Music

Senin, 22 Februari 2016

EKOLOGI PERAIRAN







IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK EKOSISTEM YANG TERDAPAT DI DUSUN PASIR PUTIH, DESA DUDEPO, KECAMATAN ANGGREK, KABUPATEN GORONTALO UTARA



LAPORAN KEGIATAN




OLEH
DEHETO HULONTHALO











FORUM KAJIAN PENELITI PERIKANAN
KOMUNITAS DEHETO HULONTHALO
FISHERIES OF RESEARCH
2015






BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara kepulauan.Luas pantai di Indonesia berpotensi membentuk ekosistem dengan keanekaragamannya. Ekosistem terpenting yang ada di perairan laut, yaitu ekosistem mangrove, ekosistem  terumbu karang dan ekosistem lamun. Keberadaan ketiga ekosistem tersebut menjadi habitat berbagai biota laut. Biota laut yang ada di dalamnya merupakan kekayaan laut pesisir (Anonim, 2015).
Ekosistem mangrove adalah tipe ekosistem yang terdapat di daerah pantai dan secara teratur di genangi air lautatau dipengaruhi oleh pasang surut air laut, pantai dengan kondisi tanah berlumpur, berpasir, atau lumpur berpasir (Indriyanto, 2006). Ekosistem hutan mangrove disebut juga ekosistem hutan payau (estuari), yaitu daerah perairan dengan kadar garam/ salinitas antara 0,5 % dan 30% (Indriyanto, 2006). Ekosistem hutan mangrove di Indonesia dikemukakan Bengan dalam Indriyanto (2006), memiliki keanekaragaman spesies tumbuhan yang tinggi dengan jumlah spesies tercatat sebanyak lebih kurang 202 spesies yang terdiri atas 89 spesies pohon, 5 spesies palem, 19 spesies liana, 44 spesies epifit dan 1 spesies sikas.
Menurut Nontji dan Nybakken dalam Anwar dan Gunawan (2007), hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung. Pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia tercatat seluas 4,25 juta ha, sedangkan pada tahun 1993 menjadi 3,73 juta ha sehingga dalam kurun waktu 11 tahun tersebut hutan mangrove berkurang seluas 0,52 juta ha (Departemen Kehutanan, 1997). Hal ini umumnya terjadi karena:
1.      Konversi hutan mangrove menjadi penggunaan lain, misalnya tambak, pemukiman atau fasilitas umum lainnya.
2.       Over eksploitasi.
Luas ekosistem hutan mangrove yang ada di Indonesia sekitar 4.251.011 Ha yang tersebar di beberapa pulau, seperti Sumatera, Jawa dan Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua/Irian yang dimana persebaran ekosistem hutan mangrove terbesar terdapat di Papua/Irian (± 65%) 1 dan Sumatera (± 15%). Tetapi, lebih dari setengah luas ekosistem hutan mangrove yang ada di Indonesia ternyata dalam kondisi rusak parah, diantaranya 1,6 juta Ha dalam kawasan hutan dan 3,7 juta Ha di luar kawasan hutan (Ginting, 2006).

1.2  Maksud dan Tujuan
Maksud diadakannya praktikum ekologi perairan laut tropis di Pantai Dusun Pasir Putih, Desa Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara adalah agar para praktikan dapat mengamati keadaan ekosistem mangrove, di Pantai Pantai Dusun Pasir Putih, Desa Dudepo. Selain itu, praktikan  dapat melihat secara langsung jenis-jenis individu yang terdapat di ekosistem mangrove tersebut.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Definisi Mangrove
      Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan lautan. Fungsi ekologis mangrove adalah sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan berbagai macam biota. Fungsi fisik sebagai penahan erosi, amukan angin topan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya. Ekosistem mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis penting seperti, penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat-obatan, dan lain-lain (Dahuri et al., 1996).
      Mangrove adalah tumbuhan  yang hidup di antara perairan yang mempunyai pasang tertinggi dan surut terendah yang bersubstrat berpasir, berlumpur dan sedikit berkarang, tetapi juga dapat hidup pada pantai karang, pada dataran koral mati yang diatasnya ditimbuni selaput tipis pasir atau ditimbuni lumpur atau pantai berlumpur (Insyafitri, 2009).
      Mangrove merupakan sumber daya hayati pesisir yang sangat penting bagi manusia yaitu sebagai pelindung dan penahan pantai, penghasil bahan organik, bahan industri dan obat-obatan serta sebagai kawasan pariwisata dan konservasi. Ekosistem mangrove yang ada di Indonesia dikenal sebagai kawasan hutan sejenis paling beragam di dunia sekaligus pelabuhan bagi kehidupan berbagai jenis hewan dan tumbuhan, Sebanyak 189 jenis tumbuhan diketahui hidup di kawasan mangrove dan sekitar 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit berada di hutan mangrove Indonesia (Soemordihardjo dkk., 1993).
2.2  Manfaat dan Fungsi Mangrove
Menurut Davis, Claridge dan Natarina (1995), hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat sebagai berikut :
1.      Habitat satwa langka
         Hutan bakau sering menjadi habitat jenis-jenis satwa. Lebih dari 100 jenis burung hidup disini, dan daratan lumpur yang luas berbatasan dengan hutan bakau merupakan tempat mendaratnya ribuan burug pantai ringan migran, termasuk jenis burung langka Blekok Asia (Limnodrumus semipalmatus)
2.      Pelindung terhadap bencana alam
         Vegetasi hutan bakau dapat melindungi bangunan, tanaman pertanian atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam melalui proses filtrasi.
3.      Pengendapan lumpur
         Sifat fisik tanaman pada hutan bakau membantu proses pengendapan lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan penghilangan racun dan unsur hara air, karena bahan-bahan tersebut seringkali terikat pada partikel lumpur.Dengan hutan bakau, kualitas air laut terjaga dari endapan lumpur erosi.
4.      Penambah unsur hara
         Sifat fisik hutan bakau cenderung memperlambat aliran air dan terjadi pengendapan. Seiring dengan proses pengendapan ini terjadi unsur hara yang berasal dari berbagai sumber, termasuk pencucian dari areal pertanian.
5.      Penambat racun
         Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam keadaan terikat pada permukaan lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi molekul partikel tanah air. Beberapa spesies tertentu dalam hutan bakau bahkan membantu proses penambatan racun secara aktif.
6.      Sumber alam dalam kawasan (In-Situ) dan luar Kawasan (Ex-Situ)
         Hasil alam in-situ mencakup semua fauna dan hasil pertambangan atau mineral yang dapat dimanfaatkan secara langsung di dalam kawasan. Sedangkan sumber alam ex-situ meliputi produk-produk alamiah di hutan mangrove dan terangkut/berpindah ke tempat lain yang kemudian digunakan oleh masyarakat di daerah tersebut, menjadi sumber makanan bagi organisme lain atau menyediakan fungsi lain seperti menambah luas pantai karena pemindahan pasir dan lumpur.
7.      Transportasi
            Pada beberapa hutan mangrove, transportasi melalui air merupakan cara yang paling efisien dan paling sesuai dengan lingkungan.
8.      Sumber plasma nutfah
            Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar manfaatnya baik bagi perbaikan jenis-jenis satwa komersial maupun untukmemelihara populasi kehidupan liar itu sendiri.
9.      Rekreasi dan pariwisata
            Hutan bakau memiliki nilai estetika, baik dari faktor alamnya maupun dari kehidupan yang ada di dalamnya.
10.  Sarana pendidikan dan penelitian
            Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan laboratorium lapang yang baik untuk kegiatan penelitian dan pendidikan.
11.  Memelihara proses-proses dan sistem alami
            Hutan bakau sangat tinggi peranannya dalam mendukung berlangsungnya proses-proses ekologi, geomorfologi, atau geologi didalamnya.
12.  Penyerapan karbon
            Proses fotosentesis mengubah karbon anorganik (CO2) menjadi karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem, bahan ini membusuk dan melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai (CO2).Akan tetapi hutan bakau justru mengandung sejumlah besar bahan organik yang tidak membusuk.Karena itu, hutan bakau lebih berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan dengan sumber karbon.
13.  Memelihara iklim mikro
            Evapotranspirasi hutan bakau mampu menjaga ketembaban dan curah hujan kawasan tersebut, sehingga keseimbangan iklim mikro terjaga.
14.  Mencegah berkembangnya tanah sulfat masam
            Keberadaan hutan bakau dapat mencegah teroksidasinya lapisan pirit dan menghalangi berkembangnya kondisi alam.

2.3  Organisme-Organisme Mangrove
      Menurut Maire dalam Arfiati (1989) menyatakan bahwa suhu secara ekologiakan mempengaruhi penyebaran (distribusi) spesies. Karena organisme cenderung menempati lingkungan yang bersuhu sesuai bagi kehidupannya. Suhu secara fisiologi dapat mempengaruhi berbagai aktivitas biologi di dalam sel. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude) waktu dalam air, sirkulasi udara, penutupan awan,dan aliran air, serta kedalaman badan air. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viscusitas, rekasi kimia, evaporasi dan volansisasi. Peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen melakukan proses metabolisme dan respirasi. Ikan akan mengalami kerentanan tehadap penyakit pada suhu yang kurang optimal. Fluktuasi suhu yang terlalu beasr akan menyebabkan ikan stress yang dapat mengakibatkan kematian pada ikan (Pratama, 2009)
      Bentos merupakan organisme yang melekat atau beristirahat pada dasar endapan. Bentos dapat dibagi berdasarkan makananya menjadi pemakan penyaring (kerang) dan pemakan deposit (siput) (Odum, 1971). Bentos meliputi segala macam avertebrata air yang hidup di permukaan dasar perairan atau di dalam sedimen dasar perairan. Dasar perairan dapat berupa lumpur, batu, kerikil, baik di laut, sungai, maupun danau (Sugiarto Suwingnyo dan Majariana Krisanti dalam Trimulya, 2013).

2.4  Faktor Lingkungan untuk Pertumbuhan Mangrove
      Menurut Departemen  Kehutanan (1992), kondisi ekologis yang mengatur dan memelihara kelestarian ekosistem mangrove sangat tergantung pada kondisi berimbangnya jumlah ketersedian air tawar dan air masin yang cukup. Kondisi lingkungan yang mempengaruhi hutan mangrove adalah kondisi sedimentasi, erosi laut dan sungai, penggenangan pasang surut dan kondisi garam tanah serta kondisi akibat eksploitasi. Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove di suatu lokasi adalah :
a.       Fisiografi pantai (topografi)
b.      Pasang (lama, durasi, rentang)
c.        Gelombang dan arus
d.      Iklim (cahaya, curah hujan, suhu, angin)
e.       Salinitas
f.       Oksigen terlarut
g.      Tanah
h.      Hara


BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1  Tempat Dan Waktu
Waktu pelaksanaan praktikum pada hari dan tanggal Sabtu, 2 Mei 2015, pukul 10.00 s/d selesai. Bertempat di Dusun Pasir Putih, Desa Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo
3.2  Alat Dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan pada saat praktikum:
Tabel. 3.1 Alat dan bahan
No.
Alat
Bahan
1.
Tali raffia
Dusun Pasir Putih, Desa Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalodengan berbagai biota yang ada dalam Mangrove.
2.
Patok kayu
3.
Transek Kuadran
4.
Alat tulis menulis
5.
Camera
6.
Buku Gambar

3.3  Prosedur Kerja
Sebelum melakukan praktikum, mahasiswa dapat melihat prosedur kerja di bawah ini, yakni:
1.      Setiap kelompok praktikan memasang patok kemudian dipasang dengan tali raffia sehingga berbentuk persegi panjang dengan ukuran 5 x 5 meter.
2.      Setiap kelompok praktikan mengidentifikasi karakteristik ekosistem yang ada di lokasi praktikum (mangrove, lamun, terumbu karang)
3.      Mengamati habitat, kondisi lingkungan, substrat serta organisme yang berinteraksi dengan ekosistem yang ada dilokasi praktikum.
4.      Mengambil spesiesmen biota perairan yang ada didalam transek kuadran.
5.      Mengukur kualitas air seperti suhu dan pH.
6.      Mendokumentasikan setiap sampel yang ditemukan dilokasi praktek dan menggambar biota yang ditemukan di dalam transek kuadran.
7.      Semua data hasil pengamatan dimasukkan di hasil dan pembahasan.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1  Hasil
Dari hasil praktikum pengamatan organisme dan habitat yang ada di hutan bakau atau mangrove yang terdapat di daerah Dusun Pasir Putih, Desa Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo utara, Provinsi Gorontalo didapatkan hasil di bawah ini:
Tabel 2.Hasil pengamatan organisme yang ada di mangrove.
No.
Nama
Gambar
Jumlah
1.
Kepiting Bakau
3
2.
Certhidea cingulata
4
3.
Nerita plicata
5
4.
Bintang Ular
2
5.
Bivalvia
3

Tabel 3. Parameter kualitas air
Parameter Kualitas Air
Suhu
pH
31oC
6

4.2  Pembahasan
a.       Kepiting Bakau
Kepiting bakau tergolong dalam family portunidae yang terdiri atas enam sub family yaitu Carcininae, Polybiinae, Caphyrinae, Podophthalminae, Cotoptrinae, dan Portunidae.Jumlah jenis kepiting yang tergolong dalam keluarga portunidae di perairan Indonesia diperkirakan lebih dari 100 spesies.Portunidae merupakan salah satu keluarga kepiting yang mempunyai pasangan kaki jalan dan pasangan kaki kelimanya berbentuk pipih atau melebar pada ruas yang terakhir (distal) dan sebagian besar hidup di laut, perairan bakau, dan perairan payau (Sulistiono, 1992).
Keenan (1998) menyatakan bahwa kepiting bakau mempunyai empat spesies antara lain Scylla serrata, Scylla transquebarica, Scylla olivaceae, dan Scylla paramamosain dengan klasifikasi sebagai berikut:
Filum   : artropoda                 
Subfilum   : mandibula
            Kelas        : crustacea
                 Subkelas     : malacostraca
                      Tribe            : eumalakostraca
                          Subtibe          : eucarida
                                Ordo             : decapoda
                                      Subordo        : pleocyemata
                                            Suku               : brachyuran
                                                  Family           : portunidae
                                                       Genus            : Scylla
                                                            Spesies            : Scylla serrata



              Kepiting bakau memiliki pajang karapas lebih kurang dua pertiga dari lebarnya, permukaan karapas hampir semuanya licin kecuali pada beberapa lekuk bergranula (berbintik kasar).Dahi terdiri dari empat buah gigi tumpul (tidak termasuk dari ruang mata sebelah dalam). Tepi anterolateral, tepi sebelah luar dari kedua matanya, bergigi sembilan buah yang runcing dan berukuran hampir sama. Kedua matanya menempel di bagian anterior yang dilengkapi dengan tangkai sehingga ke dua matanya dapat digerak-gerakan lebih leluasa.Capit pada jantan dewasa dapat mencapai hampir dua kali panjang karapas, sedangkan pada betina atau kepiting jantan muda capitnya lebih pendek.Pada tepi anterior merus terdapat satu buah duri dan pada tepi posterior terdapat dua buah duri tajam. Pada karpus terdapat sebuah duri kokoh pada sudut bagian dalam, sedangkan pada sudut bagian luar berbentuk bulat dan kadang-kadang dilengkapi dengan satu atau dua duri tajam (Keenan, 1998)
              Kepiting bakau jantan dan betina dapat dibedakan dengan mengamati alat kelamin yang terdapat dibagian perut. Pada bagian perut jantan umumnya terdapat organ kelamin berbentuk segi tiga yang sempit dan dapat meruncing di bagian depan. Organ kelamin betina berbentuk segitiga yang relatif lebar dan di bagian depan agak tumpul. Kepiting jantan dan betina dibedakan oleh ruas abdomennya.Ruas abdomen kepiting jantan berbentuk segitiga, sedangkan pada kepiting betina berbentuk agak membulat dan lebih lebar (Keenan, 1998).
1.      Tingkah Laku dan Kebiasaan Kepiting Bakau
        Secara umum tingkah laku dan kebiasaan kepiting bakau menurut Karim, (2007) dalam Ramselviana (2012) yang dapat diamati adalah sbb:
a)      Suka berendam dalam lumpur dan membuat lubang pada dinding atau pematang tambak pemeliharaan. Dengan mengetahui kebiasaan ini, maka kita dapat merencanakan atau mendesain tempat pemeliharaan sedemikian rupa agar kemungkinan lolosnya kepiting yang dipelihara sekecil mungkin.
b)      Kanibalisme dan saling menyerang, sifat inilah yang paling menyolok pada kepiting sehingga dapat merugikan usaha penanganan hidup dan budidayanya. Karena sifatnya yang saling menyerang ini akan menyebabkan kelulusan hidup rendah dan menurunkan produktivitas tambak. Sifat kanibalisme ini yang paling dominan ada pada kepiting jantan, oleh karena itu budidaya monosex pada produksi kepiting akan memberikan kelangsungan hidup lebih baik.
c)      Moulting atau ganti kulit. Sebagaimana hewan jenis crustacea, maka kepiting juga mempunyai sifat seperti crustacea yang lain, yaitu Moulting atau ganti kulit. Setiap terjadi ganti kulit, kepiting akan mengalami pertumbuhan besar karapas maupun beratnya. Umumnya pergantian kulit akan terjadi sekitar 18 kali mulai dari stadia awal sampai dewasa. Selama proses ganti kulit, kepiting memerlukan energi dan gerakan yang cukup kuat, maka bagi kepiting dewasa yang mengalami pergantian kulit perlu tempat yang cukup luas. Pertumbuhan kepiting akan terlihat lebih pesat pada saat masih muda, hal ini berkaitan dengan frekuensi pergantian kulit pada saat stadia awal tersebut. Periode dan tipe frekuensi ganti kulit penting artinya dalam melakukan pola usaha budidaya yang terkait dengan desain dan konstruksi wadah, tipe budidaya dan pengelolaanya.
d)     Kepekaan terhadap polutan. Kualitas air sangat berpengaruh terhadap ketahanan hidup kepiting. Penurunan mutu air dapat terjadi karena kelebihan sisa pakan yang membusuk. Bila kondisi kepiting lemah, misalnya tidak cepat memberikan reaksi bila dipegang atau perutnya kosong bila dibelah, kemungkinan ini akibat dari menurunnya mutu air. Untuk menghindari akibat yang lebih buruk lagi, secepatnya pindahkan kepiting ke tempat pemeliharaan lain yang kondisi airnya masih segar.
2.      Kualitas Lingkungan
        Kualitas lingkungan adalah faktor penting yang dapat mempengaruhi keberadaan dan pertumbuhan semua organisme termasuk kepiting bakau. Dengan demikian, di alam hanya akan menempati habitat-habitat dalam perairan yang memiliki kondisi kualitas lingkungan yang mampu ditolerir olehnya. Kualitas lingkungannya antara lain: suhu, salinitas, kedalaman air, derajat keasaman.

b.      Cerithidea cingulata
1.      Klasifikasi Cerithidea cingulata
        Menurut Robertset.al (1928:8) dalam Laksmana (2011), klasifikasi Cerithidea cingulate adalah sebagai berikut:
Filum      : Mollusca
        Kelas             : Gastropoda
               Sub-Kelas : Orthogastropoda
                     Ordo     : Mesogastropoda
                              Famili : Potamididae
                                          Genus : Cerithidea
                                            Spesies :Cerithidea(Cerithideopsilla)  cingulate (Gmelin, 1791)

2.      Morfologi Cangkang Cerithidea cingulata
        Cerithidea cingulata memiliki cangkang tinggi berbentuk kerucut dengan sisi cangkang yang tidak cembung sehingga terlihat meruncing. Tinggi cangkang rata-rata 35 mm dan dapat mencapai hingga 45 mm. permukaan cangkang Cerithidea cingulate umumnya berwarna cokelat dan bertitik putih dengan garis spiral bagian dorsal yang sangat menonjol (Roberts et.al,1982:31 dalam Laksmana, 2011). Tipe operculum pada Cerithidea cingulate adalah multispiral dengan bahan dasar kitin (Houbrick, 1984:1 dalam Laksmana, 2011).Operculum pada Cerithidea cingulate berfungsi sebagai alat pertahanan terhadap pertahanan predator (Roberts et.al, 1982:31 dalam Laksmana, 2011).
3.      Ekologi serta Fisiologi Cerithidea cingulata
        Cerithidea cingulata umumnya hidup di zona intertidal, terutama pantai berlumpur, pantai berpasir, dan di hutan mangrove (Hinton 1972:4; Roberts et al. 1982:28; Sri-aroon et al. 2006:108 dalam Laksmana, 2011). Siput tersebut bernafas dengan insang dan berperan penting dalam rantai makanan di ekosistem mangrove sebagai pemakanan materi organic dalam sedimen atau lumpur didasar perairan.Keong tersebut memakan makro alga, bakteri, dan diatom yang ada pada sedimen atau lumpur di dasar perairan.(Aldon et al. 1998:10-12: Kamimura &Tsudhiya 2004:2 dalam Laksmana, 2011).
        Populasi Cerithidea cingulata dapat meledak jika diperairan tersebut banyak terdapat endapan bahan-bahan organic, sehingga populasinya dalam jumlah besar dapat menjadi bioindikator tingkat pencemaran organic di perairan payau (Kan-atireklap et al. 1997:79-89; Suwanjarat & Suwaluk 2003:415 dalam Laksmana, 2011).
        Habitat asli Cerithidea cingulataadalah diperairan hutan mangrove.Hewan tersebut dapat ditemukan di dasar perairan, akar mangrove, atau menempel pada batang mangrove (Suwanjarat & Suwaluk 2003:415 dalam Laksmana, 2011).Siput tersebut dapat hidup diperairan dengan kisaran salinitas 15-45 ppt (Vohra 1970:1 dalam Laksmana, 2011). Siput Cerithidea cingulate tersebut mencapai usia dewasa setelah satu tahun dan umumnya berukuran 15-17 mm. Setelah mencapai usia satu tahun, siput tersebut dapat bereproduksi dan berkembang biak dengan cepat (Aldon et al.1998:10-12: Kamimura & Tsudhiya 2004:2 dalam Laksmana, 2011). Pada salinitas air diatas 48 ppt hewan tersebut akan mati (Bagarinao & Olaguer 2000:1 dalam Laksmana, 2011). Nilai pH air yang sesuai untuk Cerithidea cingulate berkisar antara 6-9 dengan kisaran suhu sekitar 24-36 oC (Aldon et al. 1998:10-12: Bagarinao & Olaguer 2000:1; Coloso et al. 1998:671 dalam Laksmana, 2011)
c.       Bintang Ular
1.      Morfologi
Bintang ular umumnya memiliki lima lengan berbentuk seperti cambuk yang panjangnya bisa mencapai 60 cm (2 kaki) pada spesimen terbesar. Seperti echinodermata lainnya, Ophiuroidea memiliki rangka dari kalsium karbonat.Bentuk tubuh bintang ular mirip dengan Asteroidea.Kelima lengan ophiuroidea menempel pada cakram pusat yang disebut calyx. Ophiuroidea memiliki lima rahang. Di belakang rahang ada kerongkongan pendek dan perut besar, serta buntu yang menempati setengah cakram.
2.      Anatomi
Bintang ular menggunakan lengan mereka untuk bergerak.Mereka, tidak seperti bintang laut, bergantung pada kaki tabung. Bintang laut bergerak dengan menggerakan lengan mereka yang sangat fleksibel dan membuat mereka bergerak seperti ular.Pergerakan mereka mirip dengan hewan simetri bilateral.Pernapasan dilakukan oleh 5 pasang kantong kecil yang bercelah di sekitar mulut, alat ini berhubungan dengan saluran alat reproduksi (gonad).Alat-alat pencernaan makanan terdapat dalam bola cakram, dimulai dari mulut yang terletak di pusat tubuh kemudian lambung yang berbentuk kantong.Hewan ini tidak memiliki anus.Di sekeliling mulut terdapat rahang yang berupa 5 kelompok lempeng kapur.Makanan dipegang dengan satu atau lebih lengannya, kemudian dihentakkan dan dengan bantuan tentakel dimasukkan ke mulut.Sesudah dicerna, bahan-bahan yang tidak tercerna dibuang ke luar melalui mulut.Jenis kelamin hewan ini terpisah. Hewan ini melepaskan sel kelamin ke air dan hasil pembuahannya akan tumbuh menjadi larva mikroskopis yang lengannya bersillia, disebut pluteus. Pleteus kemudian mengalami metamorfosis menjadi bentuk seperti bintang laut dan akhirnya menjadi bintang ular.
3.      Habitat
Bintang ular dapat ditemukan pada perairan besar, dari kutub sampai tropis. Ada sekitar 1.500 spesies bintang ular yang hidup sekarang, dan mereka kebanyakan ditemukan pada kedalaman lebih dari 500 meter (1.620 kaki).
4.      Klasifikasi
klasifikasi dari bintang ular (Ophiolepsis sp) yaitu sebagai berikut:
Kingdom: Animalia
Pilum: Echinodermata
Class: Ophiuroidea
Ordo     : Valvatida
Family     : Ophiuridae
Genus     : Ophiolepsis
Species     Ophiolepsis sp
d.      Nerita plicata
1.      Taksonomi Nerita sp.
        Nerita adalah genus gastropoda laut yang memiliki insang dan operculum, dari family Neritidae, genus Nerita yang ditemukan diseluruh perairan dunia dimana diperkirakan ada 184 spesies yang ada pada genus. Adapun taksonominya sebagai berikut.
Kingdom : Animalia
        Sub-kingdom : Bilateria
                  Filum : Mollusca
                              Class : Gastropoda
                                            Sub-class : Orthogastropoda
Ordo: Neritimorpha
                                                      Famili: Neritidea
                                                              Genus : Nerita
                                Spesies: Nerita sp

2.      Morfologi Nerita sp.
        Kelompok yang bercangkang (Thecosomata) mempunya bentuk yang khas, tergantung jenisnya.Oleh sebab itu, pengenalan ciri-ciri morfologi cangkang ini sangat penting untuk identifikasi. Model dan bagian-bagian organnya terdiri dari Aperture (bukaan cangkang) bagian dorsal berbentuk seperti huruf D, variasi warna operculum warnanya berkisar dari hitam sampai ke hitam-hitaman juga warna pinggiran kemerahan, bagian ini terdiri dari bagian posterior dari outer lip (tepi atau ujung dari bagian luar aperture) dan parietal (wilayah dibagian dalam aperture) biasanya bergerigi kuat. Pada bagian inner lip terdapat 1 sampai 4 buah gigi berwarna putih dengan bentuk seperti proyeksi.Operculum berupa calcareous (bersifat keras), dengan pasak seperti proyeksi (projecting peg) pada bagian ujung dalam.
3.      Habitat Nerita sp.
        Spesies Nerita sp. pada umumnya ditemukan secara berkelompok atau bergelombol dengan populasi yang beragam dan berada dalam jumlah besaran dan ukuran waktu dan kondisi berbeda pula.Spesies ini berbentuk koloni sebagai komunitas yang mendiami daerah pantai-pantai yang berbatu terutama pada zona tengah sampai tertinggi dari intertidal, hingga pada daerah atas (supralitoral) yang masih dipengaruhi oleh psang surut dan juga pada rataan karang (reef flats).Berdasarkan habitat perairan komunitas ini dapat dijumpai pada perairan dengan zona berbeda (laut, payau dan tawar).
e.       Bivalvia
1.      Sistematika Bivalvia
        Kelas Bivalvia termasuk salah satu kelas dari phylum Molusca yangmemiliki empat ordo yaitu Protobranchia, Taxodonata, Dysodonta danPseudolamellibranchia.Kebanyakan hidup di laut terutama di daerah littoral, beberapa di daerah pasang surut dan air tawar.Beberapa jenis laut hidupsampai kedalaman 5000 m (Swit, 1993).Suwignyo (1998), membagi Bivalvia dalam 3 sub kelas diantaranya :
1)      Sub kelas Protobranchia
        Umumnya primitif; filamen insang pendek dan tidak melipat; permukaan kaki datar dan menghadap ke ventral; otot aduktor 2 buah.
a)Ordo Nuculacea
Tidak mempunyai sifon; sebagai deposit feeder mendapatkan makanan menggunakan proboscides; Nucula dan Yoldia dan hidup disemua laut terutama daerah temperate.
b)      Ordo Solenomyacea
Mempunyai sifon; menyaring makanan menggunakan insang; cangkang mempunyai semacam tirai (awning); Solen cangkangnya sangat rapuh.
2)      Sub kelas Lamellibranchia
        Filamen insang memanjang dan melipat, seperti huruf W; antara filament dihubungkan oleh cilia (filabranchia) atau jaringan (eulamellibranchia)
a)      Ordo Taxodonta
Gigi pada hinge banyak dan sama; kedua otot aduktor berukurankurang lebih sama; pertautan antara filamen insang tidak ada. Arca, Anadara, danBarbatia. Penyebarannya luas umumnya di pantai laut.
b)      Ordo Anisomyaria
Otot aduktor anterior kecil atau tidak ada yang posterior ukurannya besar, sifon tidak ada; terdapat pertautan antara filamen dengan cilia; biasanya sessile; kaki kecil dan memiliki bisus. Beberapa diantaranya: Mitylus, Ostrea, Atrina dan Pinctada.
c)      Ordo Heterodonta
Gigi pada hinge terdiri atas beberapa gigi kardinal dengan atau tanpagigi lateral; insang tipe eulamellibranchia; kedua otot aduktor sama besar; tepi mantel menyatu pada beberapa tempat, biasanyamempunyai sifon.Cardium, Corbicula, Marcenaria, Tagelus, Mya dan Tridacna kebanyakan hidup di laut.
d)     Ordo Schizodonta
Gigi dan hinge memiliki ukuran dan bentuk yang berfariasi; tipe insang eulamelli branchia. Kerang air tawar Pseudodon, Anodonta dan Mutelidea
e)      Ordo Adapedonta
Cangkang selalu terbuka, ligamen lemah atau tidak ada; gigi pada hinge kecil atau tidak ada; tipe insang eulamelli branchia; tepi mantel menutup, kecuali pada bukaan kaki; sifon besar, panjang dan menjadi satu; hidup sebagai pengebor pada subtrat keras. Pengebor tanah liatdan batu karang, Pholas, Mya, Panope, Teredo, dan Bankia. Umumnya terdapat dilaut mana saja
f)       Ordo Anomalodesmata
Tidak ada gigi pada hinge; tipe insang eulamelli branchia, tetapi lembaran insang terluar mengecil dan melengkung kearah dorsal; bersifat hermaprodit. Lyonsia, cangkang kecil dan rapuh, terdapat dilaut dangkal Atlantik dan Pasifik.
3)      Sub kelas Septibranchia
        Insang termodifikasi menjadi sekat antara rongga inhalant rongga suprabranchia, yang berfungsi seperti pompa.Umumnya hidup di lautdalam seperti Cuspidularia dan Poromya.
2.      Sistem pencernaan
        Sistem pencernaan dimulai dari mulut, kerongkongan, lambung, ususdan akhirnya bermuara pada anus. Anus ini terdapat di saluran yang sama dengan saluran untuk keluarnya air. Sedangkan makanan golongan hewan kerang ini adalah hewan-hewan kecil yang terdapat dalam perairan berupa protozoa diatom, dll. Makanan ini dicerna di lambung dengan bantuan getah pencernaan dan hati. Sisa-sisa makanan dikeluarkan melalui anus.
3.      Habitat Bivalvia
        Menurut Kastoro (1988) ditinjau dari cara hidupnya, jenis-jenis Bivalvia mempunyai habitat yang berlainan walaupun mereka termasuk dalam satu suku dan hidup dalam satu ekosistem. Bivalvia pada umumnya hidup membenamkan dirinya dalam pasir atau pasir berlumpur dan beberapa jenis diantaranya ada yang menempel pada benda-benda keras dengan semacam serabut yang dinamakan byssal threads. Demikian pula Nontji(1987), bivalvia hidup menetap di dasar laut dengan cara membenamkan diri didalam pasir atau lumpur bahkan pada karang-karang batu. Akan tetapi pada beberapa spesies bivalvia seperti Mytillus edulis dapat hidup di daerah intertidal karena mampu menutup rapat cangkangnya untuk mencegah kehilangan air (Nybakken, 1992).
4.      Peranan Bivalvia
        Secara ekologis, jenis Bivalvia penghuni kawasan hutan mangrovememiliki peranan yang besar dalam kaitannya dengan rantai makanan dikawasan hutan mangrove, karena disamping sebagai pemangsa detritus, bivalvia berperan dalam proses dekomposisi serasah dan mineralisasimateri organik yang bersifat herbivor dan detrivor. Daun mangrove yang jatuh dan masuk ke dalam air.Setelah mencapai dasar teruraikan olehmikroorganisme (bakteri dan jamur).Hasil penguraian ini merupakanmakanan bagi larva dan hewan kecil air yang pada gilirannya menjadi mangsa.
f.       Suhu dan pH
Suhu dan pH dapat juga mempengaruhi kualitas air pada suatu perairan dan juga organisme-organisme yang berada di tempat tersebut. Pada suhu 31 oC, organisme seperti Bivalvia, Neritus plicata, Kepiting bakau, Cerithidea cingulate dan Bintang Ular masih dapat bertahan pada suhu tersebut seperti yang di jelaskan oleh(Jasanul 1984 dalam Sultan 2001) bahwasuhu permukaan air laut umumnya 270 – 290C. Pada perairan dangkal dapat mencapai 340C. Di dalam hutan bakau sendiri suhunya lebih rendah dan variasinya hampir sama dengan daerah-daerah pesisir lain yang ternaungi.pH yang yang terdapat pada hutan mangrove yang menjadi tempat praktikum yakni menunjukkan angka 6. pH tersebut sangat baik untuk pertumbuhan mangrove serta organisme-organisme yang berada dalam ekosistim mangrove. Seperti yang dikatakan oleh (Kaswadji 1971 dalam Saleh, 2002) bahwa perairan dengan pH 5.5 - 6.5 dan >8,5 termasuk perairan kurang produktif, perairan dengan pH 6.5 – 7.5 termasuk perairan yang produktif dan perairan dengan pH 7.5 – 8.5 adalah perairan yang produktivitasnya sangat tinggi.


















BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas, maka dapat di tarik kesimpulan bahwa di sekitar kita masih banyak organisme-organisme yang dapat kita temui. Tetapi didalam praktikum, praktikan hanya dapat menemukan beberapa jenis organisme, yakni Bivalvia, Neritus plicata, Kepiting bakau, Cerithidea cingulata dan Bintang Ular dan organisme-organisme tersebut dapat bertahan pada suhu 31 oC dengan pH 6.0
5.2 Saran
Praktikan menyarankan agar praktium dikemudian hari dilakukan pada tempat yang berbeda sehingga kita dapat membandingkan organisme yang di peroleh dari tempat yang satu ketempat yang lain.











DAFTAR PUSTAKA
Anonim 2015 https://www.academia.edu/7566845/Laporan_Ekologi_Laut_Tropis (Diakses pada Selasa, 12 Mei 2015)
Anonim 2015 http://karyatulisilmiah.com/kajian-ekologi-komunitas-nerita-sp/(Diakses pada Selasa, 12 Mei 2015)
Anonim 2015 lib.ui.ac.id/file?file=digital/20280362-S614-Lama%20waktu.pdf (Diakses pada Selasa, 12 Mei 2015)
Affandi, R., D.S. Sjafei, M.F. Raharjo, dan Sulistiono. 1992.Ikhtiologi.Pedoman Kerja Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat.Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Anwar, C. dan Gunawan, H. 2007.Peranan Ekologis dan Sosial Ekonomis Hutan Mangrove Dalam Mendukung Pembangunan wilayah Pesisir.Prosiding.Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. 20 September 2006, Padang. pp 23-24
Arfiati, Diana. 1989. Komunitas-komunitas Alga perifiton di Sungai Cikaranggelem, Cikampek, Jawa Barat, sebagai Tempat Pembuangan Limbah Cair Pabrik Pupuk Urea. Bandung.
Dahuri, R et al. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita: Jakarta
Davis, Claridge dan Natarina. Sains & Teknologi 2: Berbagai Ide UntukMenjawab Tantangan dan Kebutuhan oleh Ristek Tahun2009,Gramedia, Jakarta,1995
Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1992. Manual Kehutanan. Depertemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.
Departemen Kehutanan., 1997, Aplikasi dan Penggunaan Citra Landset Dalam Pengukuran dan Pemetaan Lahan, Badan Planologi Kehutanan - Jakarta.
Keenan, C. 1998. Ilmu Kimia Untuk Universitas Edisi 6. The University Tennesa Knoville.Erlangga, Jakarta.
Kusmana, C. 1995. Pengembangan Sistem Silvikultur Hutan Mangrove dan Alternatifnya. Rimba IndonesiaXXX No. 1-2 : 35-41.
Odum, E.P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi.4rd ed. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Pratama, A., 2009. Tingkat Kecerahan Pada Perikanan Air Tawar. PT Penebar Swadaya, Jakarta.