EKOSISTEM LAMUN
(publish: Djunaidi, 2015)
2.1
Pengertian Lamun
Lamun merupakan
tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang
memiliki kemampuan beradaptasi secara penuh di perairan yang memiliki fluktuasi
salinitas tinggi, hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun, dan
akar sejati. Hamparan vegetasi lamun yang menutupi suatu area pesisir disebut
sebagai padang lamun (seagrass bed). Padang lamun merupakan salah satu
ekosistem perairan yang produktif dan penting, hal ini berkaitan dengan
fungsinya sebagai stabilitas dan penahan sedimen, mengembangkan sedimentasi,
mengurangi dan memperlambat pergerakan gelombang, sebagai daerah feeding,
nursery, dan spawning ground, sebagai tempat berlangsungnya siklus
nutrient (Philips dan Menez, 2008), dan fungsi lain dari padang lamun yang
tidak kalah penting dan banyak diteliti saat ini adalah perspektifnya dalam
menyerap CO2 (carbon sink) (Kawaroe, 2009 dalam
Sakaruddin 2011).
Lamun merupakan suatu
ekosistem yang sangat penting dalam wilayah pesisir karena memiliki
keanekaragaman hayati tinggi, sebagai habitat yang baik bagi beberapa biota
laut (spawning, nursery dan feeding ground) dan merupakan
ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya (Nontji, 2002 dalam Feryatun, dkk, 2012). Lamun umumnya membentuk padang lamun yang
luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai
bagi pertumbuhannya. Air yang bersirkulasi diperlukan untuk menghantarkan
zat-zat hara dan oksigen, serta mengangkut hasil metabolisme lamun ke luar
padang lamun (Bengen, 2002 dalam Hasanuddin,
2013).
2.2 Karakteristik Lamun
Menurut Azkab (2006), lamun merupakan
tumbuhan yang mempunyai pembuluh secara struktur dan fungsinya memiliki
kesamaan dengan tumbuhan yang hidup di daratan. Seperti halnya tumbuhan rumput
daratan, lamun secara morfologi tampak adanya daun, batang, akar, bunga dan
buah, hanya saja karena lamun hidup di bawah permukaan air, maka sebagian besar
lamun melakukan penyerbukan di dalam air. Lamun sebagai tumbuhan berbunga
sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup terbenam dalam laut.
Lamun sebagian
besar berumah dua yang artinya dalam satu tumbuhan hanya ada bunga jantan saja
atau bunga betina saja. Sistem pembiakan generatifnya cukup khas karena mampu
melakukan penyerbukan di dalam air dan buahnya terendam di dalam air (Phillips
& Menes, 1988 dalam Azkab, 2006).
Menurut
Den Hartog (1967) dalam Azkab (2000)
karakteristik pertumbuhan lamun dapat dibagi enam kategori yaitu :
1. Parvozosterids,
yaitu pertumbuhan dengan daun memanjang dan sempit, contoh Halodule, Zostera
submarga Zosterlla.
2. Magnozosterids,
yaitu pertumbuhan dengan daun memanjang dan agak lebar, contoh Zostera submarga Zostera, Cymodocea, Thalassia.
3.
Syringodiids,
yaitu pertumbuhan dengan daun bulat seperti lidi dengan ujung runcing, contoh Syringodium.
4. Enhalids,
yaitu pertumbuhan dengan daun panjang dan kaku seperti kulit atau berbentuk
ikat pinggang yang kasar, contoh Enhalus,
Posidoniq, Phyllospadix.
5. Halophilids,
yaitu pertumbuhan dengan daun bulat telur, dips, berbentuk tombak atau panjang,
rapuh dan tanpa saluran udara, contoh Halophila.
6. Amphibolids,
yaitu pertumbuhan dengan daun tumbuh teratur pada kiri kanan, contoh Amphibolids, Thalassodendron, dan Heterozostera.
Karakteristik
lain tentang pertumbuhan lamun yaitu mampu hidup di media air asin (garam),
mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, mempunyai kemampuan berkembang
biak secara generatif dalam keadaan terbenam dan dapat berkompetisi dengan
organisme lain dalam keadaan stabil ataupun tidak stabil pada lingkungan laut
(Phillips & Menes, 1988 dalam Azkab,
2006).
2.3
Morfologi Jenis Lamun di Indonesia
Lamun memiliki bunga,
berpolinasi, menghasilkan buah dan menyebarkan bibit seperti halnya tumbuhan
darat. Klasifikasi lamun adalah berdasarkan karakter tumbuh-tumbuhan. Selain
itu, genera di daerah tropis memiliki morfologi yang berbeda, sehingga
perbedaan spesies dapat dilakukan dengan dasar gambaran morfologi dan anatomi
(Tangke,
2010 dalam Eki, 2012).
Gambar
1. Tumbuhan Lamun (McKenzie dan Yoshida, 2009 dalam Apramilda, 2011)
Secara morfologi
(Gambar 1), lamun terdiri dari akar, rimpang, pelepah daun, helaian daun bunga
dan buah. Sepintas, lamun memiliki morfologi yang mirip dengan rumput di darat.
Layaknya tumbuhan tingkat tinggi terestrial, hamparan tumbuhan lamun pada ekosistem
laut dikenal sebagai padang lamun. Padang lamun telah diketahui berperan
penting dalam menstabilkan sedimen, mengurangi erosi pantai, pelumpuran pada
terumbu karang, serta menyediakan tempat memijah dan mencari makan berbagai
jenis biota dan ikan (Fonseca & Fischer 1986 dalam Trisnawati, 2012). Padang lamun dapat berbentuk vegetasi
tunggal yang terdiri dari satu jenis lamun atau vegetasi campuran yang terdiri
dari 2 hingga 12 jenis lamun yang tumbuh bersama-sama pada satu substrat
(Kirkman 1990 dalam Trisnawati,
2012).
Ada 60 jenis lamun
yang tersebar di perairan dunia dan 12 di antaranya terdapat di perairan
Indonesia (Supriyadi, 2009 dalam
Trisnawati, 2012). Di perairan Indonesia, umumnya lamun tumbuh di daerah pasang
surut, pantai berpasir dan sekitar pulau-pulau karang (Nienhuis, et al., 1989 dalam Takaendengan dan Azkab, 2010). Jenis-jenis lamun di Indonesia
yaitu :
Gambar 2. Jenis-jenis lamun di Indonesia
2.4 Sebaran Lamun
Lamun tersebar
pada sebagian besar perairan pantai di dunia, hanya pada beberapa wilayah saja
tumbuh-tumbuhan ini tidak ditemukan. Dari 12 genera yang ada, 7 genera
merupakan penghuni perairan tropik dan 5 genera yang lain terdapat pada
perairan Ugahari. Dari 7 genera lamun penghuni perairan tropik, 3 genera
termasuk famili Hydrocharitaceae
yaitu Enhalus, Thalassia dan Halodule, Cymodecea, Syringodium dan
4 genera termasuk famili Pomatogetonaceae
yaitu Halodule, Cymodecea, Syringodium dan Thalassodendron, semua
termasuk subfamili Cymodoceoideae
(Kiswara dan Hutomo, 1985).
Berdasarkan
hasil penelitian (Eki, 2013) yang dilakukan di perairan Desa Ponelo,
teridentifikasi 8 jenis lamun dan termasuk dalam famili Potamogetonaceae dan
Hidrocaritaceae yaitu Enhalus acoroides,
Thalasia hemprichii, Cymodoceae rotundata, Cymodoceae serrulata, Halophila
ovalis, Halophila minor, Halodule uninervis, dan Syringodium isoetifolium. Yunus, (2014) melaporkan bahwa di
perairan Teluk Tomini Kelurahan Leato Selatan, teridentifikasi hanya 2 jenis
dari 2 famili, yaitu jenis Thalassia
hemprichii dari famili Hydrocaritaceae dan jenis Cymodoceae rotundata dari famili Potamogetonaceae. Umar (2014) melaporkan
bahwa di Desa Olimoo’o ditemukan 4 jenis lamun yang tergolong dalam 2 famili,
yaitu famili Potamogetonaceae dan
famili Hydrocharitaceae. Jenis lamun
yang berasal dari famili Potamogetonaceae
adalah spesies Cymodocea rotundata dan spesies Syringgodium isoetitolium, sedangkan jenis lamun dari famili Hydrocharitaceae adalah
spesies Halophila ovalis dan spesies Thalassia hemprichii.
2.5 Peranan Lamun
Padang lamun merupakan habitat
bagi beberapa organisme laut. Hewan yang hidup pada padang lamun ada yang
merupakan penghuni tetap ada pula yang bersifat pengunjung. Hewan yang datang
sebagai pengunjung biasanya untuk memijah atau mengasuh anaknya seperti ikan.
Selain itu, ada pula hewan yang datang mencari makan seperti penyu (turtle) yang makan lamun Syringodium isoetifolium dan Thalassia hemprichii (Soedharma, 2007 dalam Eki,2013).
Adapun peranan dan
fungsi lamun sebagai berikut :
a. Sebagai
Produsen Primer
Lamun memfiksasi
sejumlah karbon organik dan sebagian besar memasuki rantai makanan di laut,
baik melalui pemangsaan langsung oleh herbivora maupun melalui proses
dekomposisi sebagai serasah. Randall (1967) dalam
Hutomo dan Azkab (1987), di West Indies mendapatkan 30 jenis ikan pemakan
lamun dari 59 jenis herbivora yang diamati isi lambungnya. Selain ikan,
beberapa jenis hewan lain mengkonsumsi langsung lamun seperti, berbagai jenis
cacing, krustasea, reptil dan mamalia.
Meskipun
beberapa hewan dapat mengkonsumsi langsung lamun, tetapi proses dekomposisi
juga merupakan hal yang penting. Proses dekomposisi menghasilkan materi yang
langsung dapat dikonsumsi oleh hewan pemakan serasah. Serasah yang mengendap
akan dikonsumsi oleh fauna bentik, sedangkan partikel-partikel serasah di dalam
air merupakan makanan invertebrata pemakan penyaring. Pada gilirannya nanti
hewan-hewan tersebut akan menjadi mangsa dari karnivora yang terdiri dari
berbagai jenis ikan dan invertebrata (Hutomo dan Azkab, 1987).
b. Stabilisator
Dasar Perairan
Vegetasi
lamun yang lebat memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus dan ombak,
serta menyebabkan perairan di sekitarnya tenang, dengan demikian ekosistem ini
bertindak sebagai pencegah erosi dan penangkap sedimen. (Randall, 1965 dalam Hutomo dan Azkab, 1987). Sebagai akibat dari pertumbuhan daun
yang lebat dan sistem perakaran yang padat, maka vegetasi lamun dapat
memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus dan ombak serta menyebabkan
perairan di sekitarnya tenang. Hal ini dapat dikatakan bahwa komunitas lamun
dapat bertindak sebagai pencegah erosi dan penangkap sedimen (Kikuchi &
Peres, 1977 dalam Azkab, 2006).
Gingsburg & Lowen
Stan (1958) dalam Hutomo dan Azkab (1987)
menjelaskan bahwa lapisan lamun dapat memodifikasikan sedimen yang pertama,
lamun menstabilkan ukuran pasir dan kedua hamparan lamun yang lebat menyebabkan
perairan menjadi tenang. Begitu sedimen halus tersebut ke bawah dan berada di
antara akar, dia tidak dapat tersuspensi lagi oleh kekuatan ombak dan arus.
c. Pendaur
Zat Hara
Lamun memegang
fungsi yang utama dalam daur berbagai zat hara dan oleh elemen-elemen langka di
lingkungan laut. Beberapa jenis algae biru-hijau yang bersifat epifitik pada Thalassia,
memfiksasi nitrogen dan menyebabkan nitrat yang terlarut mendapatkan jalan
masuk ke inangnya (Goering & Parker, 1972 dalam Azkab, 2006).
Nitrogen yang
dibawa ke dalam sistem tumbuh-tumbuhan , baik oleh algae biru-hijau epifitik
atau bakteri rhizophora akan dapat
dipergunakan oleh jenis algae epifitik, baik melalui inangnya atau dari
pengayaan terhadap air laut. Selain sebagai pendaur zat hara, juga diketahui
bahwa dari hasil ekstrak ditemukan zat-zat kimia yang sangat berguna. Jenis Zostera
merupakan sumber yang potensial yang menghasilkan sintesa glycosylurea sebagai makanan tambahan
hewan ternak (mamalia), juga mengandung lignin (14,8%) dan pektin (Mcroy &
Helfferich, 1977 dalam Hutomo dan
Azkab, 1987).
d. Sebagai
Pelindung Pantai
Lamun selain
merupakan habitat bagi berbagai biota laut, juga berfungsi sebagai pelindung
pantai yang kokoh. Lamun tumbuh membentuk padang lamun yang tebal, sedangkan
akar rhizomanya mampu merayap di bawah permukaan dasar perairan sehingga mampu
mengikat sedimen dan memperkokoh tumbuhan lamun. Karena itu, ketika terjadi
arus dan angin kencang atau gelombang yang besar, tumbuhan lamun cukup kokoh
sekalipun lamin terlihat miring sampai merapat ke dasar perairan. Dengan
demikian, lamun menjadi salah satu pelindung pantai yang baik. Daya rusak arus,
angin, dan gelombang menjadi berkurang ketika sampai di padang lamun yang kokoh
dengan ketebalan tumbuhan lamunnya (Kordi, 2011).
e. Sebagai
Penjernih Perairan
Lamun mempunyai
daya untuk memperangkap (trapped)
sedimen, menstabilkan substrat dasar, dan menjernihkan air. Karena itu,
lingkungan perairan di area lamun terlihat jernih. Kejernihan air di lingkungan
lamun memudahkan biota akuatik dalam mencari makan. Demikian pula aktivitas
pemijahan dan pengasuhan biota akuatik (Kordi, 2011).
Fungsi lamun
sebagai penjernih perairan harus didukung oleh ekosistem di sekitarnya,
termasuk mangrove dan terumbu karang. Mangrove berfungsi menahan masuknya air
tawar dan lumpur dari darat ke padang lamun, sehingga padang lamun tidak
menerima limpahan air tawar secara berlebihan, apalagi lumpur dari darat. Jika
mangrove dibabat habis, maka air tawar dan lumpur yang terangkut oleh banjir
begitu mudah masuk ke padang lamun dan seterusnya ke terumbu karang. Dengan
demikian, merusak ekosistem sama dengan merusak tiga ekosistem pesisir
sekaligus, yaitu ekosistem mangrove, ekosistem lamun, dan ekosistem terumbu
karang (Kordi, 2011).
f.
Tempat
Asuhan dan Tempat Tinggal Organisme Perairan
Padang lamun merupakan daerah
asuhan untuk beberapa organisme. Sejumlah jenis fauna tergantung pada padang
lamun, walaupun mereka tidak mempunyai kontribusi terhadap keragaman pada
komunitas lamun, tetapi tidak berhubungan langsung dengan nilai ekonomi.
Beberapa organisme hanya menghabiskan sebagian dari siklus hidupnya di padang
lamun dan beberapa dari mereka adalah ikan dan udang yang mempunyai nilai
ekonomi penting (Azkab, 2006).
