PENGELOLAAN TERUMBU KARANG
BERBASIS MASYARAKAT
(publish: Djunaidi, 2015)
A. Definisi Terumbu
Karang
Menurut Dahuri (2000), terumbu karang (coral reefs) merupakan masyarakat
organisme yang hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3)
yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Selanjutnya Bengen D.G. (2001),
menyatakan terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat
yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik).
Gambar 1. Terumbu karang
Bengen D. G, (2001), dalam membicarakan mengenai
ekosistem terumbu karang ada beberapa istilah yang kedengarannya sama, namun
maknanya berbeda. Ada empat istilah yang
berkaitan dengan kata karang, yaitu: terumbu karang, karang, batu karang dan
karang batu. Terumbu karang adalah bangunan kapur besar yang dibentuk dan
dihasilkan oleh binatang karang dan organisme berkapur lainnya, sehingga
membentuk suatu ekosistem yang kompak sebagai habitat bagi biota-biota laut.
Karang adalah suatu kelompok organisme dari filum
Coelenterata, kelas Anthozoa, terutama
dari ordo Scleractinia yang merupakan
pembentuk karang batu dan karang lunak. Karang batu adalah karang hidup yang
khusus berkapur, biasanya disebut juga sebagai karang hermatipik, sedangkan batu karang
adalah karang yang sudah mati berupa batu kapur.
B. Kondisi
Terumbu Karang Di Indonesia
Indonesia dengan wilayah lautnya
yang sangat luas, jumlah pulaunya yang mencapai sekitar 17.508 dan diperkirakan
luas terumbu karangnya sekitar 60.000 km2 membuat negara ini sangat kaya dengan
keanekaragaman hayati. Ekosistem
terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi
sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu
karang ini bisa hidup lebih dari 300 jenis karang, yang terdiri dari sekitar
200 jenis ikan dan berpuluh-puluh jenis Molusca,
Crustacean, Sponge, Alga, lamun dan biota lainnya (Dahuri, 2000).
Terumbu karang mengalami
banyak tekanan sebagai akibat dari pola pemanfaatan yang tidak ramah
lingkunagan. Hasil pengamatan Suharsono (1998), menyatakan bahwa terdapat 325
stasiun yang tersebar di seluruh Indonesia, bahwa hanya 7 % Terumbu Karang
Indonesia dalam kondisi sangat baik. Sebanyak 22 % dalam kondisi baik, 28 %
dalam kondisi sedang dan 43 % dalam kondisi miskin (Nikijuluw, 2002)
Menurut Carter, J.A.
(1996), ada beberapa penyebab kerusakan terumbu karang yang ada di Indonesia, diantaranya:
a)
Sedimentasi
Konstruksi
di daratan dan sepanjang pantai, penambangan atau pertanian didaerah aliran
sungai ataupun penebangan hutan tropis menyebabkan tanah mengalami erosi dan
terbawa melalui aliran sungai kelaut dan terumbu karang. Kotoran-kotoran, lumpur
ataupun pasir-pasir ini dapat membuat air menjadi kotor dan tidak jernih lagi
sehingga karang tidak dapat bertahan hidup karena kurangnya cahaya.
b)
Penangkapan dengan bahan peledak
Penggunaan
kalium nitrat (sejenis pupuk) sebagai bahan peledak akan mengakibatkan ledakan
yang besar, sehingga membunuh ikan dan merusak karang disekitarnya.
c)
Pencemaran air
Produk-produk
minyak bumi dan kimia lain yang dibuang didekat perairan pantai, pada akhirnya
akan mencapai terumbu karang. Bahan-bahan pencemar ini akan meracuni polip karang
dan biota laut lainnya.
d)
Pengelolaan tempat rekreasi
Pengelolaan
rekreasi diwilayah pesisir yang tidak memperhatikan lingkungan akan dapat
menyebabkan rusaknya terumbu karang.
e)
Pemanasan global
Pemanasan
global mengakibatkan cuaca ekstrim sukar diperkirakan, seperti badai tropis
yang dapat mengakibatkan kerusakan fisik ekosistem terumbu karang yang sangat
besar. Meningkatnya permukaan laut juga menjadi ancaman serius bagi terumbu karang
dan pulau-pulau kecil.
C. Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat
Pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat adalah
suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada
masyarakat untuk mengelola terumbu karang-nya sendiri dengan terlebih dahulu
mendefinisikan kebutuhan, keinginan, tujuan dan aspirasinya. Pengelolaan ini
menyangkut pula pemberian tanggung jawab kepada masyarakat sehingga mereka
dapat mengambil keputusan yang pada akhirnya menentukan dan berpengaruh pada
kesejahtraan hidup mereka (Nikijuluw, 2002).
Menurut Carter, J. A. (1996), memberikan definisi
pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat yaitu, suatu strategi untuk mencapai
pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan
mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan disuatu daerah
terletak/berada ditangan organisasi-organisasi dalam masyarakat didaerah tersebut.
Pengelolaan ekosistem terumbu karang pada hakekatnya
adalah suatu proses pengontrolan tindakan manusia, agar pemanfaatan sumberdaya
alam dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian
lingkungan. Apabila dilihat permasalahan pemanfaatan sumberdaya ekosistem
terumbu karang yang menyangkut berbagai sektor, maka pengelolaan sumberdaya
terumbu karang tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri, namun harus dilakukan
secara terpadu oleh beberapa instansi terkait (Carter, J. A. 1996).
Pomeroy dan Williams (1994), mengatakan bahwa konsep pengelolaan yang mampu menampung banyak
kepentingan, baik kepentingan masyarakat
maupun kepentingan pengguna lainnya adalah konsep Cooperative Management atau
disingkat dengan Co-Management. Hakim, L. (2008), menyebutkan bahwa prinsip pengelolaan
berbasis masyarakat pada umumnya, yaitu
dimulai dari proses kerjasama (cooperative), advisory hingga
pemberian (sharing) informasi.
Beberapa kunci keberhasilan dalam pengelolaan sumberdaya
ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat menurut Pameroy dan Williams
(1994), adalah:
1) Batas-batas wilayah yang jelas terdefinisi
Batas-batas fisik
dari suatu kawasan yang akan dikelola harus dapat ditetapkan dan diketahui
secara pasti oleh masyarakat. Dalam hal ini, peranan pemerintah daerah dalam
menentukan zoning dan sekaligus melegalisasinya menjadi sangat penting.
Batas-batas wilayah tersebut harus berdasarkan pada sebuah ekosistem sehingga
sumberdaya alam tersebut dapat lebih muda untuk diamati dan dipahami.
2) Kejelasan keanggotaan
Segenap pengguna
yang berhak memanfaatkan sumberdaya alam disebuah kawasan dan berpatisipasi
dalam pengelolaan daerah tersebut harus dapat diketahui dan didefinisikan dengan
jelas. Jumlah pengguna tersebut seoptimal mungkin tidak boleh terlalu banyak
sehingga proses komunikasi dan musyawarah yang dilakukan menjadi lebih efektif.
3) Keterikatan dalam kelompok
Kelompok masyarakat
yang terlibat hendaknya tinggal secara tetap didekat wilayah pengelolaan. Dalam
konteks ini, maka kebersamaan masyarakat akan kelihatan baik dalam hal etnik,
agama, metode pemanfaatan, kebutuhan, harapan dan sebaginya.
4) Manfaat harus lebih besar dari biaya
Setiap komponen
masyarakat disebuah kawasan pengelolaan mempunyai harapan bahwa manfaat yang
diperoleh dari partisipasi masyarakat dalam konsep pengelolaan sumberdaya
ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat akan lebih besar dibanding biaya
yang dikeluarkan. Dalam hal ini, salah satu komponen indikatornya dapat berupa
rasio pendapatan relatif dari masyarakat lokal dan stakeholder lainnya.
5) Pengelolaan yang sederhana
Dalam model
pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu karang, salahsatu kunci kesuksesan
adalah penerapan peraturan pengelolaan yang sederhana namun terintegrasi.
Proses monitoring dan penegakan hukum dapat dilakukan secara terpadu, dengan
basis masyarakat sebagai pemeran utama.
6) Legalisasi dari pengelolaan
Masyarakat lokal
yang terlibat dalam pengelolaan membutuhkan pengakuan legal dari pemerintah
daerah, sehingga hak dan kewajibannya dapat terdefinisikan dengan jelas dan
secara hukum terlindungi. Dalam hal ini, jika hukum adat telah ada dalam suatu
wilayah, maka pemerintah memberikan legalitas,
sehingga keberadaan hukum ini mempunyai kekuatan hukum yang lebih kuat dalam
penerapannya baik bagi masyarakat setempat pada umumnya maupun stakeholder
lainnya yang terlibat. Selai itu, adanya legalitas ini semakin menumbuhkan
kepercayaan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan sumberdaya
terumbu karang yang lebih lestari.
7) Kerjasama dan kepemimpinan dalam masyarakat
Kunci sukses yang
lain adalah adanya individu maupun sebuah kelompok inti yang bersedia melakukan
upaya semaksimal mungkin demi berjalannya proses pengelolaan sumberdaya terumbu
karang ini. Upaya tersebut termasuk adanya kepemimpinan yang diterima oleh
semua pihak khususnya didalam kalangan masyarakat. Selain itu, program
kemitraan antar segenap pengguna sumberdaya terumbu karang (pemerintah,
masyarakat, swasta, LSM dan sebaginya) saling bermitra dalam setiap aktivitas,
berupa aktivitas sosial, ekonomi, keamanan dan sebaginya.
8) Desentralisasi dan pendelegasian wewenang
Pemerintah daerah
sebagai bagian dari tripatriat pengelolaan dengan model pengelolaan sumberdaya
terumbu karang berbasis masyarakat ini perlu memberikan desentralisasi proses
administrasi dan pendelegasian tanggung jawab pengelolaan kepada kelompok
masyarakat yang terlibat.
9) Koordinasi antara pemerintah dan masyarakat
Sebuah lembaga
koordinasi (badan koordinasi pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu karang
berbasis masyarakat) yang berada diluar kelompok masyarakat yang terlibat dan
beranggotakan wakil dari masyarakat lokal, stakeholder lainnya dan wakil
pemerintah yang merupakan hal yang penting pula dibentuk dalam rangka memonitor
penyusunan pengelolaan lokal dan pemecahan konflik.
10) Pengetahuan, kemampuan dan kepedulian masyarakat
Dalam rangka
memberikan kepastian bahwa masyarakat mempunyai kemampuan dan pengetahuan dalam
melakukan pengelolaan, maka diperlukan suatau upaya yang mampu memberikan
penigkatan keterampilan dan kepedulian masyarakat untuk turut serta secara
aktif, responsif dan efektif dalam pelaksanaan proses pengelolaan sumberdaya
ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat ini. Dalam hal ini, peran lembaga
seperti LSM, swasta, perguruan tinggi, harus mampu memberikan kontribusi dalam
upaya penguatan pengetahuan, kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam
pengelolaan. Selain itu proses peningkatan pengetahuan, kemampuan dan
kepedulian masyarakat ini dapat dilakukan dengan melalui pendidikan formal
(seperti sekolah) dan pendidikan informal (seperti penyuluhan, pelatihan, demonstrasi
plot dan sebagainya). Dalam konsep pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu
karang ini juga harus dipenuhi persyaratan seperti yang berlaku dalam Community Based Management (CBM) seperti
ketergantungan masyarakat akan keberadaan sumberdaya alam. Disamping itu dalam
penerapan pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu karang ini juga diperlukan
adanya seorang fasilitator yang dapat menggerakkan/memotivasi dan menumbuhkan
partisipasi masyarakat pada satu sisi dan juga dapat memobilisasi sektor
terkait dalam pemerintahan disisi lain, dalam menciptakan keterpaduan.
Diharapkan fasilitator adalah orang yang memahami konsep-konsep pengelolaan
sumberdaya ekosistem terumbu karang. Fasilitator ini dapat berasal dari para
stakeholder atau dapat diluar stakeholder. Dalam rangka meningkatkan
partisipasi masyarakat fasilitator ini dapat dibantu oleh seorang motivator
atau penggerak (bisa berasal dari toko masyarakat atau LSM-LSM setempat), yang
mampu memberikan inspirasi kepada masyarakat.
D. Prinsip Pengelolaan Berbasis Masyarakat
Partisipasi secara aktif
masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya terumbu karang sangat diperlukan
pada saat ini. Dengan demikian masyarakat lokal dapat lebih aktif ikut
berperan dalam menangani permasalahan-permasalahan yang ada di lingkungan mereka. Dalam keadaan
pemerintah sangat terbatas kemampuannya untuk membangun, maka kesadaran
masyarakat untuk mengembangkan lingkungan sekitarnya akan sangat meringankan
beban pemerintah (Supriharyono, 2000).
Pengelolaan sumberdaya terumbu
karang berbasis masyarakat harus berorientasi
terhadap beberapa hal antara lain: Kebutuhan (need
oriented), yaitu model pengembangan masyarakat pesisir hendaknya didasarkan pada kebutuhan kelompok masyarakat pesisir. Prakarsa lokal
(local inisiatives) baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia, yakni keterampilan serta budaya. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas keterampilan maupun budidaya kelompok masyarakat pesisir. Berorentasi pasar (market oriented), artinya model
pembangunan masyarakat pesisir berbasis masyarakat yang diterapkan harus berorentasi pasar, baik domestik maupun ekspor dengan cara membangun jaringan ekonomi masyarakat lokal yang
berorientasi global yang didukung oleh kemampuan teknologi komunikasi dan informasi (Suharsono,
1998).
Prinsip utama pengelolaan berbasis masyakat adalah,
masyarakat harus dilibatkan secara aktif dalam kegiatan pengelolaan mulai dari penyusunan rencana, pelaksanaan, pemantauan pelaksanaan, hingga evaluasi terhadap hasil-hasil
yang dicapai. Dengan demikian pola pendekatan yang dilakukan adalah dari bawah keatas (bottom
up) yang dipadukan dengan dari atas kebawah (top down), hal ini belajar dari pengalaman kegagalan pembangunan pada masa lalu yang
cenderung menggunakan top down saja,
dan sejalan dengan paradigma baru pembangunan sekarang prinsip aspiratif dan partisipatif masyarakat lebih ditonjolkan. Program ini akan lebih terjamin keberlanjutannya karena masyarakat pesisir sebagai kelompok yang
paling mengetahui kondisi wilayah pesisir dan lautan sekitarnya menjadi diberdayakan dan didudukkan sebagai subyek dalam proses kegiatan program sehingga mereka memiliki dan bertanggung jawabakan
program-program yang dilakukan. Pengelolaan sumberdaya terumbu karang berbasis masyarakat secara garis besar terdiri dari tiga bagian yaitu: (i)
perencanaan; (ii) pengelolaan; (iii) pengawasan dan pengendalian (Supriharyono,
2000).
E. Tahapan Pengelolaan
Berbasis Masyarakat
Menurut Pomeroy
dan Williams (1994), tahapan dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang
berbasis masyarakat yaitu sebagai berikut:
1)
Komponen input
Dalam studi awal secara partisipatif, memasukkan segenap
unsur kebijakan dalam hal pengelolaan sumberdaya ditingkat nasional dan lokal,
yang dijabarkan lebih lanjut kedalam konsep nasional tentang pengelolaan
sumberdaya terumbu karang pada tingkat propinsi dan kebijakan-kebijakan lokal
lainnya, serta dalam bentuk strategi nasional dalam perencanaan CRRM (Coral Reef Resources Management).
Harapannya adalah bahwa dengan segenap informasi yang
berkenaan dengan ekosistem terumbu karang ditingkat lokal sampai ditingkat
nasional, maka keluaran dari hasil studi ini mampu memberikan gambaran yang
cukup akomodatif secara menyeluruh mengenai situasi dan kondisi pengelolaan dan
pemanfaatan potensi ekosistem terumbu karang yang ada.
2) Studi awal secara
partisipatif
Komponen sumberdaya alam dan sumberdaya manusia merupakan
salah satu input penting dalam penerapan konsep pengelolaan terumbu karang
berbasis masyarakat. Untuk mencapai tujuan pemahaman yang komprehensif terhadap
potensi SDA dan SDM tersebut maka kegiatan studi awal sangat penting untuk
dilakukan. Dalam hal ini, masyarakat tidak hanya berperan sebagai objek studi,
namun juga berperan sebagai pelaku/subyek dari studi, sehingga hasil dari studi
awal tersebut mampu merefleksikan kebutuhan dan keinginan masyarakat lokal,
serta dapat memberikan gambaran yang cukup akomodatif secara menyeluruh tentang
kondisi dan bentuk pelaksanaan program pengelolaan terumbu karang berbasis
masyarakat.
3) Peningkatan kepedulian
dan pengetahuan masyarakat
Kegiatan peningkatan kepedulian dan pengetahuan bagi
masyarakat sangat tergantung dari kondisi dan struktur masyarakat yang ada.
Beberapa kegiatan awal dapat dilakukan dalam rangka sosialisasi dan mencari
bentuk – bentuk yang tepat bagi peningkatan kepedulian dan pengetahuan.
4) Penguatan kelembagaan,
kebijakan, dan peraturan
Keberhasilan dari pengelolaan terumbu karang berbasis
masyarakat juga tergantung pada penguatan kelembagaan yang dapat dilakukan
dengan memperkuat kelembagaan yang sudah ada atau dengan membentuk suatu lembaga
baru, memperkuat peraturan dan perundangan yang sudah ada, atau menghapus
peraturan perundang-undangan yang sudah tidak cocok dan membuat yang baru yang
dianggap perlu.
Oleh karena itu, perlu adanya kajian yang menganalisis
kekuatan, kelemahan, peluang pengembangan/pengurangan dari kelembagaan dan
kebijakan serta peraturan perundang-undangan yang ada dalam rangka menunjang
kegiatan pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat.
5)
Penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya terumbu karang berbasis masyarakat
Setelah adanya pembekalan bagi masyarakat dan juga
penguatan kelembagaan kebijakan yang mendukung, serta pengalaman dalam kegiatan
studi awal, maka diharapkan masyarakat mampu menyusun rencana pengelolaan
sumberdaya terumbu karang berbasis masyarakat di daerahnya. Apabila hal ini
telah dapat dilakukan, maka dokumen yang dihasilkan dapat disalurkan melalui
lembaga terkait untuk mendapat dukungan dan legalitas dari pemerintah dan juga
menjadi suatu kesatuan agenda dalam rencana pengelolaan terumbu karang baik
pada tingkat pemerintah daerah maupun nasional.
Dalam penyusunan rencana pengelolaan terumbu karang
berbasis masyarakat diharapkan mampu ; (1) meningkatkan kesadaran masyarakat
akan pentingnya SDA dalam menunjang kehidupan mereka, (2) meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk berperan serta dalam setiap tahapan-tahapan
pengelolaan secara terpadu, dan (3) meningkatkan pendapatan (income) masyarakat
dengan bentuk pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan serta berwawasan
lingkungan.
6) Masuk kedalam
penentuan program pembangunan
Rencana pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat
yang telah dibuat, baik yang langsung dibuat oleh komunitas masyarakat maupun
hasil penyusunan oleh pemerintah dan telah diterima dalam Proses pensosialisasian,
kemudian diproses dalam penentuan program pembangunan. Rencana pengelolaan ini
sebelumnya harus mendapatkan persetujuan dari LMD, masyarakat, dan kepala desa.
7) Implementasi rencana
Tahap implementasi merupakan tahap pokok dari system
pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat. Pada tahap ini berbagai
komponen SDM seperti motivator, tenaga pendamping lapangan dan komponen terkait
sudah dipersiapkan. Lembaga adat atau lembaga sejenis lainnya dapat menjadi
system bagi pelaksanaan rencana pengelolaan sumberdaya terumbu karang di lokasi
tersebut. Dalam kegiatan implementasi tersebut, kegiatan-kegiatan yang perlu
dilakukan adalah (a) integrasi ke dalam masyarakat, (b) pendidikan dan
pelatihan masyarakat, (c) memfasilitasi arah kebijakan, dan (d) penegakan hukum
dan peraturan.
8) Monitoring
Tahap monitoring (pengawasan) dilakukan mulai awal proses
implementasi rencana pengelolaan. Pada tahap ini, monitoring dilakukan untuk
menjawab segenap pertanyaan tentang efektivitas pengelolaan, atau masalah lain
yang terjadi yang tidak sesuai dengan harapan yang ada pada rencana
pengelolaan. Monitoring ini sebaiknya dilakukan secara terpadu dengan
melibatkan masyarakat lokal dan stakeholder lainnya.
9) Evaluasi
Evaluasi dilakukan terhadap segenap masukan dan hasil
pengamatan yang dilakukan selama proses monitoring berlangsung. Evaluasi
dilakukan secara terpadu dengan melibatkan masyarakat dan stakeholder lainnya.
Melalui proses evaluasi, maka dapat diketahui kelemahan dan kelebihan dari sistem
pengelolaan guna perbaikan sistem dimasa depan.
F. Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Terumbu Karang
Peraturan maupun ketetapan Daerah yang mengatur tentang
pengelolaan Terumbu karang, seperti :
a)
Kesepakatan dan deklarasi
Perlindungan ekosistem terumbu Karang di Kawasan Perairan laut Pelukanbada,
Aceh oleh Lembaga adat Panglima Laot Lhok Lamteungoh
b)
Peraturan daerah Kota Batam No
7 tahun 2009 tentang pengelolaan terumbu Karang Kota Batam
c)
Peraturan daerah Provinsi
Gorontalo No 2 tahun 2006 tentang Pengelolaan terumbu Ekosistem terumbu Karang
G. Alternatif
Rehabilitasi Terumbu Karang
Rehabilitasi adalah
upaya mengembalikan fungsi suatu ekosistem yang mengalami kerusakan untuk
dipulihkan kembali pada kondisi yang lebih baik. Dalam kegiatan rehabilitasi
terumbu karang harus melibatkan seluruh unsur masyarakat yang terkait dengan
keberadaan terumbu karang pada suatu daerah baik langsung maupun tidak
langsung. Disamping itu, rencana rehabilitasi terumbu karang harus
mempertimbangkan zonasi atau tata ruang kawasan serta aspirasi masyarakat di
lokasi yang akan dilakukan rehabilitasi (Bavinck, M, 2001).
Bentuk rehabilitasi
yang bisa dilakukan dalam pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat adalah
teknik transplantasi terumbu karang dan konservasi terumbu karang.
Gambar 2. Transpalantasi terumbu karang (Coremap-LP3M, 2001).
Berikut beberapa faktor yang perlu di perhatikan dalam
upaya konservasi sumberdaya laut termasuk terumbu karang :
1)
Manajemen Sosial-lingkungan. Mengembangkan
manajemen partisipatif kawasan lindung, pendidikan lingkungan, manajemen
konflik dan kursus pengembangan kapasitas kepada masyarakat.
2)
Populasi Tradisional. Menyampaikan
dan mengembangkan kebijakan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam
oleh masyarakat ekstraktif dan masyarakat adat dalam kawasan lindung jatuh di
Pemanfaatan kategori yaitu : Penguatan masyarakat lokal dan Pemanfaatan dan
produksi.
3)
Kepentingan umum dan bisnis:
Kualifikasi, mengatur dan menyusun kegiatan kunjungan, penggunaan publik dan
rekreasi dalam kawasan lindung.
4)
Teritorial konsolidasi.
Menyampaikan dan membatasi batas kawasan lindung;
5)
Penetapan perencanaan dan
evaluasi kawasan lindung. Mengembangkan dan menerapkan alat dan tindakan
terhadap penetapan dan pengelolaan kawasan lindung berupa:
a.
Penunjukan, manajemen rencana
elaborasi dan revisi.
b.
Evaluasi pelaksanaan kawasan
lindung.
c.
Sistem, Mosaik dan evaluasi
koridor efektifitas.
6)
Perlindungan Mengembangkan
perlindungan dan mekanisme keamanan di daerah menghadapi risiko invasi
7)
Konservasi dan pengelolaan. Mengembangkan
alat pengelolaan keanekaragaman hayati bertujuan untuk mengurangi dampak
aktivitas manusia pada beberapa spesies menghadapi resiko kepunahan. Usaha
tersebut dapat di lakukan dengan cara evaluasi konservasi keanekaragaman hayati
dan juga dengan melakukan desain dan implementasi rencana aksi.
8)
Pemantauan dan penelitian. Promosikan
generasi pengetahuan tentang konservasi keanekaragaman hayati dan pengelolaan
kawasan lindung. contoh tindakannya dapat berupa melakukan promosi dan
pengiriman penelitian, selain itu dapat juga melakukan variasi dalam usaha
pemantauan dan juga optimalisasi manajemen informasi dalam usaha konservasi
terubu karang
9)
Manajemen lingkungan. Kompensasi
dan sumber daya keuangan khusus kelola sumber daya kompensasi lingkungan keuangan
dan sumber daya khusus sistematisasi.
10)
Pengembangan kelembagaan. Menyebarluaskan
kompetensi kelembagaan dan tindakan kepada masyarakat.
11)
Manajemen sumber daya manusia. Menerapkan
praktek terpadu dan kebijakan untuk pengembangan pribadi dan profesional
personil. Misalnya dengan mengembangkan manajemen personil dan kualitas hidup,
korporatif Pendidikan.
12)
Mengembangkan Teknologi
informasi dan manajemen. Manajemen terpadu dan strategis logistik dan tekhnologi
yang dapat di manfaatkan untuk memberikan informasi dalam upaya pelestarian
terumbu karang
13)
Keuangan mengoperasionalkan.
Sumberdaya keuangan yang mendukung upaya
yang di lakukan dalam rangka perlindungan terumbu karang.
14)
Perancanaan anggaran
operasional yang di gunakan untuk membiayai dan menjaga keberkelanjutan dari usaha
konservasi terumbu karang.
15)
Dukungan dari korporasi (Coremap-LP3M, 2001).
H. Gambaran Pengelolaan Terumbu
Karang Berbasis Masyarakat
Pengelolaan
sumberdaya pesisir berbasis masyarakat dapat dikenal di beberapa daerah
diindonesia seperti di beberapa desa pesisir di Kabupaten Minahasa, yang telah
mengembangkan rencana pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat,
daerah perlindungan laut dan serta aturan-aturan desa tentang pengelolaan
sumberdaya pesisir (Coremap, 2002).
Di
Desa Kasuari, ada beberapa bagian pantai yang telah mengalami kerusakan yang
disebabkan karena abrasi dan sedimentasi, sehingganya usaha untuk pengelolaan
oleh pemerintah desa dan masyarakat untuk dijadikan daerah konservasi yang
dikelolah oleh masyarakat Desa Kasuari Provinsi Sulawesi Tenggara (Coremap,
2002).
Selanjutnya
kasus di Kepulauan Riau. Jenis ancaman gangguan sumberdaya alam pesisir di
Kepulauan Riau dapat dibedakan dari factor penyebab, yaitu ancaman eksploitasi
dan ancaman pencemaran serta kerusakan akibat pembangunan. Ancaman akibat
kegiatan eksploitasi menyebabkan degradasi beberapa sumberdaya alam diantaranya
kerusakan terumbu karang, penurunan populasi ikan, pengurangan habitat hutan
bakau dan padang lamun. Kerusakan terumbu karang dan penurunan ikan karang
disebabkan pengeboman karang. Diantara
program penyadaran masyarakat tersebut, yang saat ini sedang berlangsung adalah
program pantai dan laut lestari, yang salah satu kegiatannya adalah terumbu
karang dan mangrove lestari (teman lestari) dan coral reef rehabilitation and
management program (COREMAP), yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan
fungsi ekosistem dan hasil guna terumbu karang serta meningkatkan kepedulian
masyarakat terhadap kelestarian ekosistem tersebut. Untuk wilayah Kepulauan
Riau, program yang di jalankan untuk pengelolaan terumbu karang adalah program COREMAP
yaitu pengelolaan yang berbasis masyarakat (Community Base Management/CBM)
(Coremap, 2002).
I. Penentu Keberhasilan Pengelolaan
Berbasis Masyarakat (CBM)
Pengelolaan Berbasis Masyarakat bersifat spesifiklokal
yang artinya CBM adalah unik dan tidak ditemukan sama persis pada dua atau
lebih daerah yang berbeda. Oleh karena unik, keberhasilan atau kegagalan CBM
tidak dapat digeneralisasi. Apapun hasilnya keberhasilan dan kegagalan disuatu
tempat, tidak dengan otomatis dapat diterapkan ditempat lain. Katakanlah
kondisi sumberdaya alam didua daerah sama persis namun karena masyarakat yang
berbeda, CBM-nya akan berbeda pula (Nikijuluw, V.P.H. 2002).
a. Kelemahan
pengelolaan berbasis masyarakat (CBM)
Menurut Nikijuluw, V.P.H. 2002), bahwa pendekatan pengelolaan, CBM memiliki beberapa kelemahan diantaranya, adalah :
1) Tidak mengatasi masalah interkomunitas
CBM
diperuntukan hanya untuk suatu komunitas lokal, masalah-masalah interkomunitas
tidak dapat dipecahkan CBM. Konflik antarmasyarakat yang berasal dari dua komunitas yang berbeda
tidak dapat dipecahkan melalui CBM yang diakui salah satu komunitas. Untuk
mengatasi maslah ini, perlu dibangun sistem CBM yang berjenjangan, yaitu pada tingkat
komunitas yang lebih tinggi dari dua
komunitas yang saling konflik. Jika pada kedua komuntas yang saling konflik itu
masing-masing memiliki CBM, diatas kesamaan CBM mereka dapat membangun
CBM baru yang
menampung aspirasi dan keinginan bersama kedua pihak.
2) Bersifat lokal
CBM bersifat
spesifik lokal. Oleh karena itu, masalah yang lebih besar tidak dapat
dipecahkan CBM.
Sebagai contoh masalah tangkap lebih atau overexploitation
untuk jenis ikan tertentu tidak dapat dipecahkan melalui pelaksanaan CBM disuatu lokasi, jika
perairan itu cukup luas dan didiami serta dimanfaatkan beberapa komunintas
masyarakat. Masalah-masalah besar lainnya yang sulit dipecahkan melalui CBM adalah pengangguran
didaerah pesisir, polusi disuatu perairan dan ketidakseimbangan pasar.
3) Mudah dipengaruhi faktor eksternal
Beberapa faktor
eksternal yang mempengaruhi pada pelaksanaan CBM adalah: 1) Migrasi serta mobilitas penduduk yang membuat
masyarakat menjadi membaur sehingga hilang identitas masyarakat lokal, 2) Perubahan komposisi
usia penduduk, umumnya generasi muda pergi meninggalkan desanya sehingga yang
tersisa hanya generasi tua, 3) Perkembangan perdagangan yang begitu intensif
terhadap komoditas yang dikelola dengan pendekatan CBM sehingga masyarakat cenderung melanggar aturan
yang telah ditetpkan, 4) Pengantian sistem pemerintahan yang membuat struktur pemerintahan desa
(lokal) ikut juga berubah karena pemerintahan baru tidak memiliki kepedulian
dan kemampuan untuk melaksanakan CBM.
4) Sulit mencapai skala ekonomi
Oleh karena bersifat lokal dan hanya
dianut suatu masyarakat saja, skala usaha keseluruhan CBM disuatu daerah sering tidak ekonomis. Secara
individu, implementasi CBM membawa keuntungan, namun jika dihitung dampaknya bagi seluruh masyarakat, ternyata keuntungan itu
suboptimal.
5) Tingginya biaya institusionalisasi
Pendirian atau
pembentukan CBM membutuhkan biaya yang relatif
mahal. Biaya diperlukan untuk proses edukasi, penyadaran dan sosialisasi kepada
masyarakat tentang perlunya CBM, perumusan aturan CBM melalui pembangunan partisipasi masyarakat, serta
pembentukan organisasi CBM itu sendiri. Biaya yang dikeluarkan relatif lebih besar jumlahnya
dibandingkan dengan biaya keperluan yang sama pada pengelolaan sumberdaya yang
hanya dilakukan pemerintah.
b. Keunggulan pengelolaan
berbasis masyarakat (CBM)
Meskipun banyak kelemahannya, CBM ternyata memiliki
kelebihan dibandingkan dengan sistem atau pendekatan pengelolaan sumberdaya
perikanan yang lain. Menurut Nikijuluw, V.P.H. (2002),
bahwa kelebihan CBM tersebut adalah
sebagai berikut:
a) Sesuai aspirasi dan budaya lokal
CBM sesuai
dengan keinginan dan aspirasi lokal. Oleh karena itu, pelaksanaan CBM akan menghasilkan dampak positif bagi
masyarakat lokal. Jika dalam pelaksanaanya ternyata CBM kurang berhasil, tentu saja masyarakat
merasakannya. Untuk itu dengan mudah mereka dapat mengubah CBM sesuai dengan keinginan dan aspirasi yang ada.
CBM tidak bertentangan dengan
adat dan budaya. Sebaliknya, justru didukung oleh adat dan budaya yang berlaku.
Khusus untuk CBM tradisional, dukungan adat ini membuatnya tetap berlaku meskipun banyak
perubahan terjadi ditengah masyarakat. Namun dukungan adat ini mulai dikalahkan
dengan adanya tuntutan kebutuhan ekonomi yang semakin besar.
b) Diterima masyarakat
lokal
Oleh karena dibentuk sendiri oleh masyarakat serta sesuai
dengan keinginan dan aspirasi lokal, masyarakat secara keseluruhan akan dengan
mudah menerima CBM. Komitmen masyarakat sejak awal untuk menerima CBM yang
dibuatnya sendiri adalah modal utama untuk diimplementasikannya CBM secara
benar. Meski demikian, tidak dipungkiri bahwa pelaksanaan dan pengenalan CBM
kepada suatu masyarakat mungkin saja mengalami tantangan dari dalam masyarakat
sendiri. Hal ini biasanya terjadi karena kelompok masyarakat atau individu
tertentu yang selama ini telah mengalami keuntungan dari pelaksanaan
pengelolaan sebelumnya akan berusaha pengelolaan yang baru ini tidak
diberlakukan.
c) Pengawasan Dilakukan
Dengan Mudah
Pelaksanaan dan pengawasan CBM dilakukan sendiri oleh
masyarakat. Dengan demikian terjamin dilaksanakannya CBM secara lebih efektif.
Berkenaan dengan biaya untuk kegiatan pengawasan, masyarakat sendiri dapat
menanggung biaya tersebut sesuai kemampuannya. Biaya pengawasan menjadi sangat
rendah jika masyarakat melakukannya dengan sukarela. Pengawasan dengan mudah
dilakukan jika kegiatan itu dikaitkan dengan tugas dan tanggung jawab setiap
anggota masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Bavinck, M. 2001. “Marine Resource Management: Conflict and Regulation in the Fisheries
of the Coromandel Coast” London: Sage Publications.
Bengen, D.G. 2001. “Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut
Serta Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu dan Berkelanjutan”
Carter, J.A. 1996. “Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis masyarakat”. http://www.pbanyak.com/2010/10/pengelolaan-terumbu-karang-berbasis.html.
Diakses 15 Februari 2013.
Coremap-LP3M,
2001. “Coral Reef Rehabilitation and
Management Program – Lembaga Pengkajian Pedesaan, Pantai dan Masyarakat”
2001. Community-Based Management.
2002. Laporan Akhir Perpanjangan II Pengelolaan
Berbasis Masyarakat Program COREMAP Di Kepulauan Riau
Dahuri,
R. 2000. “Pendayagunaan sumberdaya
kelautan untuk kesejahteraan masyarakat”. LISPI. Jakarta
Hakim,
L. 2008. “Detil Artikel Teologi
Lingkungan untuk Rehabilitasi Terumbu Karang”.http://psmbupn.org/article/teologi-lingkungan-untuk-rehabilitasi-terumbu-karang.html.
Diakses 4 Februari 2013
Nikijuluw,V.P.H.2002.”Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan:
Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat”, halaman 85-94
Pangesti,
A. 2012. “Jurnal Kondisi Terumbu Karang
Indonesia” http://anapangesti.blogspot.com/search/label/jurnal.
Diakses 4 Februari 2013.
Pijiono,
dan Ruswahyuni, 2004. “Kondisi Terumbu
Karang Di Kepulauan Seribu Dalam Kaitan Dengan
Gradasi Kualitas Perairan” Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan Vol. 1 No.
1, April 2009
Pomeroy,
R.S. dan M.J. Williams. 1994. “Fisheries
Co-Management and Small-Scale Fisherie “: A Policy Brief. ICLARM, Manila 15
p.
Suharsono, 1998. “Kesadaran Masyarakat Tentang Terumbu Karang (Kerusakan Karang di Indonesia)”. Jakarta: LIPI Pusat Penelitian
dan Pengembangan Oseanologi
Supriharyono,
2000. “Pengelolaan Ekosistem Terumbu
Karang”, Djambatan,. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar