Music

Senin, 23 Maret 2015

Ekosistem Lamun

 
EKOSISTEM LAMUN
(publish: Djunaidi, 2015) 

2.1  Pengertian Lamun
Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki kemampuan beradaptasi secara penuh di perairan yang memiliki fluktuasi salinitas tinggi, hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati. Hamparan vegetasi lamun yang menutupi suatu area pesisir disebut sebagai padang lamun (seagrass bed). Padang lamun merupakan salah satu ekosistem perairan yang produktif dan penting, hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai stabilitas dan penahan sedimen, mengembangkan sedimentasi, mengurangi dan memperlambat pergerakan gelombang, sebagai daerah feeding, nursery, dan spawning ground, sebagai tempat berlangsungnya siklus nutrient (Philips dan Menez, 2008), dan fungsi lain dari padang lamun yang tidak kalah penting dan banyak diteliti saat ini adalah perspektifnya dalam menyerap CO2 (carbon sink) (Kawaroe, 2009 dalam Sakaruddin 2011).
Lamun merupakan suatu ekosistem yang sangat penting dalam wilayah pesisir karena memiliki keanekaragaman hayati tinggi, sebagai habitat yang baik bagi beberapa biota laut (spawning, nursery dan feeding ground) dan merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya (Nontji, 2002 dalam Feryatun, dkk, 2012). Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Air yang bersirkulasi diperlukan untuk menghantarkan zat-zat hara dan oksigen, serta mengangkut hasil metabolisme lamun ke luar padang lamun (Bengen, 2002 dalam Hasanuddin, 2013).
2.2 Karakteristik Lamun
Menurut Azkab (2006), lamun merupakan tumbuhan yang mempunyai pembuluh secara struktur dan fungsinya memiliki kesamaan dengan tumbuhan yang hidup di daratan. Seperti halnya tumbuhan rumput daratan, lamun secara morfologi tampak adanya daun, batang, akar, bunga dan buah, hanya saja karena lamun hidup di bawah permukaan air, maka sebagian besar lamun melakukan penyerbukan di dalam air. Lamun sebagai tumbuhan berbunga sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup terbenam dalam laut.
Lamun sebagian besar berumah dua yang artinya dalam satu tumbuhan hanya ada bunga jantan saja atau bunga betina saja. Sistem pembiakan generatifnya cukup khas karena mampu melakukan penyerbukan di dalam air dan buahnya terendam di dalam air (Phillips & Menes, 1988 dalam Azkab, 2006).
Menurut Den Hartog (1967) dalam Azkab (2000) karakteristik pertumbuhan lamun dapat dibagi enam kategori yaitu :
1.      Parvozosterids, yaitu pertumbuhan dengan daun memanjang dan sempit, contoh Halodule, Zostera submarga Zosterlla.
2.      Magnozosterids, yaitu pertumbuhan dengan daun memanjang dan agak lebar, contoh Zostera submarga Zostera, Cymodocea, Thalassia.
3.      Syringodiids, yaitu pertumbuhan dengan daun bulat seperti lidi dengan ujung runcing, contoh Syringodium.
4.      Enhalids, yaitu pertumbuhan dengan daun panjang dan kaku seperti kulit atau berbentuk ikat pinggang yang kasar, contoh Enhalus, Posidoniq, Phyllospadix.
5.      Halophilids, yaitu pertumbuhan dengan daun bulat telur, dips, berbentuk tombak atau panjang, rapuh dan tanpa saluran udara, contoh Halophila.
6.      Amphibolids, yaitu pertumbuhan dengan daun tumbuh teratur pada kiri kanan, contoh Amphibolids, Thalassodendron, dan Heterozostera.
Karakteristik lain tentang pertumbuhan lamun yaitu mampu hidup di media air asin (garam), mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, mempunyai kemampuan berkembang biak secara generatif dalam keadaan terbenam dan dapat berkompetisi dengan organisme lain dalam keadaan stabil ataupun tidak stabil pada lingkungan laut (Phillips & Menes, 1988 dalam Azkab, 2006).
2.3 Morfologi Jenis  Lamun di Indonesia
Lamun memiliki bunga, berpolinasi, menghasilkan buah dan menyebarkan bibit seperti halnya tumbuhan darat. Klasifikasi lamun adalah berdasarkan karakter tumbuh-tumbuhan. Selain itu, genera di daerah tropis memiliki morfologi yang berbeda, sehingga perbedaan spesies dapat dilakukan dengan dasar gambaran morfologi dan anatomi (Tangke, 2010 dalam Eki, 2012).
 Gambar 1. Tumbuhan Lamun (McKenzie dan Yoshida, 2009 dalam Apramilda, 2011)

Secara morfologi (Gambar 1), lamun terdiri dari akar, rimpang, pelepah daun, helaian daun bunga dan buah. Sepintas, lamun memiliki morfologi yang mirip dengan rumput di darat. Layaknya tumbuhan tingkat tinggi terestrial, hamparan tumbuhan lamun pada ekosistem laut dikenal sebagai padang lamun. Padang lamun telah diketahui berperan penting dalam menstabilkan sedimen, mengurangi erosi pantai, pelumpuran pada terumbu karang, serta menyediakan tempat memijah dan mencari makan berbagai jenis biota dan ikan (Fonseca & Fischer 1986 dalam Trisnawati, 2012). Padang lamun dapat berbentuk vegetasi tunggal yang terdiri dari satu jenis lamun atau vegetasi campuran yang terdiri dari 2 hingga 12 jenis lamun yang tumbuh bersama-sama pada satu substrat (Kirkman 1990 dalam Trisnawati, 2012).
Ada 60 jenis lamun yang tersebar di perairan dunia dan 12 di antaranya terdapat di perairan Indonesia (Supriyadi, 2009 dalam Trisnawati, 2012). Di perairan Indonesia, umumnya lamun tumbuh di daerah pasang surut, pantai berpasir dan sekitar pulau-pulau karang (Nienhuis, et al., 1989 dalam Takaendengan dan Azkab, 2010). Jenis-jenis lamun di Indonesia yaitu :  
           
Gambar 2. Jenis-jenis lamun di Indonesia

2.4  Sebaran Lamun
Lamun tersebar pada sebagian besar perairan pantai di dunia, hanya pada beberapa wilayah saja tumbuh-tumbuhan ini tidak ditemukan. Dari 12 genera yang ada, 7 genera merupakan penghuni perairan tropik dan 5 genera yang lain terdapat pada perairan Ugahari. Dari 7 genera lamun penghuni perairan tropik, 3 genera termasuk famili Hydrocharitaceae yaitu Enhalus, Thalassia dan Halodule, Cymodecea, Syringodium dan 4 genera termasuk famili Pomatogetonaceae yaitu Halodule, Cymodecea, Syringodium dan Thalassodendron, semua termasuk subfamili Cymodoceoideae (Kiswara dan Hutomo, 1985).       
Berdasarkan hasil penelitian (Eki, 2013) yang dilakukan di perairan Desa Ponelo, teridentifikasi 8 jenis lamun dan termasuk dalam famili Potamogetonaceae dan Hidrocaritaceae yaitu Enhalus acoroides, Thalasia hemprichii, Cymodoceae rotundata, Cymodoceae serrulata, Halophila ovalis, Halophila minor, Halodule uninervis, dan Syringodium isoetifolium. Yunus, (2014) melaporkan bahwa di perairan Teluk Tomini Kelurahan Leato Selatan, teridentifikasi hanya 2 jenis dari 2 famili, yaitu jenis Thalassia hemprichii dari famili Hydrocaritaceae dan jenis Cymodoceae rotundata dari famili Potamogetonaceae. Umar (2014) melaporkan bahwa di Desa Olimoo’o ditemukan 4 jenis lamun yang tergolong dalam 2 famili, yaitu famili Potamogetonaceae dan famili Hydrocharitaceae. Jenis lamun yang berasal dari famili Potamogetonaceae adalah spesies Cymodocea rotundata dan spesies Syringgodium isoetitolium, sedangkan jenis lamun dari famili Hydrocharitaceae adalah spesies Halophila ovalis dan spesies Thalassia hemprichii.
2.5 Peranan Lamun
Padang lamun merupakan habitat bagi beberapa organisme laut. Hewan yang hidup pada padang lamun ada yang merupakan penghuni tetap ada pula yang bersifat pengunjung. Hewan yang datang sebagai pengunjung biasanya untuk memijah atau mengasuh anaknya seperti ikan. Selain itu, ada pula hewan yang datang mencari makan seperti penyu (turtle) yang makan lamun Syringodium isoetifolium dan Thalassia hemprichii (Soedharma, 2007 dalam Eki,2013).
Adapun peranan dan fungsi lamun sebagai berikut :
a.       Sebagai Produsen Primer
Lamun memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian besar memasuki rantai makanan di laut, baik melalui pemangsaan langsung oleh herbivora maupun melalui proses dekomposisi sebagai serasah. Randall (1967) dalam Hutomo dan Azkab (1987), di West Indies mendapatkan 30 jenis ikan pemakan lamun dari 59 jenis herbivora yang diamati isi lambungnya. Selain ikan, beberapa jenis hewan lain mengkonsumsi langsung lamun seperti, berbagai jenis cacing, krustasea, reptil dan mamalia.
Meskipun beberapa hewan dapat mengkonsumsi langsung lamun, tetapi proses dekomposisi juga merupakan hal yang penting. Proses dekomposisi menghasilkan materi yang langsung dapat dikonsumsi oleh hewan pemakan serasah. Serasah yang mengendap akan dikonsumsi oleh fauna bentik, sedangkan partikel-partikel serasah di dalam air merupakan makanan invertebrata pemakan penyaring. Pada gilirannya nanti hewan-hewan tersebut akan menjadi mangsa dari karnivora yang terdiri dari berbagai jenis ikan dan invertebrata (Hutomo dan Azkab, 1987).
b.      Stabilisator Dasar Perairan
Vegetasi lamun yang lebat memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus dan ombak, serta menyebabkan perairan di sekitarnya tenang, dengan demikian ekosistem ini bertindak sebagai pencegah erosi dan penangkap sedimen.  (Randall, 1965 dalam Hutomo dan Azkab, 1987). Sebagai akibat dari pertumbuhan daun yang lebat dan sistem perakaran yang padat, maka vegetasi lamun dapat memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus dan ombak serta menyebabkan perairan di sekitarnya tenang. Hal ini dapat dikatakan bahwa komunitas lamun dapat bertindak sebagai pencegah erosi dan penangkap sedimen (Kikuchi & Peres, 1977 dalam Azkab, 2006).
Gingsburg & Lowen Stan (1958) dalam Hutomo dan Azkab (1987) menjelaskan bahwa lapisan lamun dapat memodifikasikan sedimen yang pertama, lamun menstabilkan ukuran pasir dan kedua hamparan lamun yang lebat menyebabkan perairan menjadi tenang. Begitu sedimen halus tersebut ke bawah dan berada di antara akar, dia tidak dapat tersuspensi lagi oleh kekuatan ombak dan arus.
c.       Pendaur Zat Hara
Lamun memegang fungsi yang utama dalam daur berbagai zat hara dan oleh elemen-elemen langka di lingkungan laut. Beberapa jenis algae biru-hijau yang bersifat epifitik pada Thalassia, memfiksasi nitrogen dan menyebabkan nitrat yang terlarut mendapatkan jalan masuk ke inangnya (Goering & Parker, 1972 dalam Azkab, 2006).
Nitrogen yang dibawa ke dalam sistem tumbuh-tumbuhan , baik oleh algae biru-hijau epifitik atau bakteri rhizophora akan dapat dipergunakan oleh jenis algae epifitik, baik melalui inangnya atau dari pengayaan terhadap air laut. Selain sebagai pendaur zat hara, juga diketahui bahwa dari hasil ekstrak ditemukan zat-zat kimia yang sangat berguna. Jenis Zostera merupakan sumber yang potensial yang menghasilkan sintesa glycosylurea sebagai makanan tambahan hewan ternak (mamalia), juga mengandung lignin (14,8%) dan pektin (Mcroy & Helfferich, 1977 dalam Hutomo dan Azkab, 1987).
d.      Sebagai Pelindung Pantai
Lamun selain merupakan habitat bagi berbagai biota laut, juga berfungsi sebagai pelindung pantai yang kokoh. Lamun tumbuh membentuk padang lamun yang tebal, sedangkan akar rhizomanya mampu merayap di bawah permukaan dasar perairan sehingga mampu mengikat sedimen dan memperkokoh tumbuhan lamun. Karena itu, ketika terjadi arus dan angin kencang atau gelombang yang besar, tumbuhan lamun cukup kokoh sekalipun lamin terlihat miring sampai merapat ke dasar perairan. Dengan demikian, lamun menjadi salah satu pelindung pantai yang baik. Daya rusak arus, angin, dan gelombang menjadi berkurang ketika sampai di padang lamun yang kokoh dengan ketebalan tumbuhan lamunnya (Kordi, 2011).


e.       Sebagai Penjernih Perairan
Lamun mempunyai daya untuk memperangkap (trapped) sedimen, menstabilkan substrat dasar, dan menjernihkan air. Karena itu, lingkungan perairan di area lamun terlihat jernih. Kejernihan air di lingkungan lamun memudahkan biota akuatik dalam mencari makan. Demikian pula aktivitas pemijahan dan pengasuhan biota akuatik (Kordi, 2011).
Fungsi lamun sebagai penjernih perairan harus didukung oleh ekosistem di sekitarnya, termasuk mangrove dan terumbu karang. Mangrove berfungsi menahan masuknya air tawar dan lumpur dari darat ke padang lamun, sehingga padang lamun tidak menerima limpahan air tawar secara berlebihan, apalagi lumpur dari darat. Jika mangrove dibabat habis, maka air tawar dan lumpur yang terangkut oleh banjir begitu mudah masuk ke padang lamun dan seterusnya ke terumbu karang. Dengan demikian, merusak ekosistem sama dengan merusak tiga ekosistem pesisir sekaligus, yaitu ekosistem mangrove, ekosistem lamun, dan ekosistem terumbu karang (Kordi, 2011).
f.       Tempat Asuhan dan Tempat Tinggal Organisme Perairan
Padang lamun merupakan daerah asuhan untuk beberapa organisme. Sejumlah jenis fauna tergantung pada padang lamun, walaupun mereka tidak mempunyai kontribusi terhadap keragaman pada komunitas lamun, tetapi tidak berhubungan langsung dengan nilai ekonomi. Beberapa organisme hanya menghabiskan sebagian dari siklus hidupnya di padang lamun dan beberapa dari mereka adalah ikan dan udang yang mempunyai nilai ekonomi penting (Azkab, 2006).
2.6 Kerapatan, Keanekaragaman Jenis dan Tingkat Tutupan Lamun
a. Kerapatan
Kerapatan/kepadatan spesies adalah jumlah individu (tegakan) dari suatu spesies persatuan luas tertentu. Kerapatan dinyatakan sebagai jumlah individu per meter persegi, analisis data kerapatan suatu spesies di dalam komunitas memiliki tujuan untuk menghitung populasi atau jumlah individu dalam satuan luas tertentu (Odum, 1998 dalam Hardiyanti, 2012).
Gosari dan Haris (2012) melaporkan hasil penelitian mereka di Kepulauan Spermonde Kota Makassar bahwa kerapatan lamun tertinggi dijumpai di Pulau Bone Batang yang mencapai 830 ind/m2 dan terendah di Pulau Samalona yang tidak terdapat lamun, namun kerapatan terendah untuk jenis lamun yang sama dijumpai di Pulau Langkai yang mencapai 185 ind/m2. Kerapatan terendah ini kurang lebih seperempat kali dari kerapatan tertinggi sehingga pola penyebaran lamun di Kepulauan Spermonde tidak tersebar merata. Nur (2004) dalam Eki (2013) menyatakan bahwa rendahnya kerapatan jenis disebabkan oleh sedikitnya jumlah jenis yang mampu beradaptasi terhadap faktor lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian Eki (2013) bahwa kerapatan jenis lamun di Desa Ponelo jenis Thalassia hemprichii memiliki nilai kerapatan tertinggi dibandingkan dengan jenis lamun lainnya yang terdapat di lokasi penelitian dengan nilai 62,13 tegakan/m2. Bila dilihat dari nilai rata-rata jenis ini tetap yang memiliki kerapatan tertinggi untuk seluruh wilayah penelitian dengan nilai 44,80 tegakan/m2. Sedangkan jenis lamun yang terendah adalah jenis Halophila minor yang ditemukan pada stasiun II dengan nilai 1,00 tegakan/m2. Bila dilihat dari nilai rata-rata, jenis ini tetap yang memiliki kerapatan terendah dari seluruh wilayah penelitian dengan nilai 0,78 tegakan/m2.
Menurut hasil penelitian Umar (2014) bahwa kerapatan jenis lamun di Desa Olimoo’o tertinggi dari ketiga stasiun yaitu jenis lamun Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii dengan nilai 108.35 ind/m2 dan 91.003 ind/m2. Hal ini memungkinkan karena karakteristik substrat yang berbeda antar stasiun, sebaran pertumbuhan lamun yang tersebar secara merata dan beberapa faktor lingkungan lainnya seperti kondisi lingkungan yang berbeda, dan kerapatan terendah jenis lamun Halophila Ovalis dengan nilai kerapatannya rata-rata 5.91. 
b. Indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman adalah suatu perhitungan yang digunakan untuk mengukur kelimpahan komunitas berdasarkan jumlah jenis spesies dan jumlah individu dari setiap spesies pada suatu lokasi. Semakin banyak jumlah spesies, maka semakin beragam komunitasnya (Krebs, 1972 dalam Nainggolan, 2011).
Yunus (2014) melaporkan hasil penelitian di Kelurahan Leato Selatan bahwa nilai indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun I dengan nilai 0.49, kemudian disusul oleh stasiun III dengan 0.36 sedangkan nilai keanekaragaman terendah terdapat pada Stasiun II dengan nilai 0.34. Rendahnya indeks keanekaragaman juga disebabkan karena jumlah spesies pada setiap stasiun penelitian sangat sedikit, sehingga komunitas yang ada pada setiap stasiun penelitian tidak terlalu beragam. Namun jika semakin banyak jumlah spesies pada lokasi penelitian, maka semakin beragam pula komunitasnya dan indeks keanekaragaman akan semakin tinggi (Krebs, 1972 dalam Nainggolan, 2011).  
Menurut Odum (1993) dalam Syamsurisal (2011), indeks keanekaragaman merupakan salah satu perhitungan yang sering digunakan untuk mengevaluasi suatu kondisi lingkungan perairan berdasarkan kondisi biologinya. Tidak seimbangnya kondisi lingkungan akan turut mempengaruhi suatu organisme yang hidup pada perairan. Nilai indeks keanekaragaman (H’) terbesar didapatkan jika semua individu yang didapatkan berasal dari jenis atau genera yang berbeda-beda dan keanekaragaman mempunyai nilai kecil atau sama dengan 0, jika suatu individu berasal dari satu atau hanya beberapa jenis saja (Ina, 1989 dalam Syamsurisal, 2011).
Keanekaragaman yang tinggi menunjukkan penyebaran jumlah individu tiap jenis  yang tinggi dan kestabilan juga tinggi (Syamsurisal, 2011). Sementara menurut Fauziyah (2004) rendahnya keanekaragaman dikarenakan kondisi lingkungan yang kurang stabil dan kurang bisa mendukung kehidupan jenis lamun. Nainggolan (2011) menambahkan bahwa rendahnya keanekaragaman dikarenakan kondisi fisik perairan yang masih mendapat pengaruh langsung dari darat berupa run off  yang berasal dari masukan air sungai.
c. Tutupan Jenis Lamun
Penutupan lamun menggambarkan seberapa luas lamun yang menutupi suatu perairan dan biasanya dinyatakan dalam persen. Nilai persen penutupan tidak hanya bergantung pada nilai kerapatan jenis lamun, melainkan dipengaruhi juga oleh keadaan morfologi dari jenis lamun tersebut.
Nainggolan (2011) melaporkan bahwa penutupan lamun pada lima stasiun berbeda-beda pada jenis lamun yang sama dan tersebar di lima kondisi lingkungan yang berbeda. Namun secara umum, Enhalus acoroides dan Thalassia hempricii memiliki penutupan jenis yang paling tinggi dengan nilai 89,86% ini terdapat pada stasiun 5 hal ini disebabkan lamun yang sangat umum ditemui dan memiliki morfologi yang lebih besar daripada jenis lamun lainnya serta tersebar luas diseluruh perairan. Enhalus acoroides memiliki penyebaran yang seragam pada daerah tesebut, artinya jenis ini mampu hidup pada habitat manapun yang memiliki kondisi lingkungan yang sesuai. Sedangkan penutupan jenis yang paling rendah terdapat pada stasiun 4 dengan nilai 24,83% dan di ikuti dengan stasiun 3 dengan nilai 34,50%, Jenis lamun memiliki persentase penutupan terendah dikarenakan bentuk morfologi yang kecil dan sulit untuk ditemui.
2.7 Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Lamun
2.7.1 Suhu
Suhu merupakan faktor penting bagi kehidupan organisme di perairan khususnya lautan, karena pengaruhnya terhadap aktivitas metabolisme ataupun perkembangbiakan dari organisme tersebut. Suhu mempengaruhi proses fisiologi yaitu fotosintesis, laju respirasi, dan pertumbuhan. Lamun dapat tumbuh pada kisaran 5 – 35 C, dan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25 – 30 C. Sedangkan pada suhu di atas 45 C lamun akan mengalami stres dan dapat mengalami kematian (McKenzie, 2008 dalam Sakaruddin 2011).
2.7.2 Salinitas
Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur, lamun akan mengalami kerusakan fungsional jaringan sehingga mengalami kematian apabila berada di luar batas toleransinya. Beberapa lamun dapat hidup pada kisaran salinitas 10 – 45 ‰, dan dapat bertahan hidup pada daerah estuari, perairan tawar, perairan laut, maupun di daerah hipersaline sehingga salinitas menjadi salah satu faktor distribusi lamun secara gradien. Thalassia dapat tumbuh optimum pada kisaran salinitas 24-35 ‰, namun dapat juga ditemukan hidup pada salinitas 3.5 – 60 ‰ dengan waktu toleransi yang singkat (Hemminga dan Duarte, 2000 dalam Sakaruddin, 2011).
2.7.3 Kedalaman
Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Lamun hidup pada daerah perairan dangkal yang masih dapat dijumpai sampai kedalaman 40 meter dengan penetrasi cahaya yang masih baik (Humminga dan Duarte, 2000 dalam Sakaruddin, 2011).
Lamun tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai kedalaman 30 m. Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, sedangkan Thalassodendron ciliatum mendominasi zona intertidal bawah. Semakin dalam suatu perairan maka intensitas cahaya matahari untuk menembus dasar perairan menjadi terbatas dan kondisi ini akan menghambat laju fotosintesis lamun di dalam air.
2.7.4 Kecerahan
Kecerahanan secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan lamun karena berpengaruh terhadap penetrasi cahaya yang masuk ke perairan yang dibutuhkan oleh lamun untuk berfotosintesis. Kecerahan perairan dipengaruhi oleh adanya partikel-partikel tersuspensi, baik oleh partikel-partikel hidup seperti plankton maupun partikel-partikel mati seperti bahan-bahan organik, sedimen dan sebagainya. Cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan produksi lamun di perairan pantai yang keruh. Umumnya lamun membutuhkan kisaran tingkat kecerahan 4 – 29% untuk dapat tumbuh dengan rata-rata 11% (Hemminga dan Duarte, 2000 dalam Sakaruddin, 2011).
2.7.5 Substrat
Lamun dapat ditemukan pada berbagai karakteristik substrat. Padang lamun di Indonesia dikelompokkan ke dalam enam kategori berdasarkan karakteristik tipe substratnya, yaitu lamun yang hidup di substrat lumpur, lumpur berpasir, pasir, pasir berlumpur, puing karang dan batu karang. Hampir semua jenis lamun dapat tumbuh pada berbagai substrat, kecuali pada Thalassodendron ciliatum yang hanya dapat hidup pada substrat karang batu.  Terdapat perbedaan antara komunitas lamun dalam lingkungan sedimen karbonat dan sedimen terrigen dalam hal struktur, kerapatan, morfologi dan biomassa lamun (Humminga dan Duarte, 2000 dalam Sakaruddin, 2011).


DAFTAR PUSTAKA
Azkab, M.H. 2006. Ada Apa dengan Lamun. Oseana, Volume XXXI, Nomor 3, 2006 : 45 – 55.
Azkab, M.H. 2000. Struktur dan Fungsi pada Komunitas Lamun. Oseana, Volume XXV,  Nomor 3, 2000: 9 - 17.
Apramilda, R. 2011. Status Temporal Komunitas Lamun dan Keberhasilan Transplantasi Lamun Pada Kawasan Rehabilitasi di Pulau Pramuka dan Harapan, Kepulauan Seribu, Provinsi Dki Jakarta. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (tidakdipublikasikan).
Eki, N, Y. 2013. Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun (Seagrass) di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo. Skripsi. Fakultas Teknologi Perikanan. Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo. (tidak dipublikasikan).
Fauziyah, I. M. 2004. Struktur Komunitas Lamun di Pantai Batu Jimbar Sanur. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (tidak dipublikasikan).
Feryatun, F., B. Hendrarto., N. Widyorini. 2012. Kerapatan dan Distribusi Lamun (Seagrass) Berdasarkan Zona Kegiatan yang Berbeda di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Journal Of Management Of Aquatic Resources. Volume , Nomor , Tahun 2012, Halaman 1-7.
Gosari, B. A. J dan Haris. A. 2012. Studi Kerapatan dan Penutupan Jenis Lamun di Kepulauan Spermonde. Volume 22. No 3. Universitas Hasanuddin  Makassar.
Hardiyanti.S. Umar. M.R. Priosambodo. D. 2012. Analisis vegetasi lamun di perairan pantai mara’bombang kabupaten pinrang Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin, Makassar
Hasanuddin, R. 2013. Hubungan Antara Kerapatan dan Morfometrik Lamun Enhalus Acoroides dengan Substrat dan Nutrien di Pulau Sarappo Lompo Kabupaten Pangkep. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar. (tidak dipublikasikan)
Hutomo, H dkk. 2004. Pedoman Umum Pengelolaan Ekosistem Lamun Berbasis Masyarakat. Proyek Rehabilitasi Dan Pengelolaan Terumbu Karang Departemen Kelautan Dan Perikanan. Coremap. Jakarta. 29 hlm
Hutomo, M. dan Azkab, M.H. 1987. Peranan Lamun di Lingkungan Laut Dangkal. Oseana, volume XII, Nomor 1 : 3-23.
Nainggolan, P. 2011. Distribusi Spasial dan Pengelolaan Lamun (seagrass) di Teluk Bakau Kepulauan Riau. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan).
KEPMEN. 2004. Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun.
Kordi, K.M.G.H.2011. Ekosistem Lamun (Seagrass) Fungsi, Potensi, dan Pengelolaan. RinekaCipta. Jakarta.
Kiswara, W., Hutomo, M. 1985.  Habitat Dan Sebaran Geografik Lamun. Jurnal.  Oseana, Volume X, Nomor 1 : 21- 30.
Sahami, F. 2003. Struktur Komunitas Bivalvia Di Wilayah Estuari Sungai Donan dan Sungai Sapuregel Cilacap. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Syamsurisal. 2011. Studi Beberapa Indeks Komunitas Makrozoobenthos di Hutan Mangrove Kelurahan Coppo Kabupaten Barru. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar
Sakaruddin, M, I. 2011. Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan dan Luas Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990 – 2010. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan)
Soewadji, J. 2012. Pengantar Metodologi Penelitian. Penerbit Mitra Wacana Media. Jakarta
Trisnawati, N. 2012. Struktur Komunitas Meiofauna Interstisial di Substrat Padang Lamun Pulau Pari Kepulauan Seribu. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia. Depok.
Umar, O. 2014. Kerapatan dan Pola Sebaran Lamun (seagrass) di Perairan Teluk Tomini Desa Olimoo’o Kecamatan Batudaa Pantai Kabupaten Gorontalo. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo.
Wicaksono, S. G., Widianingsih, Hartati, S. T. 2012. Struktur Vegetasi dan Kerapatan Jenis Lamun di Perairan Kepulauan Karimunjawa Kabupaten Jepara. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro. Journal Of Marine Research. Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 1-7.
Yunus, I. 2014. Komposisi Jenis, Kepadatan, Keanekaragaman dan Pola Sebaran Lamun (seagrass) di Perairan Teluk Tomini Kelurahan Leato Selatan Kota Gorontalo. Skripsi. Jurusan Teknologi Perikanan Faklutas Ilmu-ilmu Pertanian Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar