lebih rendah dan variasinya hampir sama dengan daerah-daerah
pesisir lain yang ternaung .
2. Pasang Surut
Pasang surut adalah naik turunnya air laut (mean sea level) sebagai
gaya tarik bulan dan matahari. Untuk daerah pantai fenomena seperti ini
merupakan proses yang sangat penting, yang tidak dapat diabaikan oleh manusia
dalam usahanya untuk memanfaatkan, mengelola maupun melestarikan daerah
pesisir.
Pengaruh aktifitas pasang surut di daerah muara sungai sangat
besar karena pasut bukan hanya merubah paras laut dengan merubah kedalamannya,
melainkan dapat pula sebagai pembangkit arus yang dapat mentranspor sedimen.
Selain itu pasut juga berperan terhadap proses-proses di pantai, seperti
penyebaran sedimen dan abrasi pantai. Pasang naik akan menimbulkan gelombang
laut dimana sedimen akan menyebar di dekat pantai, sedangkan bila air laut
surut akan menyebabkan majunya
sedimentasi ke arah laut lepas (Kaharuddin, 1994)
3. Substrat
(sedimen).
Sedangkan Anwar dkk. (1984), menyatakan bahwa lahan yang
terdekat dengan air pada areal hutan mangrove biasanya terdiri dari lumpur
dimana lumpur diendapkan. Tanah ini biasanya terdiri dari kira-kira 75% pasir
halus, sedangkan kebanyakan dari sisanya terdiri dari pasir lempung yang lebih
halus lagi. Lumpur tersebut melebar dari ketinggian rata-rata pasang surut
sewaktu pasang berkisar terendah dan tergenangi air setiap kali terjadi pasang
sepanjang tahun. Klasifikasi sedimen pantai disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Sedimen Pantai Berdasarkan Skala Wentworth
Kelas Ukuran Butiran
|
Diameter Butiran
|
|
Mm
|
Skala
|
|
Boulder (Berangkal)
|
>256
|
<-8
|
Cobbe (kerikil kasar)
|
45 -256
|
(-6) –
(-8)
|
Pebble (kerikil sedang)
|
4 – 64
|
(-2) –
(-6)
|
Granule (kerikil halus)
|
2 – 4
|
(-1) –
(-2)
|
Very Coarse Sand (Pasir sangat halus)
|
1 – 2
|
0 – (-1)
|
Coarse Sand (pasir sedang)
|
0,5 – 1
|
1 – 0
|
Medium Sand (Pasir sedang)
|
0,23 – 1
|
2- 1
|
Fine Sand (pasir halus)
|
0,125 –
0,25
|
3 – 2
|
Very Fine Sand (pasir sangat halus)
|
0,062 –
0,125
|
4 – 3
|
Silt (debu)
|
0,0039 –
0,062
|
8 – 4
|
Clay (lumpur)
|
<
0,0039
|
> 8
|
Sumber : Hutabarat dan Evans,
1985
4. Kecepatan Arus
Arus merupakan perpindahan massa air dari suatu tempat ke tempat
lain di sebabkan oleh sebgaian faktor seperti hembusan angin, perbedaan
densitas atau pasang surut. Faktor utama yang dapat menimbulkan arus yang
relatife kuat adalah angin dan pasang surut. Arus yang disebabkan oleh angin
pada umumnya bersifat musiman dimana pada suatu musim arus mengalir ke suatu
arah dengan tetap pada musim berikutnya akan berubah arah sesuai dengan
perubahan arah angin yang terjadi (Hasmawati, 2001)
Hasmawati (2001), menyatakan bahwa kecepatan arus secara tak langsung akan
mempengaruhi substrat dasar perairan. Berdasarkan kecepatannya maka arus dapat
dikelompokkan menjadi arus sangat cepat (>1 m/dt), arus cepat (0,5-1 m/dt),
arus sedang (0,1-0,5 m/dt) dan arus lanibat (<0,1 m/dt).
5. Salinitas
Pohon mangrove tahan terhadap air tanah dengan
kadar garam tinggi, tetapi pohon-pohon mangrove juga dapat tumbuh dengan
baik di air tawar (Anwar,dkk,.1984). Ketersediaan air tawar dan
konsentrasi salinitas mengendalikan efesiensi matabolik (metabolic efficiency) vegetasi
hutan mangrove. Walaupun spesies vegetasi mangrove memiliki mekanisme
adaptasi yang tinggi terhadap salinitas, namun kekurangan air tawar
menyebabkan kadar
garam tanah dan air mencapai kondisi ekstrim sehingga mengancam
kelangsungan
hidupnya (Dahuri, 2003). .
6. Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman untuk perairan alami berkisar antara 4-9
penyimpangan yang cukup besar dari pH yang semestinya, dapat dipakai sebagai
petunjuk akan adanya buangan industri yang bersifat asam atau basa yaitu
berkisar antara 5-8 untuk air dan untuk tanah 6 - 8,5 dan kondisi pH di
perairan mangrove biasanya bersifat asam, karena banyak bahan-bahan organik di kawasan
tersebut. Nilai pH ini mempunyai batasan toleransi yang sangat bervariasi dan
dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas
dan stadia organisme (Hasmawati, 2001).
BAB III
METODE PRAKTEK
3.1
Waktu dan Tempat
Pengamatan ini dilaksanakan di Desa Ilangata,
Kecamatan Anggrek Kabupaten
Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo.
3.2 Alat Dan Bahan
Alat dan bahan yang
digunakan dalam kegiatan praktikum ini
dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3:
Tabel 2. Alat yang digunakan saat praktikum.
No
|
Alat
|
Kegunaan
|
1
|
GPS (Global Positioning System
|
Menentukan titik koordinat
|
2
|
Alat tulis menulis
|
Mencatat hasil praktikum
|
3
|
Pisau atau parang
|
Memotong tali dan membantu dalam pembuatan transek
|
4
|
Tali raffia
|
Pembuatan line transek
|
5
|
Termometer
|
Pengukuran Suhu
|
6
|
Kamera
|
Dokumentasi kegiatan praktek
|
Tabel 3. Bahan yang digunakan saat praktikum
No
|
Bahan
|
Kegunaan
|
1
|
Mangrove
sheet
|
Panduaan dalam identifikasi
|
2
|
Tali raffia
|
Pembuatan line transek
|
3.3 Prosedur Kerja
Prosedur kerja pada praktikum ini
adalah :
1) Menentukan
stasiun pengamatan untuk pembuatan line transect
2) Membuat garis tegak lurus menggunakan talli raffia sejauh lebih
dari 30 meter
3) Menggunakan GPS untuk mentagging koordinat awal tali dan ujung
tali. Posisi kedua titik koordinat (awal dan akhir tali sejauh 30 meter) di rekam
dalam GPS atau dicatat (nilai Bujur/longitude
dan Lintang/latitude dan
ketinggian/elevation kedua titik pada line
transect).
4) Membuat kuadran ukuran 10 x 10 sebanyak 3 buah.
Sebaran kuadran dibuat berselang – seling untuk memenuhi kaidah random seperti
gambar dibawah ini
Gambar 4.
Contoh Pembuatan dua buah (A dan B) Line Transect pada Posisi Garis Pantai.
Posisi A-A’ dan B-B’ masing-masing adalah posisi awal dan akhir taggin
koordinat untuk line transect A dan B
5) Mencatat
tiap mmangrove yang terdapat pada tiap kuadran yang ada pada setiap line transect, dan mengidentifikasi tiap jenis mangrove
6)
Mengukur
keliling hanya tiap pohon yang ada dalam tiap kuadran, mengukur keliling pohon
ini pada ketinggian batang pohon 1,4 meter.
3.4 Analisis Data
Analisis vegetasi digunakan untuk menentukan struktur
dan komposisi vegetasi baik tingkat pohon dan semai. Berbagai parameter
analisis vegetasi diolah menggunakan rumus Onrizal (2008) dalam Usman
(2013), sebagai berikut:
1.
Kerapatan
Mangrove
3. Dominasi Jenis
Catatan: luas Basal Area suatu jenis diperoleh dari komponen nilai
garis tengah batang
pohon setinggi dada manusia dewasa (atau setinggi 1,4 meter). Luas
basal area tiap jenis mangrove dihitung berdasarkan rumus (Bengen, 2002);
di mana BA adalah luas basal
area, K adalah keliling batang pohon setinggi 1,4 m atau tertinggi
dada manusia, π adalah 3,14.
4.
Dominasi
Relatif
5. Frekuensi
6.
Frekuansi
Relatif
7. Analisis Indeks Nilai Penting (INP)
Analisis Indeks Nilai Penting (INP) vegtasi mangrove diperoleh
dengan menjumlahkan nilai Dominansi Relatif (DR), Kerapatan Relatif (KR) dan Frekuensi
Relatif (FR), ditulis dengan
formulasi rumus (Bengen, 2002);
a. Pohon
b. Semai
7. Indeks Keanekaragaman
Indeks diversitas digunakan untuk menentukan keanekaragam jenis
pada suatu komunitas dengan menggunakan rumus Shannon-Wienner dalam
Usman (2013):
H’ = Indeks
keanekaragaman Shannon - Wienner
ni = Cacah individu
setiap jenis
N = Total cacah
individu seluruh jenis
Pi = Kelimpahan elative
dari jenis ke-i
Besarnya indeks keanekaragaman jenis menurut Shannon-Wienner didefenisikan dalam
tiga tingkatan:
1)
Nilai H’ > 3 menunjukkan bahwa
keanekaragaman jenis yang ada pada suatu transek atau stasiun berada dalam
kemelimpahan yang tinggi.
2)
Nilai 1 ≤ H’ ≤ 3 menunjukkan bahwa
keanekaragaman jenis pada suatu transek atau stasiun berada dalam kemelimpahan
yang sedang.
3)
Nilai H’ < 1 menunjukkan bahwa
keanekaragaman jenis pada suatu transek atau stasiun berda dalam kemelimpahan
yang sedikit atau rendah.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil
Berdasarkan
hasil identifikasi dalam praktikum bahwa mangrove di Desa Langge Kecamatan Anggrek
Kabupaten Gorontalo Utara terdiri dari 2 spesies (Rhizopora apiculata dan Sonneratia
alba). Hasil pengamatan dalam praktikum dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil pengamatan mangrove
Jenis
|
Jumlah Individu Pohon
Dan Semai
Dalam Tiap Kuadran (ni)
|
Jumlah total (N)
|
||||||||
Pohon
|
Semai
|
|||||||||
Kuadran
|
Kuadran
|
|||||||||
I
|
Keliling
Pohon
|
II
|
Keliling
Pohon
|
III
|
Keliling
pohon
|
I
|
II
|
III
|
||
Rhizopora apiculata
|
3
|
33 cm
30.5
cm
48
cm
|
4
|
45
cm
42.8
cm
35.6
cm
39
cm
|
2
|
29
cm
34.6
cm
|
245
|
348
|
176
|
778
|
Sonneratia alba
|
3
|
26
cm
35.4
cm
30
cm
|
1
|
28
cm
|
2
|
40.4
cm
28
cm
|
284
|
79
|
186
|
555
|
Tabel 5. Hasil identifikasi jenis mangrove
Bagian yang di Identifikasi
|
Spesies
|
|
Rhizopora apiculata
|
Sonneratia alba
|
|
Flower color at sight
|
Reddish green
|
White, green,
red
|
Posisi daun dengan tangkai
|
Terminal
|
Terminal
|
Bentuk belukar
|
Tree
|
Tree
|
Posisi daun terhadap daun
|
Alternate
|
Opposite
|
Jumlah daun dalam satu tangkai
|
Compound
|
Simple
|
Bentuk akar
|
Buttress
|
Buttress
|
Bentuk buah
|
Cylindrical
|
Ball
|
Bentuk daun
|
Eliptical
|
Obovate
|
Bentuk ujung daun
|
Acute
|
Emarginate
|
Tabel 6. Parameter lingkungan perairan yang diamati
No
|
Parameter
|
Kisaran
|
||
Kuadran I
|
Kuadran II
|
Kuadran III
|
||
1
|
Suhu
|
28 0
C
|
29 0
C
|
30.6 0
C
|
2
|
Substrat
|
Berlumpur
|
Berlumpur
|
Berlumpur
|
4.2
Pembahasan
4.2.1
Identifikasi
Jenis Mangrove
A. Jenis Rhizopora apiculata
Rahmawan (2012), diantara mangrove
yang lain mangrove jenis ini yang paling banyak tumbuh di Indonesia.
Tumbuhan ini biasanya berkembang pada sedimen dan pasang purnama yang tinggi.
Pohon ini disebut juga dengan bakau besar, bakau genjah, tinjang, slindur, bakau
merah, bakau akik, atau bakau kurap, tergantung spesiesnya. Di dunia dikenal
secara umum sebagai red mangrove. Kulit batangnya berwarna kemerahan terutama
bila basah. Pohon dapat tumbuh sampai dengan tinggi 25 m termasuk family Rhizophoraceae. Pohon ini banyak terlihat
sebagai pohon kecil yang tumbuh di air laut. Dalam identifikasi ini penyusun mengidentifikasi berdasarakan bentuk
daun, akar, bunga dan buah dan spesies.
1.
Bentuk daunnya elips atau oval, agak keras, mengkilap,berwarna hijau
kekuningan, dan tangkainya merah. Dibagian sebelah sebelah bawahnya terdapat
bintik-bintik hitam kecil. Daun tumbuh berlawanan di kiri kanan ranting. Daunya
berubah warna menjadi kuning dan merah pada waktu gugur dari pohonya.
Tergantung spesiesnya daun ukuran berukuran panjang antara 10-20 cm, lebar
antara 5-8 cm.
2.
Akar menjadi ciri
khasnya adalah system perakaran yang kompleks (prop roots / stilt roots) dengan
cabang-cabang rendah membentuk struktur yang lebat. Akar-akar membentuk
lengkungan menembus air, lumpur, dan tanah. Akar berwarna merah terutama pada
waktu basah. Karena akar bakau ini berada dalam air dan lumpur yang tidak mengandung oksigen bebas (anaerobic). Pohon ini menumbuhkan cabang
khusus yang mempunyai pori-pori (lenticels)
untuk mengikat oksigen dari udara disebut sebagai akar udara (air root). Akar udara ini tumbuh
menggatung ke bawah dari batang atau cabang yang rendah dilapisi semacam sel
lilin yang dapat dilewati oksigen tetapi tidak tertembus air. Akar udara ini
tidak mempunyai daun dan apabila masuk menembus ke permukaan air terus ke tanah
akan akan berbah menjadi akar biasa.
2.
Bunga berbunga sepanjang tahun, tetapi berbunga
lebih banyak antara bulan april sampai oktober bunganya tumbuh kembar.,
berukuran kecil, kelopaknya 10-14 mm dan lebar diameternya (8-10 mm) berwarna
putih sampai kuning, tidak berbau keras dan mempunyai 4 petal
3.
Buah buahnya vivipar,
berbentuk seperti tongkat yang tumbuh berkembang sebagai tanaman embrio selama
masih berada pada pohon induknya. Disebut bakal pohon muda atau propagules.
Bakal pohon ini berwarna hijau dan setelah matang ,mengeras,, berwarna kuning
kecoklatan,mencapai ukuran panjang 20-25 cm spesies lain ada yang ukuran
propagulnya mencapai 50 cm buah ini akan jatuh kebawah terbawa air dalam posisi
horizontal. Dapat bertahan cukup lama terbawa air laut. Setelah beberapa minggu
akan menyerap air. Posisinya berubah vertical dalam air, tumbuh akar, dan daun
pertamanya kemudian menancapkan akarnya ke tanah dan menetap.
4.
Klasisifikasi ilmiah Rhizophora
apiculata
Kingdom
: Plantae
Divisi
:Magnoliophyta
Klas
: Magnoliopsida
Ordo
: Rhizophorales
Famili
: Rhizophoraceae
Genus
: Rhizophora
Spesies
: Rhizhospora apiculata.
B. Jenis Sonneratia alba
Rahmawan (2012), menyatakan
bahwa dalam bahasa lokal jenis bakau ini (pohon pedada) disebut juga bogem atau
prapat. Termasuk dalam famili sonneratiaceae. Pohon dapat mencapai ketinggian
20 m. Menempati bagian pantai paling
depan disisi laut tumbuh ditanah lumpur atau berpasir, kulit batang berwarna
abu-abu atau kecoklatan , permukaan kulit kasar dan retak-retak. Pada pohon
muda kulit batangnya dilapisi semacam lapisan lilin untuk mengurangi penguapan air dari
jaringanya. Berikut beberapa ciri yang didapat hasil pengamatan berdarakan pada
bentuk akar, daun, bunga dan buah.
1.
Akar seperti pohon api-api pohon pedada banyak
mengeluarkan akar pasak untuk pernafasan (pneumotophore) hanya saja
bentuknya tida seperti pensil melainkan berukuran lebih tebal seperti kerucut
meruncing di ujung dan menghadap ke atas.
2.
Daun daun pepada
berbentuk bulat (obovate) ukuran panjang dan lebar daun hampir
sama berukuran sekitar 5-7 cm bagian ujung daun membulat kadang-kadang bagian
tengahnya terdapat bagian kecil daun tumbuh berpasangna berlawanan dikiri dan
kanan ranting pohon
3.
Bunga bunga agak besar, ukuranya 2 – 4 cm
panjangnya jenis Sonneratia alba mudah dikenali dari bunganya karena
mempunyai banyak stamen seperti benag-benang berwarna putih. Bunga mekar
dimalam hari dan menarik kelelawar untuk penyerbukan kelelawar menyukai bunga
jenis bakau (Sonneratia alba) mungkin karena baunya yang khas seperti
yang dilakukan menghisap nektar dari bunga durian pepaya dan pisang,
4.
Buah buah pepada berbentuk bulat berwarna hijau
diameter sekitar 5 cm kelopak buahnya meruncing berjumlah 6 keping.
4.2.2 Analisis Vegetasi Mangrove
A.
Kerapatan Jenis Mangrove
Jenis
mangrove yang memiliki kerapatan tertinggi terdapat pada kategori semai,
sedangkan kerapatan terendah terdapat pada pohon. Tingginya kerapatan pada
semai ini diakibatkan oleh rendahnya kerapatan pohon mangrove yang ada, hal ini
membuat sinar matahari tidak terhalang rapatnya pohon mangrove, sehingga semai
dapat tumbuh dengan baik. Supardjo (2007) dalam
Usman (2013), semai dapat tumbuh dengan baik apabila cahaya matahari yang
dibutuhkan semai untuk berfotosintesis tidak terhalang oleh pohon mangrove.
Kerapatan
semai mangrove tertinggi terdapat pada jenis Rhizopora
apiculata, hal ini sesuai dengan pendapat Kartawinata
(1979) dalam Usman (2013), Rhizopora apiculata merupakan salah satu
jenis tumbuhan mangrove yang toleran terhadap kondisi lingkungan (substrat,
pasang surut, salinitas, dan pasokan nutrient) dan dapat menyebar luas pada
berbagai tempat.
Tabel
7. Kerapatan Jenis Mangrove
Jenis
|
Kerapatan Jenis
(Ind/ha)
|
|||||
Pohon
|
Semai
|
|||||
Kuadran
|
Kuadran
|
|||||
I
|
II
|
III
|
I
|
II
|
III
|
|
Rhizopora apiculata
|
0.03
|
0.04
|
0.02
|
2.45
|
3.48
|
1.76
|
Sonneratia alba
|
0.03
|
0.01
|
0.02
|
2.84
|
0.79
|
1.86
|
B. Kerapatan Relatif
Jenis Rhizopora apiculata memiliki kerapatn
relatif tertinggi karena kondisi substrat yang umumnya mengandung bahan organik
yang sangat cocok untuk pertumbuhanya, selain itu jenis Rhizopora apiculata merupakan tumbuhan pioneer. Menurut Parawansa
(2007) dalam Usman (2013)
ketergantungan jenis tumbuhan pioneer terhadap jenis tanah ditunjukan oleh
genus Rhizopora yaitu merupakan ciri
umum untuk tanah berlumpur yang bercampur dengan bahan organik.
Tabel 8. Kerapatan Relatif Mangrove
Jenis
|
Kerapatan relatif (%)
|
|||||
Pohon
|
Semai
|
|||||
Kuadran
|
Kuadran
|
|||||
I
|
II
|
III
|
I
|
II
|
III
|
|
Rhizopora apiculata
|
20
|
26.6
|
13.3
|
18.5
|
26.6
|
13.3
|
Sonneratia alba
|
20
|
66.6
|
13.3
|
21.5
|
5.9
|
14.1
|
C. Dominansi Jenis dan Relatif
Dominansi
suatu jenis merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan suatu jenis
tumbuhan kategori pohon dalam hal bersaing dengan tumbuhan lainnya, dalam hal
ini terkait dengan besarnya diameter
tumbuhan (Prasetyo, 2007 dalam Usman
2013). Perhitungan nilai dominansi ini hanya dilakukan pada kategori pohon
untuk mengetahui INP kategori pohon. Hasil perhitungan dominansi mangrove pada
lokasi praktikum dapat dilihat pada Tabel 9 berikut ini.
Tabel 9. Dominansi Jenis dan Dominansi Relatif
Jenis
|
Dominansi
|
|||||
Jenis (M2/Ha)
|
Relatif (%)
|
|||||
Kuadran
|
Kuadran
|
|||||
I
|
II
|
III
|
I
|
II
|
III
|
|
Rhizopora apiculata
|
0.029
|
0.032
|
0.025
|
0.33
|
0.37
|
0.29
|
Sonneratia alba
|
0.024
|
0.022
|
0.027
|
0.32
|
0.30
|
0.36
|
Berdasarkan
perhitungan dominansi pada Tabel 9 bahwa nilai dominansi jenis tertinggi yaitu
jenis Rhizopora apiculata dengan nilai
dominansi sebesar 0.032 m2/Ha ditemukan pada kuadran II, sedangkan
nilai dominansi jenis terendah yaitu jenis Sonneratia
alba sebesar 0.022 m2/Ha.
Nilai dominansi relatif pohon setiap kuadran menunjukan bahwa Rhizopora apiculata memiliki
presentase dominansi 0.37 % yang terdapat pada kuadran II.
D. Frekuensi
Kedua spesies
mangrove ini memiliki nilai frekuensi yang sama karena kondisi substrat sangat
cocok untuk pertumbuhannya sehingga kedua jenis mangrove ini menyebar merata
pada setiap transek pengamatan. Hal in sesuai pendapat Pramuji (2001) dalam Usman (2013), bahwa pada tanah
lumpur yang lembek di tumbuhi Rhizopora
mucronata dan Lumnitzera litorea
dengan penyebaran merata dan meluas, sedangkan pada wilayah pesisir yang
berpasir dan berombak besar pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal.
Dipantai terbuka pohon yang dominan dan merupakan pohon perintis umumnya adalah
Avicennia dan Sonneratia. Avicennia cenderung hidup pada tanah
yang berpasir agak keras sedangkan Sonneratia
pada tanah yang berlumpur lembut (Nonji, 1993).
Tabel 10. Frekuensi Jenis Mangrove
Jenis
|
Frekwensi (F)
|
|||||
Pohon
|
Semai
|
|||||
Kuadran
|
Kuadran
|
|||||
I
|
II
|
III
|
I
|
II
|
III
|
|
Rhizopora apiculata
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
Sonneratia alba
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
E. Frekwensi Relatif
Jenis Rhizopora
apiculata dan Sonneratia
alba ditemukan pada semua transek pengamatan, hal ini disebabkan jenis ini
lebih banyak memperoleh unsur hara
dibandingkan jenis lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat pramudji
(2000) dalam usman (2013), bahwa
tinggi rendahnya nila frekuensi relatif disebabkan oleh terjadinya kompetisi
yang tidak seimbang antar jenis mangrove yang menempati suatu habitat yang
sama, sehingga kurang kompetitif dalam memperoleh unsur hara.
Tabel 11. Frekuensi Relatif Mangrove
Jenis
|
Frekwensi Relatif (Fr)
|
|||||
Pohon
|
Semai
|
|||||
Kuadran
|
Kuadran
|
|||||
I
|
II
|
III
|
I
|
II
|
III
|
|
Rhizopora apiculata
|
33.3
|
33.3
|
33.3
|
33.3
|
33.3
|
33.3
|
Sonneratia alba
|
33.3
|
33.3
|
33.3
|
33.3
|
33.3
|
33.3
|
F. Analisis Indeks Nilai Penting (INP)
Jenis
Rhizopora mucronata memiliki nilai
INP tertinggi pada kategori pohon dan semai. Hasil ini menunjukan bahwa hutan
mangrove pada lokasi penelitian dalam kondisi baik. Jenis Rhizopora mucronata mempunyai peranan yang tinggi dilokasi
praktikum karena mangrove jenis ini memiliki karakteristik dan morfologi yang
mendukung dalam hal bersaing dengan jenis lainnya dan dapat dikatakan susbtart
dilokasi praktikum baik untuk pertumbuhan mangrove.
Keadaan
ekosistem mangrove seperti ini mencerminkan bahwa ekosistem hutan mangrove pada
lokasi praktikum belum banyak mengalami perubahan yang disebabkan oleh kegiatan
manusia, walaupun ada sebagian masyarakat memanfaatkan kayu-kayu dari mangrove
ini sebagai alat bantu pada alat tangkap sero, kayu bakar, dan bangunan rumah.
Martobroto dan Sudrajat (1974) dalam Prasetyo (2007) menjelaskan bahwa
area mangrove yang memiliki nilai penting tinggi menandakan bahwa mangrove di
area tersebut dalam kondisi baik dan belum mengalami perubahan, sebaliknya
apabila kondisi ini berkurang atau berubah menjadi daratan karena manusia, maka
perlu dilakukan rehabilitasi agar keseimbangan ekosistem terjaga. Analisis data
untuk menentukan nilai indeks penting sebagai berikut :
Tabel 12. Analisis Indeks Nilai Penting (INP)
Jenis
|
Analisis Indeks Nilai Penting (INP)
|
|||||
Pohon
|
Semai
|
|||||
Kuadran
|
Kuadran
|
|||||
I
|
II
|
III
|
I
|
II
|
III
|
|
Rhizopora apiculata
|
53.63
|
60.27
|
46.89
|
51.8
|
59.9
|
46.6
|
Sonneratia alba
|
53.62
|
40.26
|
46.96
|
54.8
|
39.2
|
47.4
|
Rhizopora
apiculata H1
= - ∑ 0.98 log 0.98 = 0.008
Sonneratia
alba H1
= - ∑ 0.989 log 0.989 = 0.004
Indeks keanekaragaman untuk setiap jenis yakni Rhizopora apiculata memiliki indeks
keanekaragaman 0.008 dan Sonneratia alba memiliki
nilai indeks keanekaragaman
0.004, nilai ini menunjukan keanekaragaman rendah. Hal ini sesuai pendapat
Shannon-Wienner bahwa nilai H’ < 1 menunjukan bahwa keanekaragaman jenis
pada suatu transek atau stasiun berada dalam kelimpahan yang sedikit atau
rendah.
4.2.3 Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Mangrove
A. Suhu
Parameter pendukung perairan yang
memegang peranan penting kehidupan mangrove untuk menunjang kehidupannga. Suhu
merupakan salah satu parameter yang penting bagi keberlangsungan hidup biota
laut. Suhu dapat mempengaruhi proses – proses dalam suatu ekosistem mangrove
seperti fotosintesis dan respirasi (Usman, 2013). Suhu yang terukur berkisar
pada wilayah mangrove Desa Langge berkisar 280C - 300C.
hal ini sesuai dengan pendapat Saenger (1979) dalam Usman (2013) bahwa kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan
mangrove adalah 180C - 300C.
B.
Substrat
Karakteristik substrat merupakan faktor
utama yang membatasi pertumbuhan dan distribusi tanaman mangrove. Dari hasil
pengamatan bahwa tipe substrat di setiap kuadran adalah lumpur. Hal in sesuai
pendapat Pramuji (2001) dalam Usman
(2013), bahwa pada tanah lumpur yang lembek di tumbuhi Rhizopora mucronata dan Lumnitzera
litorea dengan penyebaran merata dan meluas, sedangkan pada wilayah pesisir
yang berpasir dan berombak besar pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal.
Dipantai terbuka pohon yang dominan dan merupakan pohon perintis umumnya adalah
Avicennia dan Sonneratia. Avicennia cenderung hidup pada tanah
yang berpasir agak keras sedangkan Sonneratia
pada tanah yang berlumpur lembut (Nonji, 1993).
BAB V
KESIMPULAN
Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa mangrove yang terdapat pada
lokasi praktek dengan kuadran 10 x 10 yaitu jenis Rhizopora apiculata dan Sonneratia
alba. Analisis untuk kerapatan, dominansi, frekuensi, indeks nilai penting
dan indeks keseragaman yang tertinggi terdapat pada jenis Rhizopora apiculata dan yang
terendah pada jenis Sonneratia alba,
namun nilai ini tidak terlalu besar perbedaannya. Keadaan substrat pada lokasi
pratek terlihat baik untuk pertumbuhan dari kedua jenis mangrove ini yakni
berlumpur dan keadaan suhunya terlihat stabil yakni 280C - 300C.
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D.G. 1999. Pedoman Teknis Pengenalan dan
Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan
Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan –
Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan
Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan
– Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu.
1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT.
Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia.
Dahuri, R., 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo,
2012. Identifikasi Dan Pemetaan Potensi Pulau-Pulau Kecil (Pulau Dudepo Dan
Pulai Mohinggito) Provinsi Gorontalo. Laporan Akhir. PT. Hulanthalo
Rajawali Utara. Gorontalo.
Hasmawati, M. 2001. Studi Vegetasi Hutan mangrove di Pantai Kuri Desa Nisombalia, kecamatan
marusu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Skripsi Jurusan ilmu kelautan
dan Perikanan. Makassar.
Hutabarat, S. Dan S.M.Evans, 1985. Pengantar
Oseanografi. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Hutchings, P. dan P. Saenger. 1987. Ecology of
Mangrove. Australia : University of
Queensland Press.
Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan
Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk
Naga, Jawa Barat. Tesis Magister.Program Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. Bogor, Indonesia.
Kaharuddin, 1994. Marine Sediment and Preparation. Jurusan Teknik Geologi, Fakultas
Teknik Universitas Hasanuddin. Makassar.
Kaswadji, R. 2001. Keterkaitan Ekosistem Di Dalam
Wilayah Pesisir. Sebagian bahan kuliah SPL.727 (Analisis Ekosistem Pesisir
dan Laut). Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB. Bogor, Indonesia.
Khazali, M. 1999. Panduan Teknis Penanaman
Mangrove Bersama Masyarakat. Wetland International – Indonesia Programme.
Bogor, Indonesia.
Lawrence, D. 1998. Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Lautan Secara Terpadu. Alih bahasa oleh T. Mack dan S. Anggraeni. The
Great Barrier Reef Marine Park Authority. Townsville, Australia.
Macnae, W. 1974. Mangrove Forest and Fisheries.
FAO/UNDP. Indian Ocean Programme. Rome.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu
Pendekatan Ekologis. Alih bahasa oleh M. Eidman., Koesoebiono., D.G.
Bengen., M. Hutomo., S. Sukardjo. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta,
Indonesia.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan.
Jakarta, Indonesia. 108 hl
Othman, M.A. 1994. Value of mangroves in coastal
protection. hydrobiologia, 285:277- 282.
Santoso, N., H.W. Arifin. 1998. Rehabilitas Hutan
Mangrove Pada Jalur Hijau Di Indonesia. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan
Mangrove (LPP Mangrove). Jakarta, Indonesia.
Santoso, N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem
Mangrove. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengembangan Sistem
Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta, Indonesia.
Tilohe, H. 2013. Kontribusi Hutan Mangrove
Terhadap Masyarakat Pesisir Desa Mootilango Kecamatan Duhadaa Kabupaten
Pohuwato. Laporan Praktek Kerja Lapangan. Universitas Negeri Gorontalo.
UNG.
Usman dkk, 2013. Analisis Vegetasi Mangrove di Pulau
Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara. Nike Jurnal Ilmiah
Perikanan dan Kelautan Volume 1, No.1, Juni 2013.