2.6
Kerapatan, Keanekaragaman Jenis dan Tingkat Tutupan Lamun
a.
Kerapatan
Kerapatan/kepadatan
spesies adalah jumlah individu (tegakan) dari suatu spesies persatuan luas
tertentu. Kerapatan dinyatakan sebagai jumlah individu per meter persegi,
analisis data kerapatan suatu spesies di dalam komunitas memiliki tujuan untuk
menghitung populasi atau jumlah individu dalam satuan luas tertentu (Odum, 1998
dalam Hardiyanti, 2012).
Gosari
dan Haris (2012)
melaporkan hasil penelitian mereka
di Kepulauan Spermonde Kota Makassar bahwa kerapatan lamun tertinggi dijumpai
di Pulau Bone Batang yang mencapai 830 ind/m2 dan terendah di Pulau
Samalona yang tidak terdapat lamun, namun kerapatan terendah untuk jenis lamun
yang sama dijumpai di Pulau Langkai yang mencapai 185 ind/m2.
Kerapatan terendah ini kurang lebih seperempat kali dari kerapatan tertinggi
sehingga pola penyebaran lamun di Kepulauan Spermonde tidak tersebar merata.
Nur (2004) dalam Eki (2013)
menyatakan bahwa rendahnya kerapatan jenis disebabkan oleh sedikitnya jumlah
jenis yang mampu beradaptasi terhadap faktor lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian Eki (2013) bahwa kerapatan
jenis lamun di Desa Ponelo jenis Thalassia
hemprichii memiliki nilai kerapatan tertinggi dibandingkan dengan jenis
lamun lainnya yang terdapat di lokasi penelitian dengan nilai 62,13 tegakan/m2.
Bila dilihat dari nilai rata-rata jenis ini tetap yang memiliki kerapatan
tertinggi untuk seluruh wilayah penelitian dengan nilai 44,80 tegakan/m2.
Sedangkan jenis lamun yang terendah adalah jenis Halophila minor yang ditemukan pada stasiun II dengan nilai 1,00
tegakan/m2. Bila dilihat dari nilai rata-rata, jenis ini tetap yang
memiliki kerapatan terendah dari seluruh wilayah penelitian dengan nilai 0,78
tegakan/m2.
Menurut hasil penelitian Umar (2014) bahwa kerapatan jenis lamun di Desa Olimoo’o
tertinggi dari ketiga stasiun yaitu jenis lamun Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii
dengan nilai 108.35 ind/m2 dan 91.003 ind/m2. Hal ini
memungkinkan karena karakteristik substrat yang berbeda antar stasiun, sebaran
pertumbuhan lamun yang tersebar secara merata dan beberapa faktor lingkungan
lainnya seperti kondisi lingkungan yang berbeda, dan kerapatan terendah
jenis lamun Halophila Ovalis dengan nilai kerapatannya rata-rata
5.91.
b. Indeks Keanekaragaman
Indeks
keanekaragaman adalah suatu perhitungan yang digunakan untuk mengukur
kelimpahan komunitas berdasarkan jumlah jenis spesies dan jumlah individu dari
setiap spesies pada suatu lokasi. Semakin banyak jumlah spesies, maka semakin beragam
komunitasnya (Krebs,
1972 dalam Nainggolan,
2011).
Yunus
(2014) melaporkan hasil penelitian di Kelurahan Leato Selatan bahwa nilai
indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun I dengan nilai 0.49,
kemudian disusul oleh stasiun III dengan 0.36 sedangkan nilai keanekaragaman terendah terdapat pada
Stasiun II dengan nilai 0.34. Rendahnya
indeks keanekaragaman juga disebabkan karena jumlah spesies pada setiap stasiun
penelitian sangat sedikit, sehingga komunitas yang ada pada setiap stasiun
penelitian tidak terlalu beragam. Namun jika semakin banyak jumlah
spesies pada lokasi penelitian, maka semakin beragam pula komunitasnya dan
indeks keanekaragaman akan semakin tinggi (Krebs, 1972 dalam Nainggolan, 2011).
Menurut Odum
(1993) dalam Syamsurisal (2011), indeks keanekaragaman
merupakan salah satu perhitungan yang sering digunakan untuk mengevaluasi suatu
kondisi lingkungan perairan berdasarkan kondisi biologinya. Tidak seimbangnya
kondisi lingkungan akan turut mempengaruhi suatu organisme yang hidup pada perairan.
Nilai indeks keanekaragaman (H’) terbesar didapatkan jika semua individu yang
didapatkan berasal dari jenis atau genera yang berbeda-beda dan keanekaragaman
mempunyai nilai kecil atau sama dengan 0, jika suatu individu berasal dari satu
atau hanya beberapa jenis saja (Ina, 1989 dalam
Syamsurisal, 2011).
Keanekaragaman
yang tinggi menunjukkan penyebaran jumlah individu tiap jenis yang tinggi dan kestabilan juga tinggi
(Syamsurisal, 2011). Sementara menurut Fauziyah (2004) rendahnya keanekaragaman
dikarenakan kondisi lingkungan yang kurang stabil dan kurang bisa mendukung
kehidupan jenis lamun. Nainggolan (2011) menambahkan bahwa rendahnya
keanekaragaman dikarenakan kondisi fisik perairan yang masih mendapat pengaruh
langsung dari darat berupa run off yang
berasal dari masukan air sungai.
c. Tutupan Jenis Lamun
Penutupan lamun
menggambarkan seberapa luas lamun yang menutupi suatu perairan dan biasanya
dinyatakan dalam persen. Nilai persen penutupan tidak hanya bergantung pada
nilai kerapatan jenis lamun, melainkan dipengaruhi juga oleh keadaan morfologi
dari jenis lamun tersebut.
Nainggolan (2011) melaporkan
bahwa penutupan lamun pada lima stasiun berbeda-beda pada jenis lamun yang sama
dan tersebar di lima kondisi lingkungan yang berbeda. Namun secara umum, Enhalus
acoroides dan Thalassia hempricii memiliki penutupan jenis yang
paling tinggi dengan nilai 89,86% ini terdapat pada stasiun 5 hal ini
disebabkan lamun yang sangat umum ditemui dan memiliki morfologi yang lebih
besar daripada jenis lamun lainnya serta tersebar luas diseluruh perairan. Enhalus
acoroides memiliki penyebaran yang seragam pada daerah tesebut, artinya
jenis ini mampu hidup pada habitat manapun yang memiliki kondisi lingkungan
yang sesuai. Sedangkan penutupan jenis yang paling rendah terdapat pada stasiun
4 dengan nilai 24,83% dan di ikuti dengan stasiun 3 dengan nilai 34,50%, Jenis
lamun memiliki persentase penutupan terendah dikarenakan bentuk morfologi yang
kecil dan sulit untuk ditemui.
2.7 Parameter
Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Lamun
2.7.1 Suhu
Suhu merupakan faktor penting bagi kehidupan
organisme di perairan khususnya lautan, karena pengaruhnya terhadap aktivitas
metabolisme ataupun perkembangbiakan dari organisme tersebut. Suhu mempengaruhi
proses fisiologi yaitu fotosintesis, laju respirasi, dan pertumbuhan. Lamun
dapat tumbuh pada kisaran 5 – 35 ⁰C,
dan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25 – 30 ⁰C. Sedangkan pada
suhu di atas 45 ⁰C
lamun akan mengalami stres dan dapat mengalami kematian (McKenzie, 2008 dalam
Sakaruddin 2011).
2.7.2 Salinitas
Toleransi
lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur, lamun akan mengalami
kerusakan fungsional jaringan sehingga mengalami kematian apabila berada di
luar batas toleransinya. Beberapa lamun dapat hidup pada kisaran salinitas 10 –
45 ‰, dan dapat bertahan hidup pada daerah estuari, perairan tawar, perairan
laut, maupun di daerah hipersaline sehingga salinitas menjadi salah satu
faktor distribusi lamun secara gradien. Thalassia dapat tumbuh optimum
pada kisaran salinitas 24-35 ‰, namun dapat juga ditemukan hidup pada salinitas
3.5 – 60 ‰ dengan waktu toleransi yang singkat (Hemminga dan Duarte, 2000 dalam Sakaruddin, 2011).
2.7.3 Kedalaman
Kedalaman
perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Lamun hidup pada
daerah perairan dangkal yang masih dapat dijumpai sampai kedalaman 40 meter
dengan penetrasi cahaya yang masih baik (Humminga dan Duarte, 2000 dalam Sakaruddin, 2011).
Lamun tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga
mencapai kedalaman 30 m. Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang
didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule
pinifolia, sedangkan Thalassodendron ciliatum mendominasi zona
intertidal bawah. Semakin dalam suatu perairan maka intensitas cahaya matahari
untuk menembus dasar perairan menjadi terbatas dan kondisi ini akan menghambat
laju fotosintesis lamun di dalam air.
2.7.4 Kecerahan
Kecerahanan
secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan lamun karena berpengaruh terhadap
penetrasi cahaya yang masuk ke perairan yang dibutuhkan oleh lamun untuk
berfotosintesis. Kecerahan perairan dipengaruhi oleh adanya partikel-partikel
tersuspensi, baik oleh partikel-partikel hidup seperti plankton maupun
partikel-partikel mati seperti bahan-bahan organik, sedimen dan sebagainya.
Cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan produksi lamun di perairan
pantai yang keruh. Umumnya lamun membutuhkan kisaran tingkat kecerahan 4 – 29%
untuk dapat tumbuh dengan rata-rata 11% (Hemminga dan Duarte, 2000 dalam
Sakaruddin,
2011).
2.7.5 Substrat
Lamun
dapat ditemukan pada berbagai karakteristik substrat. Padang lamun di Indonesia
dikelompokkan ke dalam enam kategori berdasarkan karakteristik tipe
substratnya, yaitu lamun yang hidup di substrat lumpur, lumpur berpasir, pasir,
pasir berlumpur, puing karang dan batu karang. Hampir semua jenis lamun dapat
tumbuh pada berbagai substrat, kecuali pada Thalassodendron ciliatum yang
hanya dapat hidup pada substrat karang batu. Terdapat perbedaan antara
komunitas lamun dalam lingkungan sedimen karbonat dan sedimen terrigen dalam hal struktur, kerapatan, morfologi dan
biomassa lamun (Humminga dan Duarte, 2000 dalam Sakaruddin,
2011).
DAFTAR PUSTAKA
Azkab,
M.H. 2006. Ada Apa dengan Lamun. Oseana,
Volume XXXI, Nomor 3, 2006 : 45 – 55.
Azkab, M.H. 2000. Struktur dan Fungsi pada Komunitas
Lamun. Oseana, Volume XXV, Nomor 3, 2000: 9 - 17.
Apramilda, R.
2011. Status Temporal Komunitas Lamun dan Keberhasilan
Transplantasi Lamun Pada Kawasan Rehabilitasi di Pulau Pramuka dan Harapan,
Kepulauan Seribu, Provinsi Dki Jakarta. Skripsi.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (tidakdipublikasikan).
Eki,
N, Y. 2013. Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun (Seagrass) di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten
Gorontalo. Skripsi. Fakultas
Teknologi Perikanan. Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo. (tidak dipublikasikan).
Fauziyah, I. M.
2004. Struktur Komunitas Lamun di Pantai Batu Jimbar Sanur. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (tidak
dipublikasikan).
Feryatun, F., B.
Hendrarto., N. Widyorini. 2012. Kerapatan dan Distribusi Lamun (Seagrass)
Berdasarkan Zona Kegiatan yang Berbeda di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan
Seribu. Journal Of Management Of Aquatic Resources. Volume , Nomor , Tahun 2012, Halaman 1-7.
Gosari, B. A. J dan Haris. A. 2012. Studi Kerapatan
dan Penutupan Jenis Lamun di Kepulauan Spermonde. Volume 22. No 3. Universitas
Hasanuddin Makassar.
Hardiyanti.S.
Umar. M.R. Priosambodo. D. 2012. Analisis
vegetasi lamun di perairan pantai mara’bombang kabupaten pinrang Jurusan
Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin,
Makassar
Hasanuddin, R.
2013. Hubungan Antara Kerapatan dan Morfometrik Lamun Enhalus Acoroides dengan
Substrat dan Nutrien di Pulau Sarappo Lompo Kabupaten Pangkep. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas
Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar. (tidak dipublikasikan)
Hutomo, H dkk. 2004. Pedoman Umum
Pengelolaan Ekosistem Lamun Berbasis Masyarakat. Proyek Rehabilitasi Dan
Pengelolaan Terumbu Karang Departemen Kelautan Dan Perikanan. Coremap. Jakarta. 29
hlm
Hutomo, M. dan Azkab, M.H. 1987. Peranan Lamun di Lingkungan Laut Dangkal.
Oseana, volume XII, Nomor 1 : 3-23.
Nainggolan,
P. 2011. Distribusi Spasial dan Pengelolaan Lamun (seagrass) di Teluk
Bakau Kepulauan Riau. Skripsi. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. (tidak
dipublikasikan).
KEPMEN. 2004. Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang
Lamun.
Kordi, K.M.G.H.2011. Ekosistem Lamun
(Seagrass) Fungsi, Potensi, dan Pengelolaan. RinekaCipta. Jakarta.
Kiswara, W., Hutomo, M. 1985. Habitat Dan Sebaran Geografik Lamun. Jurnal.
Oseana, Volume X, Nomor 1 : 21- 30.
Sahami, F. 2003. Struktur Komunitas
Bivalvia Di Wilayah Estuari Sungai Donan dan Sungai Sapuregel Cilacap.
Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Syamsurisal. 2011. Studi Beberapa Indeks Komunitas Makrozoobenthos di Hutan
Mangrove Kelurahan Coppo Kabupaten Barru. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar
Sakaruddin, M, I. 2011. Komposisi Jenis, Kerapatan,
Persen Penutupan dan Luas Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990
– 2010. Skripsi. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. (tidak
dipublikasikan)
Soewadji,
J. 2012. Pengantar Metodologi Penelitian. Penerbit Mitra Wacana Media. Jakarta
Trisnawati,
N. 2012. Struktur Komunitas Meiofauna Interstisial di Substrat Padang Lamun
Pulau Pari Kepulauan Seribu. Skripsi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia. Depok.
Umar, O. 2014. Kerapatan dan Pola Sebaran Lamun
(seagrass) di Perairan Teluk Tomini Desa Olimoo’o Kecamatan Batudaa
Pantai Kabupaten Gorontalo. Skripsi.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo.
Wicaksono, S.
G., Widianingsih, Hartati, S. T. 2012. Struktur Vegetasi dan Kerapatan Jenis
Lamun di Perairan Kepulauan Karimunjawa Kabupaten Jepara. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro. Journal Of Marine Research. Volume
1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 1-7.
Yunus,
I. 2014. Komposisi Jenis, Kepadatan,
Keanekaragaman dan Pola Sebaran Lamun (seagrass)
di Perairan Teluk Tomini Kelurahan Leato Selatan Kota Gorontalo. Skripsi. Jurusan Teknologi Perikanan Faklutas
Ilmu-ilmu Pertanian Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar