IDENTIFIKASI
KARAKTERISTIK EKOSISTEM YANG TERDAPAT DI DUSUN PASIR PUTIH, DESA DUDEPO,
KECAMATAN ANGGREK, KABUPATEN GORONTALO UTARA
LAPORAN KEGIATAN
OLEH
DEHETO
HULONTHALO
FORUM KAJIAN
PENELITI PERIKANAN
KOMUNITAS DEHETO
HULONTHALO
FISHERIES OF
RESEARCH
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia
merupakan Negara kepulauan.Luas pantai di Indonesia berpotensi membentuk
ekosistem dengan keanekaragamannya. Ekosistem terpenting yang ada di perairan
laut, yaitu ekosistem mangrove, ekosistem
terumbu karang dan ekosistem lamun. Keberadaan ketiga ekosistem tersebut
menjadi habitat berbagai biota laut. Biota laut yang ada di dalamnya merupakan kekayaan
laut pesisir (Anonim, 2015).
Ekosistem mangrove adalah tipe ekosistem yang terdapat di daerah
pantai dan secara teratur di genangi air lautatau
dipengaruhi oleh pasang surut air laut, pantai dengan kondisi tanah berlumpur, berpasir, atau lumpur berpasir (Indriyanto, 2006). Ekosistem hutan mangrove disebut juga ekosistem hutan payau (estuari),
yaitu daerah perairan dengan kadar garam/ salinitas antara 0,5 % dan 30%
(Indriyanto, 2006).
Ekosistem hutan mangrove di Indonesia dikemukakan Bengan dalam Indriyanto
(2006), memiliki keanekaragaman spesies tumbuhan yang tinggi dengan jumlah spesies tercatat sebanyak lebih kurang 202
spesies yang terdiri atas 89 spesies pohon, 5 spesies palem, 19 spesies liana,
44 spesies epifit dan 1 spesies sikas.
Menurut Nontji dan Nybakken dalam Anwar dan Gunawan (2007), hutan mangrove adalah tipe
hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi
oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung
atau pantai-pantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung
dari angin atau di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung.
Pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia tercatat seluas 4,25 juta ha,
sedangkan pada tahun 1993 menjadi 3,73 juta ha sehingga dalam kurun waktu 11
tahun tersebut hutan mangrove berkurang seluas 0,52 juta ha (Departemen
Kehutanan, 1997).
Hal ini umumnya terjadi karena:
1. Konversi hutan mangrove menjadi penggunaan lain, misalnya
tambak, pemukiman atau fasilitas umum lainnya.
2.
Over
eksploitasi.
Luas ekosistem
hutan mangrove yang ada di Indonesia sekitar 4.251.011 Ha yang tersebar di
beberapa pulau, seperti Sumatera, Jawa dan Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku, dan Papua/Irian yang dimana persebaran ekosistem hutan
mangrove terbesar terdapat di Papua/Irian (± 65%) 1 dan Sumatera (± 15%).
Tetapi, lebih dari setengah luas ekosistem hutan mangrove yang ada di Indonesia
ternyata dalam kondisi rusak parah, diantaranya 1,6 juta Ha dalam kawasan hutan
dan 3,7 juta Ha di luar kawasan hutan (Ginting, 2006).
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud
diadakannya praktikum ekologi perairan laut tropis di Pantai Dusun Pasir Putih,
Desa Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara adalah agar para
praktikan dapat mengamati keadaan ekosistem mangrove, di Pantai Pantai Dusun
Pasir Putih, Desa Dudepo. Selain itu, praktikan
dapat melihat secara langsung jenis-jenis individu yang terdapat di
ekosistem mangrove tersebut.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Definisi Mangrove
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung
kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan lautan. Fungsi ekologis mangrove
adalah sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan
asuhan berbagai macam biota. Fungsi fisik sebagai penahan erosi, amukan angin
topan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain
sebagainya. Ekosistem mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis penting seperti,
penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat-obatan, dan lain-lain (Dahuri
et al., 1996).
Mangrove
adalah tumbuhan yang hidup di antara perairan yang mempunyai pasang
tertinggi dan surut terendah yang bersubstrat berpasir, berlumpur dan sedikit
berkarang, tetapi juga dapat hidup pada pantai karang, pada dataran koral mati
yang diatasnya ditimbuni selaput tipis pasir atau ditimbuni lumpur atau pantai
berlumpur (Insyafitri, 2009).
Mangrove
merupakan sumber daya hayati pesisir yang sangat penting bagi manusia yaitu
sebagai pelindung dan penahan pantai, penghasil bahan organik, bahan industri
dan obat-obatan serta sebagai kawasan pariwisata dan konservasi. Ekosistem
mangrove yang ada di Indonesia dikenal sebagai kawasan hutan sejenis paling
beragam di dunia sekaligus pelabuhan bagi kehidupan berbagai jenis hewan dan
tumbuhan, Sebanyak 189 jenis tumbuhan diketahui hidup di kawasan mangrove dan
sekitar 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis
epifit dan 2 jenis parasit berada di hutan mangrove Indonesia (Soemordihardjo dkk., 1993).
2.2 Manfaat dan Fungsi Mangrove
Menurut
Davis, Claridge dan Natarina (1995), hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat
sebagai berikut :
1. Habitat
satwa langka
Hutan bakau sering menjadi habitat
jenis-jenis satwa. Lebih dari 100 jenis burung hidup disini, dan daratan lumpur
yang luas berbatasan dengan hutan bakau merupakan tempat mendaratnya ribuan
burug pantai ringan migran, termasuk jenis burung langka Blekok Asia (Limnodrumus semipalmatus)
2. Pelindung
terhadap bencana alam
Vegetasi hutan bakau dapat melindungi
bangunan, tanaman pertanian atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai
atau angin yang bermuatan garam melalui proses filtrasi.
3. Pengendapan
lumpur
Sifat
fisik tanaman pada hutan bakau membantu proses pengendapan lumpur. Pengendapan
lumpur berhubungan erat dengan penghilangan racun dan unsur hara air, karena
bahan-bahan tersebut seringkali terikat pada partikel lumpur.Dengan hutan
bakau, kualitas air laut terjaga dari endapan lumpur erosi.
4. Penambah
unsur hara
Sifat
fisik hutan bakau cenderung memperlambat aliran air dan terjadi pengendapan.
Seiring dengan proses pengendapan ini terjadi unsur hara yang berasal dari
berbagai sumber, termasuk pencucian dari areal pertanian.
5. Penambat
racun
Banyak
racun yang memasuki ekosistem perairan dalam keadaan terikat pada permukaan
lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi molekul partikel tanah air. Beberapa
spesies tertentu dalam hutan bakau bahkan membantu proses penambatan racun
secara aktif.
6. Sumber
alam dalam kawasan (In-Situ) dan luar Kawasan (Ex-Situ)
Hasil
alam in-situ mencakup semua fauna dan hasil pertambangan atau mineral yang
dapat dimanfaatkan secara langsung di dalam kawasan. Sedangkan sumber alam
ex-situ meliputi produk-produk alamiah di hutan mangrove dan
terangkut/berpindah ke tempat lain yang kemudian digunakan oleh masyarakat di
daerah tersebut, menjadi sumber makanan bagi organisme lain atau menyediakan
fungsi lain seperti menambah luas pantai karena pemindahan pasir dan lumpur.
7. Transportasi
Pada
beberapa hutan mangrove, transportasi melalui air merupakan cara yang paling
efisien dan paling sesuai dengan lingkungan.
8. Sumber
plasma nutfah
Plasma
nutfah dari kehidupan liar sangat besar manfaatnya baik bagi perbaikan
jenis-jenis satwa komersial maupun untukmemelihara populasi kehidupan liar itu
sendiri.
9. Rekreasi
dan pariwisata
Hutan
bakau memiliki nilai estetika, baik dari faktor alamnya maupun dari kehidupan
yang ada di dalamnya.
10. Sarana
pendidikan dan penelitian
Upaya
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan laboratorium lapang
yang baik untuk kegiatan penelitian dan pendidikan.
11. Memelihara
proses-proses dan sistem alami
Hutan
bakau sangat tinggi peranannya dalam mendukung berlangsungnya proses-proses
ekologi, geomorfologi, atau geologi didalamnya.
12. Penyerapan
karbon
Proses
fotosentesis mengubah karbon anorganik (CO2) menjadi karbon organik
dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem, bahan ini membusuk
dan melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai (CO2).Akan tetapi
hutan bakau justru mengandung sejumlah besar bahan organik yang tidak
membusuk.Karena itu, hutan bakau lebih berfungsi sebagai penyerap karbon
dibandingkan dengan sumber karbon.
13. Memelihara
iklim mikro
Evapotranspirasi
hutan bakau mampu menjaga ketembaban dan curah hujan kawasan tersebut, sehingga
keseimbangan iklim mikro terjaga.
14. Mencegah
berkembangnya tanah sulfat masam
Keberadaan hutan bakau dapat
mencegah teroksidasinya lapisan pirit dan menghalangi berkembangnya kondisi
alam.
2.3
Organisme-Organisme
Mangrove
Menurut Maire dalam Arfiati (1989)
menyatakan bahwa suhu secara ekologiakan mempengaruhi penyebaran (distribusi)
spesies. Karena organisme cenderung menempati lingkungan yang bersuhu sesuai
bagi kehidupannya. Suhu secara fisiologi dapat mempengaruhi berbagai aktivitas
biologi di dalam sel. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude) waktu dalam air, sirkulasi
udara, penutupan awan,dan aliran air, serta kedalaman badan air. Peningkatan
suhu mengakibatkan peningkatan viscusitas, rekasi kimia, evaporasi dan
volansisasi. Peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen
terlarut sehingga keberadaan oksigen melakukan proses metabolisme dan
respirasi. Ikan akan mengalami kerentanan tehadap penyakit pada
suhu yang kurang optimal. Fluktuasi suhu yang terlalu beasr akan
menyebabkan ikan stress yang dapat mengakibatkan kematian pada ikan (Pratama,
2009)
Bentos merupakan organisme yang melekat
atau beristirahat pada dasar endapan. Bentos dapat dibagi berdasarkan makananya
menjadi pemakan penyaring (kerang) dan pemakan deposit (siput) (Odum, 1971). Bentos
meliputi segala macam avertebrata air yang hidup di permukaan dasar perairan
atau di dalam sedimen dasar perairan. Dasar perairan dapat berupa lumpur, batu,
kerikil, baik di laut, sungai, maupun danau (Sugiarto Suwingnyo dan
Majariana Krisanti dalam Trimulya,
2013).
2.4
Faktor Lingkungan untuk Pertumbuhan
Mangrove
Menurut
Departemen Kehutanan (1992), kondisi ekologis yang mengatur dan
memelihara kelestarian ekosistem mangrove sangat tergantung pada kondisi
berimbangnya jumlah ketersedian air tawar dan air masin yang cukup. Kondisi
lingkungan yang mempengaruhi hutan mangrove adalah kondisi sedimentasi, erosi
laut dan sungai, penggenangan pasang surut dan kondisi garam tanah serta
kondisi akibat eksploitasi. Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi
pertumbuhan mangrove di suatu lokasi adalah :
a. Fisiografi
pantai (topografi)
b. Pasang
(lama, durasi, rentang)
c. Gelombang dan arus
d. Iklim
(cahaya, curah hujan, suhu, angin)
e. Salinitas
f. Oksigen
terlarut
g. Tanah
h. Hara
BAB
III
METODE
PRAKTIKUM
3.1 Tempat Dan Waktu
Waktu pelaksanaan praktikum pada hari
dan tanggal Sabtu, 2 Mei 2015, pukul 10.00
s/d selesai. Bertempat di Dusun Pasir Putih, Desa Dudepo, Kecamatan Anggrek,
Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo
3.2 Alat Dan Bahan
Adapun alat dan bahan
yang digunakan pada saat praktikum:
Tabel. 3.1 Alat dan
bahan
No.
|
Alat
|
Bahan
|
1.
|
Tali raffia
|
Dusun
Pasir Putih, Desa Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara
Provinsi Gorontalodengan berbagai biota yang ada dalam Mangrove.
|
2.
|
Patok kayu
|
|
3.
|
Transek Kuadran
|
|
4.
|
Alat tulis menulis
|
|
5.
|
Camera
|
|
6.
|
Buku Gambar
|
3.3 Prosedur Kerja
Sebelum
melakukan praktikum, mahasiswa dapat melihat prosedur kerja di bawah ini,
yakni:
1. Setiap
kelompok praktikan memasang patok kemudian dipasang dengan tali raffia sehingga
berbentuk persegi panjang dengan ukuran 5 x 5 meter.
2. Setiap
kelompok praktikan mengidentifikasi karakteristik ekosistem yang ada di lokasi
praktikum (mangrove, lamun, terumbu karang)
3. Mengamati
habitat, kondisi lingkungan, substrat serta organisme yang berinteraksi dengan
ekosistem yang ada dilokasi praktikum.
4. Mengambil
spesiesmen biota perairan yang ada didalam transek kuadran.
5. Mengukur
kualitas air seperti suhu dan pH.
6. Mendokumentasikan
setiap sampel yang ditemukan dilokasi praktek dan menggambar biota yang
ditemukan di dalam transek kuadran.
7. Semua
data hasil pengamatan dimasukkan di hasil dan pembahasan.
BAB
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Dari
hasil praktikum pengamatan organisme dan habitat yang ada di hutan bakau atau
mangrove yang terdapat di daerah Dusun Pasir Putih, Desa Dudepo, Kecamatan
Anggrek, Kabupaten Gorontalo utara, Provinsi Gorontalo didapatkan hasil di
bawah ini:
Tabel 2.Hasil
pengamatan organisme yang ada di mangrove.
No.
|
Nama
|
Gambar
|
Jumlah
|
1.
|
Kepiting Bakau
|
3
|
|
2.
|
Certhidea
cingulata
|
4
|
|
3.
|
Nerita plicata
|
5
|
|
4.
|
Bintang Ular
|
2
|
|
5.
|
Bivalvia
|
3
|
Tabel
3. Parameter kualitas air
Parameter Kualitas Air
|
|
Suhu
|
pH
|
31oC
|
6
|
4.2 Pembahasan
a.
Kepiting Bakau
Kepiting bakau tergolong dalam family portunidae
yang terdiri atas enam sub family yaitu Carcininae, Polybiinae, Caphyrinae,
Podophthalminae, Cotoptrinae, dan Portunidae.Jumlah jenis kepiting yang
tergolong dalam keluarga portunidae di perairan Indonesia diperkirakan lebih
dari 100 spesies.Portunidae merupakan salah satu keluarga kepiting yang
mempunyai pasangan kaki jalan dan pasangan kaki kelimanya berbentuk pipih atau
melebar pada ruas yang terakhir (distal) dan sebagian besar hidup di laut,
perairan bakau, dan perairan payau (Sulistiono, 1992).
Keenan (1998) menyatakan bahwa kepiting bakau
mempunyai empat spesies antara lain Scylla serrata, Scylla transquebarica,
Scylla olivaceae, dan Scylla paramamosain dengan klasifikasi sebagai berikut:
Filum : artropoda
Subfilum :
mandibula
Kelas : crustacea
Subkelas : malacostraca
Tribe : eumalakostraca
Subtibe : eucarida
Ordo : decapoda
Subordo : pleocyemata
Suku : brachyuran
Family : portunidae
Genus : Scylla
Spesies : Scylla serrata
Kepiting
bakau memiliki pajang karapas lebih kurang dua pertiga dari lebarnya, permukaan
karapas hampir semuanya licin kecuali pada beberapa lekuk bergranula (berbintik
kasar).Dahi terdiri dari empat buah gigi tumpul (tidak termasuk dari ruang mata
sebelah dalam). Tepi anterolateral, tepi sebelah luar dari kedua matanya,
bergigi sembilan buah yang runcing dan berukuran hampir sama. Kedua matanya
menempel di bagian anterior yang dilengkapi dengan tangkai sehingga ke dua
matanya dapat digerak-gerakan lebih leluasa.Capit pada jantan dewasa dapat
mencapai hampir dua kali panjang karapas, sedangkan pada betina atau kepiting
jantan muda capitnya lebih pendek.Pada tepi anterior merus terdapat satu buah
duri dan pada tepi posterior terdapat dua buah duri tajam. Pada karpus terdapat
sebuah duri kokoh pada sudut bagian dalam, sedangkan pada sudut bagian luar
berbentuk bulat dan kadang-kadang dilengkapi dengan satu atau dua duri tajam
(Keenan, 1998)
Kepiting
bakau jantan dan betina dapat dibedakan dengan mengamati alat kelamin yang
terdapat dibagian perut. Pada bagian perut jantan umumnya terdapat organ
kelamin berbentuk segi tiga yang sempit dan dapat meruncing di bagian depan.
Organ kelamin betina berbentuk segitiga yang relatif lebar dan di bagian depan
agak tumpul. Kepiting jantan dan betina dibedakan oleh ruas abdomennya.Ruas
abdomen kepiting jantan berbentuk segitiga, sedangkan pada kepiting betina
berbentuk agak membulat dan lebih lebar (Keenan, 1998).
1.
Tingkah Laku dan Kebiasaan Kepiting
Bakau
Secara umum tingkah laku dan kebiasaan
kepiting bakau menurut Karim, (2007) dalam
Ramselviana (2012) yang dapat diamati adalah sbb:
a)
Suka berendam dalam lumpur dan membuat lubang
pada dinding atau pematang tambak pemeliharaan. Dengan mengetahui kebiasaan
ini, maka kita dapat merencanakan atau mendesain tempat pemeliharaan sedemikian
rupa agar kemungkinan lolosnya kepiting yang dipelihara sekecil mungkin.
b)
Kanibalisme dan saling menyerang, sifat
inilah yang paling menyolok pada kepiting sehingga dapat merugikan usaha
penanganan hidup dan budidayanya. Karena sifatnya yang saling menyerang ini
akan menyebabkan kelulusan hidup rendah dan menurunkan produktivitas tambak.
Sifat kanibalisme ini yang paling dominan ada pada kepiting jantan, oleh karena
itu budidaya monosex pada produksi kepiting akan memberikan kelangsungan hidup
lebih baik.
c)
Moulting atau ganti kulit. Sebagaimana
hewan jenis crustacea, maka kepiting juga mempunyai sifat seperti crustacea
yang lain, yaitu Moulting atau ganti kulit. Setiap terjadi ganti kulit,
kepiting akan mengalami pertumbuhan besar karapas maupun beratnya. Umumnya
pergantian kulit akan terjadi sekitar 18 kali mulai dari stadia awal sampai
dewasa. Selama proses ganti kulit, kepiting memerlukan energi dan gerakan yang
cukup kuat, maka bagi kepiting dewasa yang mengalami pergantian kulit perlu
tempat yang cukup luas. Pertumbuhan kepiting akan terlihat lebih pesat pada
saat masih muda, hal ini berkaitan dengan frekuensi pergantian kulit pada saat
stadia awal tersebut. Periode dan tipe frekuensi ganti kulit penting artinya
dalam melakukan pola usaha budidaya yang terkait dengan desain dan konstruksi
wadah, tipe budidaya dan pengelolaanya.
d)
Kepekaan terhadap polutan. Kualitas air
sangat berpengaruh terhadap ketahanan hidup kepiting. Penurunan mutu air dapat
terjadi karena kelebihan sisa pakan yang membusuk. Bila kondisi kepiting lemah,
misalnya tidak cepat memberikan reaksi bila dipegang atau perutnya kosong bila
dibelah, kemungkinan ini akibat dari menurunnya mutu air. Untuk menghindari
akibat yang lebih buruk lagi, secepatnya pindahkan kepiting ke tempat
pemeliharaan lain yang kondisi airnya masih segar.
2.
Kualitas Lingkungan
Kualitas lingkungan adalah faktor penting
yang dapat mempengaruhi keberadaan dan pertumbuhan semua organisme termasuk
kepiting bakau. Dengan demikian, di alam hanya akan menempati habitat-habitat
dalam perairan yang memiliki kondisi kualitas lingkungan yang mampu ditolerir
olehnya. Kualitas lingkungannya antara lain: suhu, salinitas, kedalaman air,
derajat keasaman.
b. Cerithidea cingulata
1.
Klasifikasi Cerithidea cingulata
Menurut Robertset.al (1928:8) dalam Laksmana
(2011), klasifikasi Cerithidea cingulate
adalah sebagai berikut:
Filum
: Mollusca
Kelas :
Gastropoda
Sub-Kelas : Orthogastropoda
Ordo : Mesogastropoda
Famili : Potamididae
Genus : Cerithidea
Spesies
:Cerithidea(Cerithideopsilla) cingulate (Gmelin, 1791)
2.
Morfologi Cangkang Cerithidea cingulata
Cerithidea
cingulata memiliki cangkang tinggi berbentuk kerucut dengan
sisi cangkang yang tidak cembung sehingga terlihat meruncing. Tinggi cangkang
rata-rata 35 mm dan dapat mencapai hingga 45 mm. permukaan cangkang Cerithidea cingulate umumnya berwarna
cokelat dan bertitik putih dengan garis spiral bagian dorsal yang sangat
menonjol (Roberts et.al,1982:31 dalam Laksmana, 2011). Tipe operculum
pada Cerithidea cingulate adalah
multispiral dengan bahan dasar kitin (Houbrick, 1984:1 dalam Laksmana, 2011).Operculum pada Cerithidea cingulate berfungsi sebagai alat pertahanan terhadap
pertahanan predator (Roberts et.al,
1982:31 dalam Laksmana, 2011).
3.
Ekologi serta Fisiologi Cerithidea cingulata
Cerithidea
cingulata umumnya hidup di zona intertidal, terutama pantai berlumpur,
pantai berpasir, dan di hutan mangrove (Hinton 1972:4; Roberts et al. 1982:28; Sri-aroon et al. 2006:108 dalam Laksmana, 2011). Siput tersebut bernafas dengan insang dan
berperan penting dalam rantai makanan di ekosistem mangrove sebagai pemakanan
materi organic dalam sedimen atau lumpur didasar perairan.Keong tersebut
memakan makro alga, bakteri, dan diatom yang ada pada sedimen atau lumpur di
dasar perairan.(Aldon et al.
1998:10-12: Kamimura &Tsudhiya 2004:2 dalam
Laksmana, 2011).
Populasi Cerithidea cingulata dapat meledak jika diperairan tersebut banyak
terdapat endapan bahan-bahan organic, sehingga populasinya dalam jumlah besar
dapat menjadi bioindikator tingkat pencemaran organic di perairan payau
(Kan-atireklap et al. 1997:79-89;
Suwanjarat & Suwaluk 2003:415 dalam
Laksmana, 2011).
Habitat asli Cerithidea cingulataadalah diperairan hutan mangrove.Hewan tersebut
dapat ditemukan di dasar perairan, akar mangrove, atau menempel pada batang
mangrove (Suwanjarat & Suwaluk 2003:415 dalam
Laksmana, 2011).Siput tersebut dapat hidup diperairan dengan kisaran salinitas
15-45 ppt (Vohra 1970:1 dalam
Laksmana, 2011). Siput Cerithidea
cingulate tersebut mencapai usia dewasa setelah satu tahun dan umumnya
berukuran 15-17 mm. Setelah mencapai usia satu tahun, siput tersebut dapat
bereproduksi dan berkembang biak dengan cepat (Aldon et al.1998:10-12: Kamimura & Tsudhiya 2004:2 dalam Laksmana, 2011). Pada salinitas
air diatas 48 ppt hewan tersebut akan mati (Bagarinao & Olaguer 2000:1 dalam Laksmana, 2011). Nilai pH air yang
sesuai untuk Cerithidea cingulate berkisar
antara 6-9 dengan kisaran suhu sekitar 24-36 oC (Aldon et al. 1998:10-12: Bagarinao & Olaguer
2000:1; Coloso et al. 1998:671 dalam Laksmana, 2011)
c.
Bintang Ular
1. Morfologi
Bintang
ular umumnya memiliki lima lengan berbentuk seperti cambuk yang panjangnya bisa
mencapai 60 cm (2 kaki) pada spesimen terbesar. Seperti echinodermata lainnya, Ophiuroidea
memiliki rangka dari kalsium karbonat.Bentuk tubuh bintang ular mirip dengan
Asteroidea.Kelima lengan ophiuroidea menempel pada cakram pusat yang disebut
calyx. Ophiuroidea memiliki lima rahang. Di belakang rahang ada kerongkongan
pendek dan perut besar, serta buntu yang menempati setengah cakram.
2. Anatomi
Bintang
ular menggunakan lengan mereka untuk bergerak.Mereka, tidak seperti bintang
laut, bergantung pada kaki tabung. Bintang laut bergerak dengan menggerakan
lengan mereka yang sangat fleksibel dan membuat mereka bergerak seperti
ular.Pergerakan mereka mirip dengan hewan simetri bilateral.Pernapasan
dilakukan oleh 5 pasang kantong kecil yang bercelah di sekitar mulut, alat ini
berhubungan dengan saluran alat reproduksi (gonad).Alat-alat pencernaan makanan
terdapat dalam bola cakram, dimulai dari mulut yang terletak di pusat tubuh
kemudian lambung yang berbentuk kantong.Hewan ini tidak memiliki anus.Di
sekeliling mulut terdapat rahang yang berupa 5 kelompok lempeng kapur.Makanan
dipegang dengan satu atau lebih lengannya, kemudian dihentakkan dan dengan
bantuan tentakel dimasukkan ke mulut.Sesudah dicerna, bahan-bahan yang tidak
tercerna dibuang ke luar melalui mulut.Jenis kelamin hewan ini terpisah. Hewan
ini melepaskan sel kelamin ke air dan hasil pembuahannya akan tumbuh menjadi
larva mikroskopis yang lengannya bersillia, disebut pluteus.
Pleteus kemudian mengalami metamorfosis menjadi bentuk seperti bintang laut dan
akhirnya menjadi bintang ular.
3. Habitat
Bintang
ular dapat ditemukan pada perairan besar, dari kutub sampai tropis. Ada sekitar
1.500 spesies bintang ular yang hidup sekarang, dan mereka kebanyakan ditemukan
pada kedalaman lebih dari 500 meter (1.620 kaki).
4. Klasifikasi
klasifikasi
dari bintang ular (Ophiolepsis sp) yaitu sebagai berikut:
Kingdom: Animalia
Pilum: Echinodermata
Class: Ophiuroidea
Ordo : Valvatida
Family : Ophiuridae
Genus : Ophiolepsis
Species : Ophiolepsis sp
d. Nerita plicata
1.
Taksonomi Nerita sp.
Nerita
adalah genus gastropoda laut yang memiliki insang dan operculum, dari family Neritidae, genus Nerita yang ditemukan diseluruh perairan dunia dimana diperkirakan
ada 184 spesies yang ada pada genus. Adapun taksonominya sebagai berikut.
Kingdom
: Animalia
Sub-kingdom : Bilateria
Filum : Mollusca
Class : Gastropoda
Sub-class
: Orthogastropoda
Ordo:
Neritimorpha
Famili:
Neritidea
Genus
: Nerita
Spesies: Nerita sp
2.
Morfologi Nerita sp.
Kelompok yang bercangkang (Thecosomata) mempunya bentuk yang khas,
tergantung jenisnya.Oleh sebab itu, pengenalan ciri-ciri morfologi cangkang ini
sangat penting untuk identifikasi. Model dan bagian-bagian organnya terdiri
dari Aperture (bukaan cangkang)
bagian dorsal berbentuk seperti huruf D, variasi warna operculum warnanya
berkisar dari hitam sampai ke hitam-hitaman juga warna pinggiran kemerahan,
bagian ini terdiri dari bagian posterior dari outer lip (tepi atau ujung dari bagian luar aperture) dan parietal
(wilayah dibagian dalam aperture)
biasanya bergerigi kuat. Pada bagian inner
lip terdapat 1 sampai 4 buah gigi berwarna putih dengan bentuk seperti
proyeksi.Operculum berupa calcareous
(bersifat keras), dengan pasak seperti proyeksi (projecting peg) pada bagian ujung dalam.
3.
Habitat Nerita sp.
Spesies Nerita sp.
pada umumnya ditemukan secara berkelompok atau bergelombol dengan populasi yang
beragam dan berada dalam jumlah besaran dan ukuran waktu dan kondisi berbeda
pula.Spesies ini berbentuk koloni sebagai komunitas yang mendiami daerah
pantai-pantai yang berbatu terutama pada zona tengah sampai tertinggi dari
intertidal, hingga pada daerah atas (supralitoral) yang masih dipengaruhi oleh
psang surut dan juga pada rataan karang (reef
flats).Berdasarkan habitat perairan komunitas ini dapat dijumpai pada
perairan dengan zona berbeda (laut, payau dan tawar).
e. Bivalvia
1.
Sistematika Bivalvia
Kelas Bivalvia termasuk salah satu kelas
dari phylum Molusca yangmemiliki empat ordo yaitu Protobranchia, Taxodonata,
Dysodonta danPseudolamellibranchia.Kebanyakan hidup di laut terutama di daerah
littoral, beberapa di daerah pasang surut dan air tawar.Beberapa jenis laut
hidupsampai kedalaman 5000 m (Swit, 1993).Suwignyo (1998), membagi Bivalvia
dalam 3 sub kelas diantaranya :
1)
Sub kelas Protobranchia
Umumnya primitif; filamen insang pendek
dan tidak melipat; permukaan kaki datar dan menghadap ke ventral; otot aduktor
2 buah.
a)Ordo
Nuculacea
Tidak
mempunyai sifon; sebagai deposit feeder mendapatkan makanan menggunakan
proboscides; Nucula dan Yoldia dan hidup disemua laut terutama
daerah temperate.
b)
Ordo Solenomyacea
Mempunyai
sifon; menyaring makanan menggunakan insang; cangkang mempunyai semacam tirai (awning); Solen cangkangnya sangat rapuh.
2)
Sub kelas Lamellibranchia
Filamen insang memanjang dan melipat,
seperti huruf W; antara filament dihubungkan oleh cilia (filabranchia) atau jaringan (eulamellibranchia)
a)
Ordo Taxodonta
Gigi
pada hinge banyak dan sama; kedua otot aduktor berukurankurang lebih sama;
pertautan antara filamen insang tidak ada. Arca,
Anadara, danBarbatia. Penyebarannya luas umumnya di pantai laut.
b)
Ordo Anisomyaria
Otot
aduktor anterior kecil atau tidak ada yang posterior ukurannya besar, sifon
tidak ada; terdapat pertautan antara filamen dengan cilia; biasanya sessile;
kaki kecil dan memiliki bisus. Beberapa diantaranya: Mitylus, Ostrea, Atrina dan Pinctada.
c)
Ordo Heterodonta
Gigi
pada hinge terdiri atas beberapa gigi kardinal dengan atau tanpagigi lateral;
insang tipe eulamellibranchia; kedua otot aduktor sama besar; tepi mantel
menyatu pada beberapa tempat, biasanyamempunyai sifon.Cardium, Corbicula, Marcenaria, Tagelus, Mya dan Tridacna kebanyakan hidup di laut.
d)
Ordo Schizodonta
Gigi
dan hinge memiliki ukuran dan bentuk yang berfariasi; tipe insang eulamelli branchia.
Kerang air tawar Pseudodon, Anodonta dan Mutelidea
e)
Ordo Adapedonta
Cangkang
selalu terbuka, ligamen lemah atau tidak ada; gigi pada hinge kecil atau tidak
ada; tipe insang eulamelli branchia; tepi mantel menutup, kecuali pada bukaan
kaki; sifon besar, panjang dan menjadi satu; hidup sebagai pengebor pada
subtrat keras. Pengebor tanah liatdan batu karang, Pholas, Mya, Panope, Teredo, dan Bankia. Umumnya
terdapat dilaut mana saja
f)
Ordo Anomalodesmata
Tidak
ada gigi pada hinge; tipe insang eulamelli branchia, tetapi lembaran insang
terluar mengecil dan melengkung kearah dorsal; bersifat hermaprodit. Lyonsia, cangkang kecil dan rapuh,
terdapat dilaut dangkal Atlantik dan Pasifik.
3)
Sub kelas Septibranchia
Insang termodifikasi menjadi sekat
antara rongga inhalant rongga suprabranchia, yang berfungsi seperti
pompa.Umumnya hidup di lautdalam seperti Cuspidularia
dan Poromya.
2.
Sistem pencernaan
Sistem pencernaan dimulai dari mulut,
kerongkongan, lambung, ususdan akhirnya bermuara pada anus. Anus ini terdapat
di saluran yang sama dengan saluran untuk keluarnya air. Sedangkan makanan
golongan hewan kerang ini adalah hewan-hewan kecil yang terdapat dalam perairan
berupa protozoa diatom, dll. Makanan ini dicerna di lambung dengan bantuan
getah pencernaan dan hati. Sisa-sisa makanan dikeluarkan melalui anus.
3.
Habitat Bivalvia
Menurut Kastoro (1988) ditinjau dari
cara hidupnya, jenis-jenis Bivalvia mempunyai habitat yang berlainan walaupun
mereka termasuk dalam satu suku dan hidup dalam satu ekosistem. Bivalvia
pada umumnya hidup membenamkan dirinya dalam pasir atau pasir berlumpur dan
beberapa jenis diantaranya ada yang menempel pada benda-benda keras dengan
semacam serabut yang dinamakan byssal
threads. Demikian pula Nontji(1987), bivalvia hidup menetap di dasar laut
dengan cara membenamkan diri didalam pasir atau lumpur bahkan pada
karang-karang batu. Akan tetapi pada beberapa spesies bivalvia seperti Mytillus edulis dapat hidup di daerah intertidal
karena mampu menutup rapat cangkangnya untuk mencegah kehilangan air (Nybakken,
1992).
4.
Peranan Bivalvia
Secara ekologis, jenis Bivalvia penghuni
kawasan hutan mangrovememiliki peranan yang besar dalam kaitannya dengan rantai
makanan dikawasan hutan mangrove, karena disamping sebagai pemangsa
detritus, bivalvia berperan dalam proses dekomposisi serasah dan
mineralisasimateri organik yang bersifat herbivor dan detrivor. Daun mangrove
yang jatuh dan masuk ke dalam air.Setelah mencapai dasar teruraikan
olehmikroorganisme (bakteri dan jamur).Hasil penguraian ini merupakanmakanan
bagi larva dan hewan kecil air yang pada gilirannya menjadi mangsa.
f.
Suhu dan pH
Suhu dan pH dapat juga mempengaruhi
kualitas air pada suatu perairan dan juga organisme-organisme yang berada di
tempat tersebut. Pada suhu 31 oC, organisme seperti Bivalvia, Neritus plicata, Kepiting
bakau, Cerithidea cingulate dan
Bintang Ular masih dapat bertahan pada suhu tersebut seperti yang di jelaskan
oleh(Jasanul 1984 dalam Sultan
2001)
bahwasuhu permukaan air laut umumnya
270 – 290C. Pada perairan dangkal dapat mencapai 340C.
Di dalam hutan bakau sendiri suhunya lebih rendah dan variasinya hampir sama
dengan daerah-daerah pesisir lain yang ternaungi.pH yang yang
terdapat pada hutan mangrove yang menjadi tempat praktikum yakni menunjukkan
angka 6. pH tersebut sangat baik untuk pertumbuhan mangrove serta
organisme-organisme yang berada dalam ekosistim mangrove. Seperti yang
dikatakan oleh (Kaswadji 1971 dalam
Saleh, 2002) bahwa perairan
dengan pH 5.5 - 6.5 dan >8,5 termasuk perairan kurang produktif, perairan
dengan pH 6.5 – 7.5 termasuk perairan yang produktif dan perairan dengan pH 7.5
– 8.5 adalah perairan yang produktivitasnya sangat tinggi.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan
hasil dan pembahasan diatas, maka dapat di tarik kesimpulan bahwa di sekitar
kita masih banyak organisme-organisme yang dapat kita temui. Tetapi didalam
praktikum, praktikan hanya dapat menemukan beberapa jenis organisme, yakni Bivalvia, Neritus plicata, Kepiting
bakau, Cerithidea cingulata dan
Bintang Ular dan organisme-organisme tersebut dapat bertahan pada suhu 31 oC
dengan pH 6.0
5.2
Saran
Praktikan
menyarankan agar praktium dikemudian hari dilakukan pada tempat yang berbeda
sehingga kita dapat membandingkan organisme yang di peroleh dari tempat yang
satu ketempat yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim 2015 https://www.academia.edu/5525749/
JURNAL PENGAMATAN MANGROVE KARANGANTU(Diakses pada
Selasa, 12 Mei 2015)
Anonim
2015 https://www.academia.edu/7566845/Laporan_Ekologi_Laut_Tropis (Diakses pada Selasa, 12 Mei 2015)
Anonim 2015 http://andifaizalbahriskel.blogspot.com/2010/11/analisis-nitrat-dan-fosfat-pada-sedimen.html(Diakses pada Kamis, 15 Mei 2015)
Anonim 2015 http://karyatulisilmiah.com/kajian-ekologi-komunitas-nerita-sp/(Diakses pada Selasa, 12 Mei 2015)
Anonim 2015 lib.ui.ac.id/file?file=digital/20280362-S614-Lama%20waktu.pdf (Diakses
pada Selasa, 12 Mei 2015)
Affandi,
R., D.S. Sjafei, M.F. Raharjo, dan Sulistiono. 1992.Ikhtiologi.Pedoman Kerja
Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi.Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat.Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Anwar,
C. dan Gunawan, H. 2007.Peranan Ekologis dan Sosial Ekonomis Hutan Mangrove
Dalam Mendukung Pembangunan wilayah Pesisir.Prosiding.Ekspose Hasil-hasil
Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. 20 September 2006,
Padang. pp 23-24
Arfiati,
Diana. 1989. Komunitas-komunitas Alga perifiton di Sungai Cikaranggelem,
Cikampek, Jawa Barat, sebagai Tempat Pembuangan Limbah Cair Pabrik Pupuk Urea.
Bandung.
Dahuri,
R et al. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu. Pradnya Paramita: Jakarta
Davis,
Claridge dan Natarina. Sains & Teknologi 2: Berbagai Ide UntukMenjawab
Tantangan dan Kebutuhan oleh Ristek Tahun2009,Gramedia, Jakarta,1995
Departemen
Kehutanan Republik Indonesia. 1992. Manual Kehutanan. Depertemen Kehutanan
Republik Indonesia. Jakarta.
Departemen
Kehutanan., 1997, Aplikasi dan Penggunaan Citra Landset Dalam Pengukuran dan
Pemetaan Lahan, Badan Planologi Kehutanan - Jakarta.
Keenan,
C. 1998. Ilmu Kimia Untuk Universitas Edisi 6. The University Tennesa Knoville.Erlangga, Jakarta.
Kusmana,
C. 1995. Pengembangan Sistem Silvikultur Hutan Mangrove dan Alternatifnya.
Rimba IndonesiaXXX No. 1-2 : 35-41.
Odum,
E.P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi.4rd ed. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Pratama,
A., 2009. Tingkat Kecerahan Pada
Perikanan Air Tawar. PT Penebar Swadaya, Jakarta.