Acanthaster planci
(Oleh,
Sahputra, 2014)
A. Morfologi Acanthaster planci
Acanthaster planci atau Crown of thorns starfish merupakan salah
satu jenis bintang laut dengan jumlah duri yang banyak sekali, sehingga di
Indonesia lebih dikenal dengan nama bulu seribu (Suharsono, 1991). Acanthaster planci adalah sejenis
bintang laut yang mempunyai lebih dari 21 lengan, seluruh permukaan tubuhnya
bagian atas penuh dengan duri-duri beracun, bintang laut dewasa dapat mencapai
ukuran diameter satu meter atau lebih (COREMAP, 2004).
Acanthaster planci bisa hidup
tersebar menyendiri atau dalam kondisi tertentu bisa hidup dalam kelompok besar
(Agregasi) (Aziz, 1998). Acanthaster planci memiliki bentuk tubuh yang
unik. Tubuhnya berbentuk cakram dengan perut yang besar dan rata (Birkeland dan
Lucas, 1990 dalam Rani, dkk, 2011). Bentuk Acanthaster planci dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Acanthaster
planci
Ukurannya yang relatif
besar dengan jumlah tangan yang bevariasi serta warna tubuh yang mencolok
abu-abu kemerahan atau violet tua kebiruan (Aziz, 1998). Moran (1990) dalam Rani dkk, (2011) menyatakan bahwa Acanthaster
planci memiliki lengan dengan jumlah yang bervariasi antara 8-21 buah yang
sangat lentur sehingga dapat membelit/melingkar segala bentuk koloni
karang. Acanthaster planci mempunyai kemampuan untuk memutuskan lengannya
bila diperlukan, hal ini diduga erat kaitannya dengan predasi terhadap Acanthaster planci. Hampir sebesar 60%
individu Acanthaster plancidalam satu populasi dapat kehilangan salah
satu atau lebih dari lengannya. Untuk melihat morfologi tampak atas dan tampak
bawah Acanthaster planci dapat
dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Morfologi Acanthaster planci (a) tampak atas (b) tampak bawah
(Damayanti, 2007
dalam Rani, dkk, 2011 ).
Struktur tubuh Acanthaster
plancisama dengan struktur umum dari Asteroidea
dengan tubuh yang berbentuk radial simetris mirip cakram bersumbu oral dan
aboral mempunyai lengan. Lengan bagian oral (mulut) menghadap ke bawah,
sedangkan aboral menghadap ke atas. Di bagian aboral terdapat madreporit dan
anus. Lubang madreporit 6 - 13 buah, sedang lubang anus berjumlah 1-6 buah.
Duri-duri yang beracun berukuran 2-4 cm menghiasi aboral tubuh cakram dan
lengan-lengannya (Ikhtiarto, 2011).
Menurut Moran (1990) dalam Anwar (2006) menyatakan bahwa
warna tubuh Acanthaster planci
bermacam-macam bergantung pada lokasi tempat tinggalnya, misalnya Acanthaster planci yang terdapat di
Thailand umumnya berwarna biru keungu-unguan, di Great Barrier Reef (Australia)
berwarna merah dan abu-abu, dan di Hawai berwarna hijau dan merah. Sedangkan
Aziz (1977) menyatakan bahwa di Pulau Pari Indonesia Acanthaster planci umumnya berwarna abu-abu, abu-abu ungu, abu-abu
merah dan biru. Ukuran diameter tubuh Acanthaster
planci yang sering ditemukan umumnya berkisar antara 10 - 30 cm.
B.
Sistematika Acanthaster planci
Acanthaster planci pertama kali diperkenalkan
oleh Rumphius pada tahun 1705 dengan nama Stella
marina quindecium radiorum (Aziz,1995). Kemudian Plancus dan Gualtieri,
memperkenalkan spesimen Acanthaster
yang mereka temukan di Goa, India pada tahun 1743, dengan nama Stella marina echinata. Dalam
perkembangannya, Linnaeus kemudian merevisi nama Stella marina echinata menjadi Asterias
planci sebagai bentuk penghargaan terhadap Plancus. Pada tahun 1841,
Gervais memperkenalkan nama generik Acanthaster,
menggantikan nama genus Asterias
(Birkeland et al, 1990 dalam Anwar, 2006). Penamaan binomial Acanthaster planci oleh Linnaeus pada
tahun 1758 inilah yang digunakan sampai sekarang (Aziz, 1995).
Birkeland dan Lucas (1990) dalam
Rani dkk, (2011) menjelaskan
bahwa Acanthaster terdiri atas 3
spesies dan 2 sub speises, yaitu: Acanthaster
planci, yang tersebar secara luas pada kawasan Indo Pasifik, Acanthaster ellisii, spesies yang
memiliki duri dan lengan yang pendek dan tersebar di kawasan Pasifik Timur, dan
Acanthaster brevispinus, yang
memiliki duri lebih pendek yang ditemukan di perairan Filipina. Perbedaan
bentuk Acanthaster planci, Acanthaster brevispinus, dan Acanthaster ellisii dapat dilihat pada
Gambar 3.
(a) (b)
(c)
Gambar 3. (a) Acanthaster planci, (b) Acanthaster
brevispinus, (c) Acanthaster ellisii.
Acanthaster
ellisii merupakan bintang laut pemakan karang yang
populasinya sangat jarang, hanya dilaporkan di Filipina. Beberapa pakar ekologi
meragukan validitas dari Acanthaster
ellisii, tetapi para pakar taksonomi Ekhinodermata memandangnya sebagai
jenis yang valid (Aziz, 1995). Bachtiar (2009) menambahkan bahwa Acanthaster bervipinnus adalah bintang
laut pemakan detritus (sampah organic). Ketiga spesies Acanthaster tersebut mempunyai genetik yang sangat mirip sehingga
kadang terjadi hibrid di antara mereka. Di dalam evolusi, Acanthaster planci berasal dari Acanthaster
brevipinnus yang mendapatkan kemampuan untuk memakan karang.
Jangoux dan Aziz (1984)
dalam Aziz (1995) menyatakan bahwa
telah menemukan sub spesies dari Acanthaster
brevispinus pada kedalaman 65 meter dari lautan Hindia dan dinamakan Acanthaster brevispinus seychellesensis.
Secara morfologi, sub spesies ini memiliki kedekatan dengan Acanthaster brevispinus yaitu memiliki
duri punggung yang relatif pendek. Dengan demikian maka genus Acanthaster mempunyai 3 spesies beserta
2 sub spesies yang valid. Subspesies lainnya yaitu Acanthaster ellsii pseudoplanci ditemukan Caso pada tahun 1962.
Berikut ini adalah
klasifikasi dari Acanthaster planci
menurut Berkeland dan Lucas (1990) dalam Rani,
dkk, (2011):
Kingdom : Animalia
Phylum : Echinodermata
Class : Asteroidea
Ordo : Spinolisida
Sub
Ordo : Leptognathina
Family : Acanthasteridae
Genus
: Acanthaster
Spesies : Acanthaster planci
Di Indonesia Acanthaster planci dikenal juga dengan sebutan bulu seribu. Dalam bahasa
inggris disebut the crown of thorns
starfish atau bintang laut mahkota berduri (Aziz, 1977).
C.
Habitat Acanthaster planci
Terumbu karang dan segala kehidupan yang ada di dalamnya merupakan salah
satu kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, yang tak ternilai
harganya. Diperkirakan luas terumbu karang Indonesia adalah lebih dari 60.000
km2 yang tersebar luas dari perairan Kawasan Barat Indonesia sampai
Kawasan Timur Indonesia (Anonim, 2001).
Wilayah Indonesia merupakan tempat bagi sekitar 1/8 dari terumbu karang
dunia dan merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman biota perairan dibanding
Negara-negara Asia Tenggara lainnya (Anonim, 2001). Meskipun
beberapa karang dapat dijumpai di lautan-lautan subtropis, tetapi spesies yang
membentuknya hanya terdapat didaerah tropis. Kehidupan terumbu karang dibatasi
oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 meter dan pertumbuhan maksimum
terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang dari 10 meter dan suhu sekitar 250
sampai 290C (Hutabarat dan Evans, 1985).
Terumbu karang selalu
hidup bersama-sama dengan hewan lain. Rangka karang itu sendiri memberikan
suatu tempat perlindungan bagi bermacam-macam spesies hewan termasuk termasuk
jenis penggali lubang dari golongan moluska, cacing polychaeta, dan kepiting.
Terumbu karang juga merupakan tempat hidup yang sangat baik bagi ikan hias
(Hutabarat dan Evans, 1985).
Ekosistem terumbu karang merupakan habitat (tempat hidup) bagi ribuan
biota, baik sementara atau menetap sepanjang hidup. Biota yang hidup terus
menerus di terumbu karang seperti hewan karang, anemon, kima dan akar bahar.
Biota-biota tersebut selama hidupnya tidak berpindah-pindah, menetap, kecuali
bila dipindahkan. Ada juga biota yang selama hidupnya di daerah terumbu karang,
akan tetapi dapat berpindah dari satu lokasi terumbu karang ke lokasi lain,
misalnya ikan-ikan hias, ikan kerapu, dan lain-lain. Dan ada biota yang hanya
hidup sementara di terumbu karang karena memijah, mengasuh atau mencari makan
(Kordi, 2010).
Lebih lanjut Kordi (2010) menyatakan bahwa penghuni perairan dangkal
yang umumnya terdapat di terumbu karang dan padang lamun adalah Bintang Laut
yang masuk dalam kelompok Ekhinodermata. Bintang laut yang carnivora (pemakan
hewan) memakan berbagai hewan seperti teritip, sponge, kerang, keong, spesies
Ekhinodermata lain, cacing, kepiting kecil, sampai karang. Salah satu bintang
laut yang terkenal adalah bintang seribu atau mahkota duri (Acanthaster planci) sangat ganas dan melahap karang batu sampai
menimbulkan kehancuran yang meluas.
Bintang laut Acanthaster planci
merupakan penghuni terumbu karang yang alami. Anakan Acanthaster planci yang masih kecil hidup di antara pecahan karang
di dasar terumbu. Mereka memakan alga berkapur yang tumbuh pada pecahan karang
tersebut. Bintang laut Acanthaster planci
yang berukuran (40 cm) mencari makan pada siang hari (CRC, 2003). Pada siang
hari, Acanthaster planci kecil
bersembunyi dari pemangsa di bawah karang meja atau di celah-celah terumbu,
sehingga survey populasi Acanthaster
planci tidak menemukan individu berukuran kecil. Separuh dari waktu hidup Acanthaster planci digunakan untuk
makan, sehingga dampaknya terhadap terumbu karang dapat sangat besar ketika
populasinya besar (Bachtiar, 2009).
Anwar (2006) menyatakan bahwa Acanthaster
planci umumnya menyukai daerah terumbu karang dengan persentase tutupan
karang yang tinggi. Sedangkan anakan Acanthaster
planci lebih menyukai tempat yang terlindung, misalnya bersembunyi di bawah
bongkah-bongkah karang atau pecahan karang. Acanthaster
planci dewasa tidak menyukai tempat terbuka seperti daerah perairan dangkal
yang dipengaruhi ombak atau arus yang kuat.
Sementara Suharsono (1991) menyatakan bahwa di Kepulauan Seribu, Acanthaster planci dewasa pada umumnya
biasa dijumpai pada kedalaman 3–5 meter. Kedalaman maksimum dimana Acanthaster planci pernah ditemukan
adalah 65 meter pada perairan Great Barrier Reef, Australia.
D. Biologi Acanthaster planci
1). Reproduksi dan Daur Hidup Acanthaster planci
Suharsono (1991) menyatakan bahwa Acanthaster planci
dibedakan menjadi hewan jantan dan betina sehingga tidak dikenal adanya Acanthaster
planci yang bersifat hermaprodit. Fertilisasi secara eksternal dengan ratio
1:1 untuk gamet jantan dan gamet betina. Acanthaster planci dewasa
dengan ukuran 0,5-4 kg dapat menghasilkan telur sebanyak 4-65 juta.
Pada saat pemijahan,
terjadi pelepasan secara serentak antara sperma dan telur. Waktu pemijahan
tergantung pada letak geografi di mana hewan ini hidup. Di belahan bumi selatan
terjadi pada bulan November-Januari sedang untuk belahan bumi Utara terjadi
pada bulan Mei -Juli. Tahapan daur hidup Acanthaster planci dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Tahapan Daur Hidup Acanthasther planci (Sumber
: Anwar, 2006)
Great Barrier Reef menunjukkan bahwa jumlah terbesar dari spermatozoa
dan oozit yang telah matang terdapat pada bulan November. Fase gametogenesis
yang terjadi pada bulan November hingga Desember mengalami kemunduran
kematangan gonad. Testis yang telah matang dan dilapisi berjuta-juta dinding
sel yang merupakan tempat untuk memproduksi sperma sedangkan dalam ovarium
hanya terdapat 1 sel telur yang matang (Birkeland dan Lucas, 1990 dalam Rani, dkk, 2011). Setelah 6–12 hari, larva bipinaria tersebut akan memasuki
tahapan perkembangan yang selanjutnya, yaitu berubah menjadi larva brachiolaria
(Moran, 1990 dalam Anwar, 2006).
Larva brachiolaria ini benar-benar bagaikan dua binatang yang menjadi
satu. Dimana bagian depannya merupakan larva yang bertugas untuk mengatur
pergerakan dan mencari makanan (swimming/feeding larva), sedangkan bagian paling
belakangnya merupakan embryo dari Acanthaster
planci. Jika beruntung, larva brachiolaria akan terbawa oleh arus ke suatu
terumbu karang dan kemudian melekat pada suatu substrat. Proses ini merupakan
tahapan awal dari fase metamorfosis Acanthaster
planci. Selanjutnya, bagian belakang dari larva brachiolaria yang merupakan
embryo dari Acanthaster planciakan
menyerap semua bagian yang tersisa dari larva brachiolaria. Dalam selang waktu
beberapa hari kemudian akan terbentuklah Acanthaster
planci muda (Lucas, 1987 dalam Anwar,
2006). Perubahan larva brachiolaria
menjadi stadium muda dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Larva brachiolaria umur 4 minggu
setelah inseminasi (a), stadium muda umur 2 minggu setelah metamorfosis (b),
stadium muda umur 7 minggu (c), stadium muda umur 19 minggu (d) (Sumber : Aziz, 1998).
2). Pertumbuhan Acanthaster planci
Pertumbuhan Acanthaster planci
sangat dipengaruhi oleh makanannya. Anakan Acanthaster
planci yang makan algae hanya mempunyai pertumbuhan sekitar 2,6 mm/bulan,
sedangkan yang makan karang mempunyai pertumbuhan paling cepat yaitu sekitar
16,7 mm/bulan (Moran, 1990 dalam Bachtiar,
2009). Menurut Zann, et al., (1987) dalam Aziz (1998) menyatakan bahwa bintang laut
jenis Acanthaster planci yang hidup
di perairan sekitar Kepulauan Fiji, pada saat usia di atas 5 bulan hidup dari
mengkonsumsi algae benang (Coraline algae).
Pada saat itu biota ini telah mencapai ukuran diameter tubuh sekitar 19,5 mm,
dengan kecepatan tumbuh (growth rate)
sekitar 2,6 mm/bulan.
Saat dewasa, pertumbuhan melambat menjadi sekitar 4,5 mm/bulan. Anakan Acanthaster planci yang berukuran kurang
dari 10 mm memakan algae, sedangkan yang berukuran 10-160 mm sudah mulai
memakan jaringan karang dan individu dewasa berukuran sekitar 250-400 mm
(Moran, 1990 dalam Bachtiar, 2009).
Sementara itu Suharsono (1991) menyatakan bahwa temperatur
optimal untuk pertumbuhan Acanthaster
planci berkisar antara 26-28°C. Batas toleransi suhu maksimum dan minimum
adalah 33°C dan 14°C sehingga diatas suhu 33°C Acanthaster planci akan
mati begitu juga di bawah suhu 14°C. Menurut Lucas (1973) dalam Aziz
(1998) bahwa larva akan tumbuh normal pada fluktuasi salinitas antara 26 ‰
sampai dengan 35 ‰. Pertumbuhan larva akan terhambat pada salinitas lebih
rendah dari 22 ‰.
Lebih lanjut dinyatakan
Suharsono (1991) bahwa kecepatan tumbuh Acanthaster planci pada kondisi
normal adalah 26 mm perbulan untuk individu muda yang memakan algae. Individu
muda pemakan karang mempunyai pertumbuhan yang sangat cepat yaitu 16.7 mm per
bulan sedangkan setelah mencapai dewasa pertumbuhan berkisar antara 4.5 mm per
bulan.
Menurut Yamaguchi
(1987) dalam Aziz (1995), bahwa
bintang laut jenis Acanthaster planci
stadium muda (juvenil) akan terhenti pertumbuhannya pada suhu air laut sekitar
16°C, dan biota ini akan mati setelah beberapa hari ditempatkan pada suhu 12°C.
Suhu air laut antara 14°C sampai dengan 15°C dapat dipandang sebagai suhu yang
mematikan (lethal temperature). Hal
ini merupakan faktor penghalang bagi Acanthaster
planci untuk menyebar ke daerah ugahari yang bertemperatur lebih dingin.
Ukuran diameter tubuh berdasarkan umur adalah seperti yang terlihat pada Tabel
1.
Tabel
1. Ukuran Diameter Tubuh Berdasarkan Umur
Umur (Bulan)
|
Diameter tubuh (mm)
|
8
|
20
|
16
|
78
|
24
|
145
|
48
|
270
|
72
|
380
|
Sumber
:
(Suharsono, 1991)
3).
Cara Makan dan Preferensi Makanan Acanthaster
planci
Suharsono (1991) menjelaskan bahwa cara makan Acanthaster planci cukup unik. Isi perut dikeluarkan melalui mulut
kemudian ususnya akan menutupi permukaan koloni karang sehingga pencernaan
terjadi diluar tubuh Acanthaster planci.
Pada saat mencerna makanan Acanthaster
planci mengeluarkan suatu enzim dari "pyloric caeca" yang berfungsi sebagai pemecah lemak. Proses
pencernaan ini membutuhkan waktu antara 4-6 jam. Pada saat makan diduga Acanthaster planci juga mengeluarkan
suatu zat tertentu yang dapat merangsang Acanthaster
planci yang lain untuk berkumpul dan makan secara beramai-ramai.
Sorokin (1995) dalam Bachtiar
(2009) menyatakan bahwa di dalam eksperimen, bintang laut Acanthaster planci dewasa mempunyai preferensi makanan karang Pocilloporidae, Acroporidae dan Favidae;
tetapi pada kondisi lapang preferensi dapat berubah berdasarkan kondisi
turbulensi. Sementara Moran (1990) dalam Rani
(2007) menambahkan bahwa umumnya Acanthaster
planci dewasa memakan polip karang keras. Jika kondisi karang telah banyak
yang mati, maka karang lunak juga menjadi sasaran pemangsaan.
Kebiasaan makan Acanthaster planci
berlangsung pada siang hari (terang) dan malam hari (gelap) hari, tergantung pada
ukuran individu (Moran, 1990 dalam Rani,
2007). Karang Poritidae merupakan
jenis yang dihindari oleh Acanthaster
planci. Walaupun demikian, dalam kepadatan yang tinggi Acanthaster planci dapat memangsa semua jenis karang termasuk Poritidae. Koloni karang Pocilloporidae yang mempunyai hewan
simbion kepiting Trapezia atau udang Alpheus
biasanya dihindari oleh Acanthaster
planci (Bachtiar, 2009).
Makanan Acanthaster planci
berbeda-beda dan sangat tergantung pada tingkat kedewasaan dan ukuran tubuhnya.
Acanthaster planci dewasa aktif makan
pada waktu siang maupun malam hari, sedangkan anakan Acanthaster planci makan hanya dilakukan pada waktu malam hari
dengan tujuan untuk menghindari predator (Suharsono, 1998 dalam Anwar, 2006).
Makanan utama dari larva Acanthaster
planci adalah phytoplankton terutama
dari jenis diatom dan dinoflagellata. Pada tingkatan juvenil, Acanthaster planci dapat dibedakan menjadi
juvenil pemakan alga dan juvenil pemakan polyp karang berdasarkan jenis
makanannya.
Juvenil pemakan alga merupakan anakan Acanthaster planci yang masih berukuran sangat kecil, sehingga
belum dapat memakan polip karang. Juvenil pemakan alga ini hidup dari
mengkonsumsi alga utamanya corallinealgae
dari jenis Lithothamnion sp dan Porolithoa sp (Aziz, 1998).
Sementara Moran (1990) dalam Rani dkk, (2011) menyatakan juvenil pemakan
polyp karang merupakan anakan Acanthaster
planci yang telah berukuran cukup besar, sehingga telah dapat memakan polyp
karang. Acanthaster planci dewasa
umumnya memakan polyp dari karang keras, tetapi pada saat kekurangan makanan
mereka memakan karang lunak, algae,
gorgonian, dan bahkan dapat saling memangsa. Acanthaster planci dapat bertahan hidup tanpa makanan selama 6-9
bulan.
4).
Predator Acanthaster planci
Acanthaster planci
yang mempunyai bentuk tubuh yang kokoh dengan seluruh tubuh dilindungi
duri-duri yang beracun tampaknya tidak mungkin ada pemangsa yang mau
memakannya, akan tetapi sejak dari mulai bentuk telur hingga individu dewasa Acanthaster planci tidak luput dari
incaran pemangsa. Pada stadium larva Acanthaster planci merupakan
makanan karang batu dan ikan-ikan karang seperti Chromis dimideatus. Pada stadium juvenil Acanthaster planci merupakan makanan bagi ikan-ikan karang, udang
(Hyme-noceva picta), lobster (Panulirus penicillatus) (Suharsono,
1991). Sementara dalam CRC (2003) dinyatakan bahwa pada waktu Acanthaster
planci menjadi dewasa diburu oleh sejenis cacing dari jenis Pherecardi astriata, ikan karang dari
jenis Arothronhispidus dan jenis
moluska dari jenis Charoniatritonis.
Aziz (1998) menyatakan
bahwa bintang laut jenis Acanthaster
planci adalah pemangsa polip karang hidup. Kondisi ini berlaku terbalik
pada fase larva. Larva Acanthaster planci
ini merupakan mangsa bagi polip karang.
Selain karang, berbagai jenis ikan kecil dan ubur-ubur laut juga bertindak
sebagai predator dari larva Acanthaster
planci.
E.
Pemangsaan Terumbu Karang oleh Acanthaster
planci
Pemangsaan terhadap
terumbu karang juga merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan terumbu
karang. Hewan-hewan pemangsa terumbu karang antara lain bintang laut berduri,
ikan kakatua, kepe-kepe, bulu babi, dan Gastropoda spesies Drupella rugosa. Pemangsa paling terkenal adalah bintang laut
berduri atau mahkota duri (Acanthaster
planci) yang dalam Bahasa Inggris dinamakan Crown of thonrs hewan ini memangsa semua jenis karang hermatifik,
terutama marga Acropora. Ukuran hewan
ini cukup besar dan hanya makan jaringan karang hidup. Karena ukurannya yang
besar, bintang laut ini mampu merusak seluruh koloni karang selama makan
(Kordi, 2010).
Populasi Acanthaster planci yang berukuran lebih kecil lebih banyak
bersembunyi di bawah koloni karang, biasanya hanya makan sebagian dari koloni
karang terutama jenis Acropora sp, sehingga terumbu karang dapat pulih
kembali secara cepat apabila jumlahnya tidak begitu besar (CRC, 2003).
Lebih lanjut didalam
CRC (2003) dinyatakan bahwa beberapa terumbu karang masih dapat mendukung
populasi Acanthaster planci yang
kecil untuk beberapa tahun dengan sedikit persen tutupan karang mati. Diduga
terumbu karang dengan kondisi baik (persen tutupan karang hidup antara 40-50%),
masih dapat mendukung keberadaan 20-30 ekor bintang laut per hektar (10.000
meter persegi). Tetapi apabila populasi Acanthaster
planci cukup besar, akan terjadi peningkatan kompetisi perolehan makan dan
mengakibatkan lebih banyak lagi jenis karang yang dimakan, termasuk jenis Porites sp, yang dalam keadaan normal
tidak biasa dimakan.
Waktu terjadinya
ledakan populasi Acanthaster planci,
begitu banyaknya Acanthaster planci
di setiap meter persegi, sampai saling tumpang tindih. Acanthaster planci itu dapat mengurangi persen tutupan karang hidup
dari 25-40% menjadi kurang dari 1%. Terumbu karang demikian akan memerlukan
waktu lebih dari 10 tahun untuk tumbuh kembali seperti semula (COREMAP, 2004).
Anakan Acanthaster planci hidup dan tumbuh dengan baik, pada terumbu
karang dengan persen tutupan karang hidup lebih dari 10%. Bintang laut berduri
jarang ditemukan pada terumbu karang di Indo Pasfik (tidak ditemukan di
Atlantik) (Nybakken, 1992). Selain itu Nybakken (1992) juga menyatakan bahwa Acanthaster planci adalah bintang
bertangan banyak yang berukuran sangat besar, yang hanya makan jaringan karang
hidup. Karena ukuranya yang besar, ia mampu merusak seluruh koloni selama ia
makan.
Seperti yang dilaporkan
oleh Porter (1977) dalam Kordi (2010)
menyatakan bahwa Acanthaster planci mempunyai pilihan makanan yaitu spesies karang
yang tumbuh cepat dan menguasai tempat. Jadi hewan ini secara selektif
melakukan pengurangan atau pemindahan karang yang tumbuh cepat, dan
meningkatkan penyebaran karang, serta menolong spesies yang tumbuh lambat agar
dapat terjamin kelangsungan hidupnya. Acanthaster
juga mempengaruhi struktur terumbu bila kondisi lingkungan memungkinkan
populasi bintang laut ini tinggi.
Menurut Endean (1973) dalam Kordi (2010) menyatakan bahwa pada
kepadatan populasi normal, satu bintang laut berkembang menjadi tiga bintang
laut dalam 4-5 jam, sedangkan jika terjadi ledakan populasi berkembang menjadi
lebih dari 100 bintang laut dalam waktu 20 menit. Pada keadaan ini seluruh terumbu
karang dirusak oleh bintang laut dan hampir semua karang dimakan.
Sejak 1957, ketika
mula-mula ditemukannya ledakan populasi Acanthaster
menyebabkan bencana kematian terumbu pada banyak tempat di Pasifik Barat.
Di Guam, diperkirakan 90% terumbu karang sepanjang 3 km garis pantai telah
dirusak dalam waktu dua setengah tahun (Kordi, 2010). Kasus ledakan Acanthaster planci yang tercatat pertama
kali di Great Barrier Reef terjadi di
Green Land, didekat Cairns dalam Tahun 1962. Dimungkinkan lebih banyaknya
berita tentang ledakan populasi Acanthaster
planci sekarang dari pada waktu lalu itu, karena makin banyaknya turis dan
makin populernya penyelaman dengan SCUBA (COREMAP, 2004).
Lebih lanjut dalam
COREMAP (2004) dinyatakan bahwa ledakan populasi Acanthaster planci umumnya dimulai di bagian Utara Great Barrier Reef dan bergerak kearah
Selatan. Sesuai dengan arah arus laut sebagai contoh, terumbu karang dekat
Townville kena serangan pada tahun 1970 dan pada pertengahan tahun 1970an,
populasi Acanthaster planci telah
mencapai bagian Utara pulau-pulau Whitsunday, 300 km ke arah selatan.
Pergerakan ledakan Acanthaster planci
ke arah selatan ini sudah merupakan pola yang selalu terjadi di Great Barrier Reef.
Di Taman Nasional Bali
Barat, bintang laut Acanthaster planci
telah menimbulkan kerusakan terumbu karang di perairan sekitar Pulau Menjangan
yang merupakan obyek wisata laut. Dalam tempo kurang dari satu tahun, petugas
taman nasional mengumpulkan lebih dari 220.000 ekor hewan laut ini
(Romimohtarto dan Juwana, 2004).
F.
Faktor Penyebab Terjadinya Ledakan
Populasi Acanthaster planci.
Ada banyak teori yang
berkembang mengenai faktor penyebab terjadinya ledakan populasi Acanthaster planci. Namun hingga saat ini faktor penyebab terjadinya ledakan populasi Acanthaster planci masih menjadi bahan
perdebatan dikalangan para ilmuwan. Zann (1987) dalam Anwar (2006) menjelaskan bahwa secara garis besar teori-teori
tersebut dapat dikelompokkan menjadi :
1. Teori
faktor alami.
Teori ini menyatakan bahwa ledakan
populasi Acanthaster planci merupakan
suatu fenomena alam yang berdampak pada terumbu karang secara periodik. Secara
garis besar teori ini menyatakan bahwa tingkat reproduksi Acanthaster planci yang sangat tinggi merupakan penyebab terjadinya
ledakan populasi. Seekor Acanthaster
planci betina dapat menghasilkan jutaan telur, yang mana apabila kondisi
perairan (misalnya temperatur, salinitas, persediaan makanan) sangat sesuai
dengan yang dibutuhkan, maka banyak larva Acanthaster
planci yang dapat bertahan hidup sehingga dapat dibayangkan betapa besar
jumlah Acanthaster planciyang
dihasilkan. Teori faktor alami didukung oleh bukti geologis berupa
potongan-potongan rangka Acanthaster
planci yang ditemukan dalam lapisan sedimen perairan Green Island Reef dan John
Brewer Reef. Penemuan potongan-potongan rangka tersebut menunjukkan
keberadaan dalam jumlah besar di masa lalu khususnya di perairan Green Island Reef dan John Brewer Reef. Akan tetapi, bukti
geologis ini belum dapat membuktikan adanya ledakan populasi Acanthaster planci dimasa lalu (Zann,
1987 dalam Anwar 2006).
2. Teori faktor manusia.
Ledakan populasi Acanthaster planci tidak pernah terjadi
di masa lalu dan terumbu karang merupakan ekosistem yang stabil yang tidak
pernah mengalami fluktuasi populasi. Teori faktor manusia mengemukakan bahwa
ledakan populasi Acanthaster planci pada umumnya terjadi pada daerah padat penduduk
yang sangat dipengaruhi oleh aktifitas manusia dan polusi. Disamping itu,
semakin berkurangnya predator alami Acanthaster
planci akibat ulah manusia seperti perburuan triton dan ikan karang juga
menjadi faktor penyebab terjadinya ledakan populasi Acanthaster planci (Zann (1987) dalam
(Anwar) (2006).
CRC (2003) menyatakan
bahwa hingga saat ini penyebab munculnya peledakan populasi Acanthaster planci masih belum jelas
benar. Dari banyak teori yang ada, tiga teori yang mendapat banyak dukungan
para peneliti sebagai berikut:
- Fluktuasi kelimpahan populasi Acanthaster planci merupakan fenomena alami, yang tidak terlalu penting untuk dirisaukan.
- Penangkapan pemangsa Acanthaster planci untuk konsumsi (ikan, siput) telah menyebabkan terjadinya peledakan populasi, sehingga penangkapan tersebut harus segera dihentikan.
- Pembangunan kawasan pesisir telah menambah nutrient ke dalam laut sehingga menyediakan banyak makanan tambahan bagi larva Acanthaster planci dan meningkatkan kelulushidupannya, yang menyebabkan populasi Acanthaster planci sangat berlimpah.
Bachtiar (2009) menyatakan bahwa pembangunan kawasan
pesisir perlu dijadikan pijakan di dalam pencegahan terjadinya peledakan
populasi Acanthaster planci. Kelulushidupan
larva yang tinggi membutuhkan suplai makanan dalam jumlah yang besar. Larva Acanthaster planci membutuhkan makanan
dalam bentuk fitoplankton dan bakteri. Kelimpahan keduanya di terumbu karang
umumnya sangat rendah sehingga tidak cukup untuk membuat terjadinya peledakan
populasi. Kelimpahan tinggi fitoplankton dan bakteri di perairan laut dapat
terjadi jika ada suplai nutrient yang besar dari lumpur dan pupuk yang terbawa
limpasan sungai, atau dari pembuangan limbah kota ke laut. Peran pemangsa dalam
pengendalian populasi Acanthaster planci
juga sangat penting. Tetapi yang manakah pemangsa utama dari Acanthaster planci masih belum sangat
jelas.
CRC (2003) menyatakan
bahwa dalam hidupnya seekor betina Acanthaster
planci dapat menghasilkan 1000 juta (satu milyar) telur. Jika
kelulushidupan larva meningkat dari 1/100 juta menjadi 1/10 juta, maka
peningkatan populasi akan bertambah 10 kali lipat. Jadi cara pengelolaan
bintang laut Acanthaster planci dapat
dilakukan dengan mengurangi suplai nutrient ke laut dan penangkapan
pemangsanya. Faktor Salinitas juga merupakan faktor yang meningkatkan
kelulushidupan larva Acanthaster planci.
G.
Penanggulangan Ledakan Populasi Acanthaster
planci
Bachtiar (2009)
menyatakan bahwa pengelolaan terumbu karang untuk mengatasi masalah Acanthaster planci seharusnya ditujukan
untuk mencegah munculnya peledakan populasi, menangani peledakan populasi yang
sedang terjadi, dan mempercepat pemulihan terumbu karang yang rusak oleh Acanthaster planci. Pencegahan timbulnya
peledakan populasi harus menjadi pilihan utama didalam pengelolaan Acanthaster planci. Peledakan populasi Acanthaster planci membutuhkan
penyebaran larva dalam jumlah yang besar. Jika larva dalam jumlah besar ini
dapat tumbuh menjadi dewasa dan menghasilkan larva dari pemijahannya, maka
peledakan populasi dapat terjadi pada terumbu karang yang menjadi penerima
larva tersebut.
Lebih lanjut Faizal
(2014) menyatakan bahwa ada beberapa cara untuk melakukan penanggulangan
ledakan populasi Acanthaster planci yaitu
sebagai berikut:
- Mengeluarkan dan membakar Acanthaster planci di tepi pantai adalah efisien untuk pembersihan di perairan dangkal. Dalam pelaksanannya, semua peserta harus diingatkan agar mengurangi setiap kemungkinan perusakan terumbu karang ketika mengambil.
- Pagar bawah air dibuat dengan cara membuat pagar pada area yang sudah mengalami peledakan populasi dimana pagar-pagar ini dibuat untuk menjaga individu dewasa tidak kelaur kemana-mana.
Sedangkan Suharsono (1991) memberikan saran untuk
upaya pengendalian ledakan populasi Acanthaster
planci sebagai berikut:
1.
Memotong-motong tubuh Acanthaster planci atau memenggal
tubuhnya menjadi paling sedikit 4 bagian. Hal ini perlu dilakukan karena jika
tubuhnya dibagi menjadi 2 bagian maka masing-masing bagian akan dapat
beregenerasi kembali menjadi individu baru yang utuh.
2. Penyuntikan
racun direkomendasikan dengan cara menyuntik Acanthaster planci dengan Cupri sulfat pekat dengan dosis antara
5-10 ml/ekor. Sodium bisulfat (asamkering), namun biaya yang dikeluarkan cukup
mahal.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim, 2001. Naskah
Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir. Direktorat Jenderal Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Anwar, A. 2006. Tingkat Kematian
Karang Keras (Scleractinia) Akibat Predator Bulu Seribu (Acanthaster planci) di Kepulauan Spermonde Makassar. Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Jurusan
Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Aziz, A. 1977. Bulu Seribu dari
Pulau Pari. Oseana. 4 (1); 7-13j
_______1994.Pengaruh Salinitas Terhadap Sebaran Fauna Ekhinodermata. Oseana. 19(2);
23-32j
_______1995. Beberapa Catatan tentang Kehadiran Bintang Laut Jenis Acanthasterplanci di Perairan Indonesia.
Oseana. 20(2); 23-32j.
_______1996. Makanan dan Cara Makan
Berbagai Jenis Bintang Laut.Oseana. 21(3); 13-22j.
_______1998. Beberapa Catatan tentang Daur Hidup Bintang Laut Pemakan Karang. Oseana.23(2);
11-17j.
Bachtiar, I. 2009. Bintang Laut
Mahkota Duri (Acanthaster planci,
Asteroidea).
(http://mycoralreef.wordpress.com/2009/01/26/bintang-laut-mahkota-duri-acanthaster-planci-asteroidea/.Di
akses Pada Tanggal 20 Maret 2014).
CRC, 2003. Crown-of-thorns starfish on the Great Barrier Reef. Australian
Institute of Marine Science.
Dinas Perikanan dan Kelautan. 2011.
Profil Desa Pesisir Kota Gorontalo Provinsi Gorontalo TA. 2011.
Dirjen Pemberdayaan Masyarakat dan
Desa Departemen Dalam Negeri. 2013. Profil Desa dan Kelurahan. TA. 2013.
Haerul, 2013. Analisis Keragaman dan
Kondisi Terumbu Karang di Pulau Baranglompo Kabupaten Pangkep. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan. Universitas Hasanudin. Makassar.
Hutabarat, S dan Evans, S.M. 1985. Pengantar Oseanografi. UI-Press. 140-141.
Hutauruk, E.L. 2009. Studi
Keanekaragaman Echinodermata di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh
Darussalam. Skripsi. Departemen
Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera
Utara. Medan.
Ikhtiarto, S. 2011. Ekstraksi,
Pemurnian dan Uji Aktivitas Anti Bakterial Racun Duri Acanthaster planci Perairan Maluku dan papua. Skripsi. Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik. Universitas
Indonesia. Depok.
Kordi, K.M.G.H. 2010. Ekosistem
Terumbu Karang. PT Rineka Cipta. Jakarta: 73-76.
Napitupulu, P., Tioho, H., dan
Windarto, A. 2013. Struktur Populasi Acanthaster
planci di Rataan Terumbu Bagian Selatan Pulau Bunaken. Jurnal Pesisir dan
Laut Tropis. 1(1). hal 34-36.
Nybakken.
1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan
Ekologis. PT. Gramedia, Jakarta.
Rani, C., Arifin. D., dan Alfian. A.
2011. Status Ekologi Kepadatan Predator
Karang Acanthaster Planci Linn: Kaitannya Dengan Kondisi Terumbu Karang
di Perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi. Universitas Hasanudin. Makassar.
Rani, C.,
Syafiudin. Y., Florentina. DS. B. 2007. Preferensi dan Daya Predasi Acanthaster Planci Terhadap Karang Keras. Jurusan Ilmu Kelautan
Fakultas Ilmu kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanudin. Makassar.
Romimohtarto,
K. dan Juwana. 2004. Meroplankton Laut:
Larva Hewan Laut yang Menjadi Plankton. Jakarta: Djambatan.
Sahputra. D. 2014. Analisis Populasi Acanthaster
planci Di Perairan Teluk Tomini Kelurahan Leato Selatan Kota Gorontalo. Skripsi. Fakultas Ilmu-ilmu Pertanian.
Universitas Negeri Gorontalo.
Suharsono. 1991. Bulu Seribu (Acanthaster planci). Oseana Vol. XVI,
3: 2-6. Jakarta.
Suryono, T., Sunanisari, S.,
Mulyana, E., dan Rosidah. 2010. Tingkat
Kesuburan dan Pencemaran Danau Limboto, Gorontalo. Oseanologi dan
Limnologi di Indonesia.36(1): 49-61j
Thamrin, Setiawan, Y.J., dan
Siregar, S.H. 2011. Analisis Kepadatan Bulu Babi Diadema Setosum Pada Kondisi Terumbu
Karang Berbeda Di Desa Mapur Kepulauan Riau. Jurnal Ilmu Lingkungan. V:5 (1). Hal 46.