Music

Senin, 30 Maret 2015

Acanthaster planci


Acanthaster planci
(Oleh, Sahputra, 2014)

A. Morfologi Acanthaster planci
Acanthaster planci atau Crown of thorns starfish merupakan salah satu jenis bintang laut dengan jumlah duri yang banyak sekali, sehingga di Indonesia lebih dikenal dengan nama bulu seribu (Suharsono, 1991). Acanthaster planci adalah sejenis bintang laut yang mempunyai lebih dari 21 lengan, seluruh permukaan tubuhnya bagian atas penuh dengan duri-duri beracun, bintang laut dewasa dapat mencapai ukuran diameter satu meter atau lebih (COREMAP, 2004).
Acanthaster planci bisa hidup tersebar menyendiri atau dalam kondisi tertentu bisa hidup dalam kelompok besar (Agregasi) (Aziz, 1998). Acanthaster planci memiliki bentuk tubuh yang unik. Tubuhnya berbentuk cakram dengan perut yang besar dan rata (Birkeland dan Lucas, 1990 dalam Rani, dkk, 2011). Bentuk Acanthaster planci dapat dilihat pada Gambar 1.



 
 
 Gambar 1. Acanthaster planci
Ukurannya yang relatif besar dengan jumlah tangan yang bevariasi serta warna tubuh yang mencolok abu-abu kemerahan atau violet tua kebiruan (Aziz, 1998). Moran (1990) dalam Rani dkk, (2011) menyatakan bahwa Acanthaster planci memiliki lengan dengan jumlah yang bervariasi antara 8-21 buah yang sangat lentur sehingga dapat membelit/melingkar segala bentuk koloni karang.  Acanthaster planci mempunyai kemampuan untuk memutuskan lengannya bila diperlukan, hal ini diduga erat kaitannya dengan predasi terhadap Acanthaster planci. Hampir sebesar 60% individu Acanthaster plancidalam satu populasi dapat kehilangan salah satu atau lebih dari lengannya. Untuk melihat morfologi tampak atas dan tampak bawah Acanthaster planci dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Morfologi Acanthaster planci (a) tampak atas (b) tampak bawah
(Damayanti, 2007 dalam Rani, dkk, 2011 ).

Struktur tubuh Acanthaster plancisama dengan struktur umum dari Asteroidea dengan tubuh yang berbentuk radial simetris mirip cakram bersumbu oral dan aboral mempunyai lengan. Lengan bagian oral (mulut) menghadap ke bawah, sedangkan aboral menghadap ke atas. Di bagian aboral terdapat madreporit dan anus. Lubang madreporit 6 - 13 buah, sedang lubang anus berjumlah 1-6 buah. Duri-duri yang beracun berukuran 2-4 cm menghiasi aboral tubuh cakram dan lengan-lengannya (Ikhtiarto, 2011).
Menurut Moran (1990) dalam Anwar (2006) menyatakan bahwa warna tubuh Acanthaster planci bermacam-macam bergantung pada lokasi tempat tinggalnya, misalnya Acanthaster planci yang terdapat di Thailand umumnya berwarna biru keungu-unguan, di Great Barrier Reef (Australia) berwarna merah dan abu-abu, dan di Hawai berwarna hijau dan merah. Sedangkan Aziz (1977) menyatakan bahwa di Pulau Pari Indonesia Acanthaster planci umumnya berwarna abu-abu, abu-abu ungu, abu-abu merah dan biru. Ukuran diameter tubuh Acanthaster planci yang sering ditemukan umumnya berkisar antara 10 - 30 cm.

B. Sistematika Acanthaster planci
Acanthaster planci  pertama kali diperkenalkan oleh Rumphius pada tahun 1705 dengan nama Stella marina quindecium radiorum (Aziz,1995). Kemudian Plancus dan Gualtieri, memperkenalkan spesimen Acanthaster yang mereka temukan di Goa, India pada tahun 1743, dengan nama Stella marina echinata. Dalam perkembangannya, Linnaeus kemudian merevisi nama Stella marina echinata menjadi Asterias planci sebagai bentuk penghargaan terhadap Plancus. Pada tahun 1841, Gervais memperkenalkan nama generik Acanthaster, menggantikan nama genus Asterias (Birkeland et al, 1990 dalam Anwar, 2006). Penamaan binomial Acanthaster planci oleh Linnaeus pada tahun 1758 inilah yang digunakan sampai sekarang (Aziz, 1995).
Birkeland dan Lucas (1990) dalam Rani dkk, (2011) menjelaskan bahwa Acanthaster terdiri atas 3 spesies dan 2 sub speises, yaitu: Acanthaster planci, yang tersebar secara luas pada kawasan Indo Pasifik, Acanthaster ellisii, spesies yang memiliki duri dan lengan yang pendek dan tersebar di kawasan Pasifik Timur, dan Acanthaster brevispinus, yang memiliki duri lebih pendek yang ditemukan di perairan Filipina. Perbedaan bentuk Acanthaster planci, Acanthaster brevispinus, dan Acanthaster ellisii dapat dilihat pada Gambar 3.







(a)                                   (b)                              (c)
 Gambar 3. (a) Acanthaster planci, (b) Acanthaster brevispinus, (c) Acanthaster ellisii.
Acanthaster ellisii merupakan bintang laut pemakan karang yang populasinya sangat jarang, hanya dilaporkan di Filipina. Beberapa pakar ekologi meragukan validitas dari Acanthaster ellisii, tetapi para pakar taksonomi Ekhinodermata memandangnya sebagai jenis yang valid (Aziz, 1995). Bachtiar (2009) menambahkan bahwa Acanthaster bervipinnus adalah bintang laut pemakan detritus (sampah organic). Ketiga spesies Acanthaster tersebut mempunyai genetik yang sangat mirip sehingga kadang terjadi hibrid di antara mereka. Di dalam evolusi, Acanthaster planci berasal dari Acanthaster brevipinnus yang mendapatkan kemampuan untuk memakan karang.
Jangoux dan Aziz (1984) dalam Aziz (1995) menyatakan bahwa telah menemukan sub spesies dari Acanthaster brevispinus pada kedalaman 65 meter dari lautan Hindia dan dinamakan Acanthaster brevispinus seychellesensis. Secara morfologi, sub spesies ini memiliki kedekatan dengan Acanthaster brevispinus yaitu memiliki duri punggung yang relatif pendek. Dengan demikian maka genus Acanthaster mempunyai 3 spesies beserta 2 sub spesies yang valid. Subspesies lainnya yaitu Acanthaster ellsii pseudoplanci ditemukan Caso pada tahun 1962.
Berikut ini adalah klasifikasi dari Acanthaster planci menurut Berkeland dan Lucas (1990) dalam Rani, dkk, (2011):
Kingdom : Animalia
    Phylum : Echinodermata
        Class : Asteroidea
                Ordo : Spinolisida
                        Sub Ordo : Leptognathina
                             Family : Acanthasteridae
                                    Genus : Acanthaster
                                          Spesies : Acanthaster planci         
Di Indonesia Acanthaster planci dikenal juga  dengan sebutan bulu seribu. Dalam bahasa inggris disebut the crown of thorns starfish atau bintang laut mahkota berduri (Aziz, 1977).

C. Habitat Acanthaster planci
Terumbu karang dan segala kehidupan yang ada di dalamnya merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, yang tak ternilai harganya. Diperkirakan luas terumbu karang Indonesia adalah lebih dari 60.000 km2 yang tersebar luas dari perairan Kawasan Barat Indonesia sampai Kawasan Timur Indonesia (Anonim, 2001).
Wilayah Indonesia merupakan tempat bagi sekitar 1/8 dari terumbu karang dunia dan merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman biota perairan dibanding Negara-negara Asia Tenggara lainnya (Anonim, 2001). Meskipun beberapa karang dapat dijumpai di lautan-lautan subtropis, tetapi spesies yang membentuknya hanya terdapat didaerah tropis. Kehidupan terumbu karang dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 meter dan pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang dari 10 meter dan suhu sekitar 250 sampai 290C (Hutabarat dan Evans, 1985).
Terumbu karang selalu hidup bersama-sama dengan hewan lain. Rangka karang itu sendiri memberikan suatu tempat perlindungan bagi bermacam-macam spesies hewan termasuk termasuk jenis penggali lubang dari golongan moluska, cacing polychaeta, dan kepiting. Terumbu karang juga merupakan tempat hidup yang sangat baik bagi ikan hias (Hutabarat dan Evans, 1985).
Ekosistem terumbu karang merupakan habitat (tempat hidup) bagi ribuan biota, baik sementara atau menetap sepanjang hidup. Biota yang hidup terus menerus di terumbu karang seperti hewan karang, anemon, kima dan akar bahar. Biota-biota tersebut selama hidupnya tidak berpindah-pindah, menetap, kecuali bila dipindahkan. Ada juga biota yang selama hidupnya di daerah terumbu karang, akan tetapi dapat berpindah dari satu lokasi terumbu karang ke lokasi lain, misalnya ikan-ikan hias, ikan kerapu, dan lain-lain. Dan ada biota yang hanya hidup sementara di terumbu karang karena memijah, mengasuh atau mencari makan (Kordi, 2010).
Lebih lanjut Kordi (2010) menyatakan bahwa penghuni perairan dangkal yang umumnya terdapat di terumbu karang dan padang lamun adalah Bintang Laut yang masuk dalam kelompok Ekhinodermata. Bintang laut yang carnivora (pemakan hewan) memakan berbagai hewan seperti teritip, sponge, kerang, keong, spesies Ekhinodermata lain, cacing, kepiting kecil, sampai karang. Salah satu bintang laut yang terkenal adalah bintang seribu atau mahkota duri (Acanthaster planci) sangat ganas dan melahap karang batu sampai menimbulkan kehancuran yang meluas.
Bintang laut Acanthaster planci merupakan penghuni terumbu karang yang alami. Anakan Acanthaster planci yang masih kecil hidup di antara pecahan karang di dasar terumbu. Mereka memakan alga berkapur yang tumbuh pada pecahan karang tersebut. Bintang laut Acanthaster planci yang berukuran (40 cm) mencari makan pada siang hari (CRC, 2003). Pada siang hari, Acanthaster planci kecil bersembunyi dari pemangsa di bawah karang meja atau di celah-celah terumbu, sehingga survey populasi Acanthaster planci tidak menemukan individu berukuran kecil. Separuh dari waktu hidup Acanthaster planci digunakan untuk makan, sehingga dampaknya terhadap terumbu karang dapat sangat besar ketika populasinya besar (Bachtiar, 2009).
Anwar (2006) menyatakan bahwa Acanthaster planci umumnya menyukai daerah terumbu karang dengan persentase tutupan karang yang tinggi. Sedangkan anakan Acanthaster planci lebih menyukai tempat yang terlindung, misalnya bersembunyi di bawah bongkah-bongkah karang atau pecahan karang. Acanthaster planci dewasa tidak menyukai tempat terbuka seperti daerah perairan dangkal yang dipengaruhi ombak atau arus yang kuat.  Sementara Suharsono (1991) menyatakan bahwa di Kepulauan Seribu, Acanthaster planci dewasa pada umumnya biasa dijumpai pada kedalaman 3–5 meter. Kedalaman maksimum dimana Acanthaster planci pernah ditemukan adalah 65 meter pada perairan Great Barrier Reef, Australia.

D. Biologi Acanthaster planci
1). Reproduksi dan Daur Hidup Acanthaster planci
Suharsono (1991) menyatakan bahwa Acanthaster planci dibedakan menjadi hewan jantan dan betina sehingga tidak dikenal adanya Acanthaster planci yang bersifat hermaprodit. Fertilisasi secara eksternal dengan ratio 1:1 untuk gamet jantan dan gamet betina. Acanthaster planci dewasa dengan ukuran 0,5-4 kg dapat menghasilkan telur sebanyak 4-65 juta.
Pada saat pemijahan, terjadi pelepasan secara serentak antara sperma dan telur. Waktu pemijahan tergantung pada letak geografi di mana hewan ini hidup. Di belahan bumi selatan terjadi pada bulan November-Januari sedang untuk belahan bumi Utara terjadi pada bulan Mei -Juli. Tahapan daur hidup Acanthaster planci dapat dilihat pada Gambar 4.
 
Gambar 4. Tahapan Daur Hidup Acanthasther planci (Sumber : Anwar, 2006)
Great Barrier Reef menunjukkan bahwa jumlah terbesar dari spermatozoa dan oozit yang telah matang terdapat pada bulan November. Fase gametogenesis yang terjadi pada bulan November hingga Desember mengalami kemunduran kematangan gonad. Testis yang telah matang dan dilapisi berjuta-juta dinding sel yang merupakan tempat untuk memproduksi sperma sedangkan dalam ovarium hanya terdapat 1 sel telur yang matang (Birkeland dan Lucas, 1990 dalam Rani, dkk, 2011). Setelah 6–12 hari, larva bipinaria tersebut akan memasuki tahapan perkembangan yang selanjutnya, yaitu berubah menjadi larva brachiolaria (Moran, 1990 dalam Anwar, 2006).
Larva brachiolaria ini benar-benar bagaikan dua binatang yang menjadi satu. Dimana bagian depannya merupakan larva yang bertugas untuk mengatur pergerakan dan mencari makanan (swimming/feeding larva), sedangkan bagian paling belakangnya merupakan embryo dari Acanthaster planci. Jika beruntung, larva brachiolaria akan terbawa oleh arus ke suatu terumbu karang dan kemudian melekat pada suatu substrat. Proses ini merupakan tahapan awal dari fase metamorfosis Acanthaster planci. Selanjutnya, bagian belakang dari larva brachiolaria yang merupakan embryo dari Acanthaster planciakan menyerap semua bagian yang tersisa dari larva brachiolaria. Dalam selang waktu beberapa hari kemudian akan terbentuklah Acanthaster planci muda (Lucas, 1987 dalam Anwar, 2006).  Perubahan larva brachiolaria menjadi stadium muda dapat dilihat pada Gambar 5.
 
                               (a)                      (b)                           (c)                             (d)
Gambar 5. Larva brachiolaria umur 4 minggu setelah inseminasi (a), stadium muda umur 2 minggu setelah metamorfosis (b), stadium muda umur 7 minggu (c), stadium muda umur 19 minggu (d) (Sumber : Aziz, 1998).

2). Pertumbuhan Acanthaster planci
Pertumbuhan Acanthaster planci sangat dipengaruhi oleh makanannya. Anakan Acanthaster planci yang makan algae hanya mempunyai pertumbuhan sekitar 2,6 mm/bulan, sedangkan yang makan karang mempunyai pertumbuhan paling cepat yaitu sekitar 16,7 mm/bulan (Moran, 1990 dalam Bachtiar, 2009). Menurut Zann, et al., (1987) dalam  Aziz (1998) menyatakan bahwa bintang laut jenis Acanthaster planci yang hidup di perairan sekitar Kepulauan Fiji, pada saat usia di atas 5 bulan hidup dari mengkonsumsi algae benang (Coraline algae). Pada saat itu biota ini telah mencapai ukuran diameter tubuh sekitar 19,5 mm, dengan kecepatan tumbuh (growth rate) sekitar 2,6 mm/bulan.
Saat dewasa, pertumbuhan melambat menjadi sekitar 4,5 mm/bulan. Anakan Acanthaster planci yang berukuran kurang dari 10 mm memakan algae, sedangkan yang berukuran 10-160 mm sudah mulai memakan jaringan karang dan individu dewasa berukuran sekitar 250-400 mm (Moran, 1990 dalam Bachtiar, 2009).
Sementara itu Suharsono (1991) menyatakan bahwa temperatur optimal untuk pertumbuhan Acanthaster planci berkisar antara 26-28°C. Batas toleransi suhu maksimum dan minimum adalah 33°C dan 14°C sehingga diatas suhu 33°C Acanthaster planci akan mati begitu juga di bawah suhu 14°C. Menurut Lucas (1973) dalam Aziz (1998) bahwa larva akan tumbuh normal pada fluktuasi salinitas antara 26 ‰ sampai dengan 35 ‰. Pertumbuhan larva akan terhambat pada salinitas lebih rendah dari 22 ‰.
Lebih lanjut dinyatakan Suharsono (1991) bahwa kecepatan tumbuh Acanthaster planci pada kondisi normal adalah 26 mm perbulan untuk individu muda yang memakan algae. Individu muda pemakan karang mempunyai pertumbuhan yang sangat cepat yaitu 16.7 mm per bulan sedangkan setelah mencapai dewasa pertumbuhan berkisar antara 4.5 mm per bulan.                  
Menurut Yamaguchi (1987) dalam Aziz (1995), bahwa bintang laut jenis Acanthaster planci stadium muda (juvenil) akan terhenti pertumbuhannya pada suhu air laut sekitar 16°C, dan biota ini akan mati setelah beberapa hari ditempatkan pada suhu 12°C. Suhu air laut antara 14°C sampai dengan 15°C dapat dipandang sebagai suhu yang mematikan (lethal temperature). Hal ini merupakan faktor penghalang bagi Acanthaster planci untuk menyebar ke daerah ugahari yang bertemperatur lebih dingin. Ukuran diameter tubuh berdasarkan umur adalah seperti yang terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Ukuran Diameter Tubuh Berdasarkan Umur
Umur (Bulan)
Diameter tubuh (mm)
8
20
16
78
24
145
48
270
72
380
Sumber : (Suharsono, 1991)
3). Cara Makan dan Preferensi Makanan Acanthaster planci
Suharsono (1991) menjelaskan bahwa cara makan Acanthaster planci cukup unik. Isi perut dikeluarkan melalui mulut kemudian ususnya akan menutupi permukaan koloni karang sehingga pencernaan terjadi diluar tubuh Acanthaster planci. Pada saat mencerna makanan Acanthaster planci mengeluarkan suatu enzim dari "pyloric caeca" yang berfungsi sebagai pemecah lemak. Proses pencernaan ini membutuhkan waktu antara 4-6 jam. Pada saat makan diduga Acanthaster planci juga mengeluarkan suatu zat tertentu yang dapat merangsang Acanthaster planci yang lain untuk berkumpul dan makan secara beramai-ramai.
Sorokin (1995) dalam Bachtiar (2009) menyatakan bahwa di dalam eksperimen, bintang laut Acanthaster planci dewasa mempunyai preferensi makanan karang Pocilloporidae, Acroporidae dan Favidae; tetapi pada kondisi lapang preferensi dapat berubah berdasarkan kondisi turbulensi. Sementara Moran (1990) dalam Rani (2007) menambahkan bahwa umumnya Acanthaster planci dewasa memakan polip karang keras. Jika kondisi karang telah banyak yang mati, maka karang lunak juga menjadi sasaran pemangsaan.
Kebiasaan makan Acanthaster planci berlangsung pada siang hari (terang) dan malam hari (gelap) hari, tergantung pada ukuran individu (Moran, 1990 dalam Rani, 2007). Karang Poritidae merupakan jenis yang dihindari oleh Acanthaster planci. Walaupun demikian, dalam kepadatan yang tinggi Acanthaster planci dapat memangsa semua jenis karang termasuk Poritidae. Koloni karang Pocilloporidae yang mempunyai hewan simbion kepiting Trapezia atau udang Alpheus biasanya dihindari oleh Acanthaster planci (Bachtiar, 2009).
Makanan Acanthaster planci berbeda-beda dan sangat tergantung pada tingkat kedewasaan dan ukuran tubuhnya. Acanthaster planci dewasa aktif makan pada waktu siang maupun malam hari, sedangkan anakan Acanthaster planci makan hanya dilakukan pada waktu malam hari dengan tujuan untuk menghindari predator (Suharsono, 1998 dalam Anwar, 2006).
Makanan utama dari larva Acanthaster planci adalah phytoplankton terutama dari jenis diatom dan dinoflagellata. Pada tingkatan juvenil, Acanthaster planci dapat dibedakan menjadi juvenil pemakan alga dan juvenil pemakan polyp karang berdasarkan jenis makanannya.
Juvenil pemakan alga merupakan anakan Acanthaster planci yang masih berukuran sangat kecil, sehingga belum dapat memakan polip karang. Juvenil pemakan alga ini hidup dari mengkonsumsi alga utamanya corallinealgae dari jenis Lithothamnion sp dan Porolithoa sp (Aziz, 1998). Sementara Moran (1990) dalam Rani dkk, (2011) menyatakan juvenil pemakan polyp karang merupakan anakan Acanthaster planci yang telah berukuran cukup besar, sehingga telah dapat memakan polyp karang. Acanthaster planci dewasa umumnya memakan polyp dari karang keras, tetapi pada saat kekurangan makanan mereka memakan karang lunak, algae, gorgonian, dan bahkan dapat saling memangsa. Acanthaster planci dapat bertahan hidup tanpa makanan selama 6-9 bulan.
4). Predator Acanthaster planci
Acanthaster planci yang mempunyai bentuk tubuh yang kokoh dengan seluruh tubuh dilindungi duri-duri yang beracun tampaknya tidak mungkin ada pemangsa yang mau memakannya, akan tetapi sejak dari mulai bentuk telur hingga individu dewasa Acanthaster planci tidak luput dari incaran pemangsa. Pada stadium larva Acanthaster planci merupakan makanan karang batu dan ikan-ikan karang seperti Chromis dimideatus. Pada stadium juvenil Acanthaster planci  merupakan makanan bagi ikan-ikan karang, udang (Hyme-noceva picta), lobster (Panulirus penicillatus) (Suharsono, 1991). Sementara dalam CRC (2003) dinyatakan bahwa pada waktu Acanthaster planci menjadi dewasa diburu oleh sejenis cacing dari jenis Pherecardi astriata, ikan karang dari jenis Arothronhispidus dan jenis moluska dari jenis Charoniatritonis.
Aziz (1998) menyatakan bahwa bintang laut jenis Acanthaster planci adalah pemangsa polip karang hidup. Kondisi ini berlaku terbalik pada fase larva. Larva Acanthaster planci  ini merupakan mangsa bagi polip karang. Selain karang, berbagai jenis ikan kecil dan ubur-ubur laut juga bertindak sebagai predator dari larva Acanthaster planci.

E. Pemangsaan Terumbu Karang oleh Acanthaster planci
Pemangsaan terhadap terumbu karang juga merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan terumbu karang. Hewan-hewan pemangsa terumbu karang antara lain bintang laut berduri, ikan kakatua, kepe-kepe, bulu babi, dan Gastropoda spesies Drupella rugosa. Pemangsa paling terkenal adalah bintang laut berduri atau mahkota duri (Acanthaster planci) yang dalam Bahasa Inggris dinamakan Crown of thonrs hewan ini memangsa semua jenis karang hermatifik, terutama marga Acropora. Ukuran hewan ini cukup besar dan hanya makan jaringan karang hidup. Karena ukurannya yang besar, bintang laut ini mampu merusak seluruh koloni karang selama makan (Kordi, 2010).
Populasi Acanthaster planci yang berukuran lebih kecil lebih banyak bersembunyi di bawah koloni karang, biasanya hanya makan sebagian dari koloni karang terutama jenis Acropora sp, sehingga terumbu karang dapat pulih kembali secara cepat apabila jumlahnya tidak begitu besar (CRC, 2003).
Lebih lanjut didalam CRC (2003) dinyatakan bahwa beberapa terumbu karang masih dapat mendukung populasi Acanthaster planci yang kecil untuk beberapa tahun dengan sedikit persen tutupan karang mati. Diduga terumbu karang dengan kondisi baik (persen tutupan karang hidup antara 40-50%), masih dapat mendukung keberadaan 20-30 ekor bintang laut per hektar (10.000 meter persegi). Tetapi apabila populasi Acanthaster planci cukup besar, akan terjadi peningkatan kompetisi perolehan makan dan mengakibatkan lebih banyak lagi jenis karang yang dimakan, termasuk jenis Porites sp, yang dalam keadaan normal tidak biasa dimakan.
Waktu terjadinya ledakan populasi Acanthaster planci, begitu banyaknya Acanthaster planci di setiap meter persegi, sampai saling tumpang tindih. Acanthaster planci itu dapat mengurangi persen tutupan karang hidup dari 25-40% menjadi kurang dari 1%. Terumbu karang demikian akan memerlukan waktu lebih dari 10 tahun untuk tumbuh kembali seperti semula (COREMAP, 2004).
Anakan Acanthaster planci  hidup dan tumbuh dengan baik, pada terumbu karang dengan persen tutupan karang hidup lebih dari 10%. Bintang laut berduri jarang ditemukan pada terumbu karang di Indo Pasfik (tidak ditemukan di Atlantik) (Nybakken, 1992). Selain itu Nybakken (1992) juga menyatakan bahwa Acanthaster planci adalah bintang bertangan banyak yang berukuran sangat besar, yang hanya makan jaringan karang hidup. Karena ukuranya yang besar, ia mampu merusak seluruh koloni selama ia makan.
Seperti yang dilaporkan oleh Porter (1977) dalam Kordi (2010) menyatakan bahwa Acanthaster planci  mempunyai pilihan makanan yaitu spesies karang yang tumbuh cepat dan menguasai tempat. Jadi hewan ini secara selektif melakukan pengurangan atau pemindahan karang yang tumbuh cepat, dan meningkatkan penyebaran karang, serta menolong spesies yang tumbuh lambat agar dapat terjamin kelangsungan hidupnya. Acanthaster juga mempengaruhi struktur terumbu bila kondisi lingkungan memungkinkan populasi bintang laut ini tinggi.
Menurut Endean (1973) dalam Kordi (2010) menyatakan bahwa pada kepadatan populasi normal, satu bintang laut berkembang menjadi tiga bintang laut dalam 4-5 jam, sedangkan jika terjadi ledakan populasi berkembang menjadi lebih dari 100 bintang laut dalam waktu 20 menit. Pada keadaan ini seluruh terumbu karang dirusak oleh bintang laut dan hampir semua karang dimakan.
Sejak 1957, ketika mula-mula ditemukannya ledakan populasi Acanthaster menyebabkan bencana kematian terumbu pada banyak tempat di Pasifik Barat. Di Guam, diperkirakan 90% terumbu karang sepanjang 3 km garis pantai telah dirusak dalam waktu dua setengah tahun (Kordi, 2010). Kasus ledakan Acanthaster planci yang tercatat pertama kali di Great Barrier Reef terjadi di Green Land, didekat Cairns dalam Tahun 1962. Dimungkinkan lebih banyaknya berita tentang ledakan populasi Acanthaster planci sekarang dari pada waktu lalu itu, karena makin banyaknya turis dan makin populernya penyelaman dengan SCUBA (COREMAP, 2004).
Lebih lanjut dalam COREMAP (2004) dinyatakan bahwa ledakan populasi Acanthaster planci umumnya dimulai di bagian Utara Great Barrier Reef dan bergerak kearah Selatan. Sesuai dengan arah arus laut sebagai contoh, terumbu karang dekat Townville kena serangan pada tahun 1970 dan pada pertengahan tahun 1970an, populasi Acanthaster planci telah mencapai bagian Utara pulau-pulau Whitsunday, 300 km ke arah selatan. Pergerakan ledakan Acanthaster planci ke arah selatan ini sudah merupakan pola yang selalu terjadi di Great Barrier Reef.
Di Taman Nasional Bali Barat, bintang laut Acanthaster planci telah menimbulkan kerusakan terumbu karang di perairan sekitar Pulau Menjangan yang merupakan obyek wisata laut. Dalam tempo kurang dari satu tahun, petugas taman nasional mengumpulkan lebih dari 220.000 ekor hewan laut ini (Romimohtarto dan Juwana, 2004).

F. Faktor Penyebab Terjadinya Ledakan Populasi Acanthaster planci.
Ada banyak teori yang berkembang mengenai faktor penyebab terjadinya ledakan populasi Acanthaster planci. Namun hingga saat ini faktor penyebab terjadinya ledakan populasi Acanthaster planci masih menjadi bahan perdebatan dikalangan para ilmuwan. Zann (1987) dalam Anwar (2006) menjelaskan bahwa secara garis besar teori-teori tersebut dapat dikelompokkan menjadi :
1.   Teori faktor alami.
Teori ini menyatakan bahwa ledakan populasi Acanthaster planci merupakan suatu fenomena alam yang berdampak pada terumbu karang secara periodik. Secara garis besar teori ini menyatakan bahwa tingkat reproduksi Acanthaster planci yang sangat tinggi merupakan penyebab terjadinya ledakan populasi. Seekor Acanthaster planci betina dapat menghasilkan jutaan telur, yang mana apabila kondisi perairan (misalnya temperatur, salinitas, persediaan makanan) sangat sesuai dengan yang dibutuhkan, maka banyak larva Acanthaster planci yang dapat bertahan hidup sehingga dapat dibayangkan betapa besar jumlah Acanthaster planciyang dihasilkan. Teori faktor alami didukung oleh bukti geologis berupa potongan-potongan rangka Acanthaster planci yang ditemukan dalam lapisan sedimen perairan Green Island Reef dan John Brewer Reef. Penemuan potongan-potongan rangka tersebut menunjukkan keberadaan dalam jumlah besar di masa lalu khususnya di perairan Green Island Reef dan John Brewer Reef. Akan tetapi, bukti geologis ini belum dapat membuktikan adanya ledakan populasi Acanthaster planci dimasa lalu (Zann, 1987 dalam Anwar 2006). 
2. Teori faktor manusia.
Ledakan populasi Acanthaster planci tidak pernah terjadi di masa lalu dan terumbu karang merupakan ekosistem yang stabil yang tidak pernah mengalami fluktuasi populasi. Teori faktor manusia mengemukakan bahwa ledakan populasi  Acanthaster planci pada umumnya terjadi pada daerah padat penduduk yang sangat dipengaruhi oleh aktifitas manusia dan polusi. Disamping itu, semakin berkurangnya predator alami Acanthaster planci akibat ulah manusia seperti perburuan triton dan ikan karang juga menjadi faktor penyebab terjadinya ledakan populasi Acanthaster planci (Zann (1987) dalam (Anwar) (2006).
CRC (2003) menyatakan bahwa hingga saat ini penyebab munculnya peledakan populasi Acanthaster planci masih belum jelas benar. Dari banyak teori yang ada, tiga teori yang mendapat banyak dukungan para peneliti sebagai berikut:
  1. Fluktuasi kelimpahan populasi Acanthaster planci merupakan fenomena alami, yang tidak terlalu penting untuk dirisaukan.
  2.  Penangkapan pemangsa Acanthaster planci  untuk konsumsi (ikan, siput) telah menyebabkan terjadinya peledakan populasi, sehingga penangkapan tersebut harus segera dihentikan.
  3. Pembangunan kawasan pesisir telah menambah nutrient ke dalam laut sehingga menyediakan banyak makanan tambahan bagi larva Acanthaster planci  dan meningkatkan kelulushidupannya, yang menyebabkan populasi Acanthaster planci  sangat berlimpah.
Bachtiar (2009) menyatakan bahwa pembangunan kawasan pesisir perlu dijadikan pijakan di dalam pencegahan terjadinya peledakan populasi Acanthaster planci. Kelulushidupan larva yang tinggi membutuhkan suplai makanan dalam jumlah yang besar. Larva Acanthaster planci membutuhkan makanan dalam bentuk fitoplankton dan bakteri. Kelimpahan keduanya di terumbu karang umumnya sangat rendah sehingga tidak cukup untuk membuat terjadinya peledakan populasi. Kelimpahan tinggi fitoplankton dan bakteri di perairan laut dapat terjadi jika ada suplai nutrient yang besar dari lumpur dan pupuk yang terbawa limpasan sungai, atau dari pembuangan limbah kota ke laut. Peran pemangsa dalam pengendalian populasi Acanthaster planci juga sangat penting. Tetapi yang manakah pemangsa utama dari Acanthaster planci masih belum sangat jelas.
CRC (2003) menyatakan bahwa dalam hidupnya seekor betina Acanthaster planci dapat menghasilkan 1000 juta (satu milyar) telur. Jika kelulushidupan larva meningkat dari 1/100 juta menjadi 1/10 juta, maka peningkatan populasi akan bertambah 10 kali lipat. Jadi cara pengelolaan bintang laut Acanthaster planci dapat dilakukan dengan mengurangi suplai nutrient ke laut dan penangkapan pemangsanya. Faktor Salinitas juga merupakan faktor yang meningkatkan kelulushidupan larva Acanthaster planci.

G. Penanggulangan Ledakan Populasi Acanthaster planci
Bachtiar (2009) menyatakan bahwa pengelolaan terumbu karang untuk mengatasi masalah Acanthaster planci seharusnya ditujukan untuk mencegah munculnya peledakan populasi, menangani peledakan populasi yang sedang terjadi, dan mempercepat pemulihan terumbu karang yang rusak oleh Acanthaster planci. Pencegahan timbulnya peledakan populasi harus menjadi pilihan utama didalam pengelolaan Acanthaster planci. Peledakan populasi Acanthaster planci membutuhkan penyebaran larva dalam jumlah yang besar. Jika larva dalam jumlah besar ini dapat tumbuh menjadi dewasa dan menghasilkan larva dari pemijahannya, maka peledakan populasi dapat terjadi pada terumbu karang yang menjadi penerima larva tersebut.
Lebih lanjut Faizal (2014) menyatakan bahwa ada beberapa cara untuk melakukan penanggulangan ledakan populasi Acanthaster planci yaitu sebagai berikut:
  1. Mengeluarkan dan membakar Acanthaster planci di tepi pantai adalah efisien untuk pembersihan di perairan dangkal. Dalam pelaksanannya, semua peserta harus diingatkan agar mengurangi setiap kemungkinan perusakan terumbu karang ketika mengambil.
  2. Pagar bawah air dibuat dengan cara membuat pagar pada area yang sudah mengalami peledakan populasi dimana pagar-pagar ini dibuat untuk menjaga individu dewasa tidak kelaur kemana-mana.
Sedangkan Suharsono (1991) memberikan saran untuk upaya pengendalian ledakan populasi Acanthaster planci sebagai berikut:
1.      Memotong-motong tubuh Acanthaster planci atau memenggal tubuhnya menjadi paling sedikit 4 bagian. Hal ini perlu dilakukan karena jika tubuhnya dibagi menjadi 2 bagian maka masing-masing bagian akan dapat beregenerasi kembali menjadi individu baru yang utuh.
2.      Penyuntikan racun direkomendasikan dengan cara menyuntik Acanthaster planci dengan Cupri sulfat pekat dengan dosis antara 5-10 ml/ekor. Sodium bisulfat (asamkering), namun biaya yang dikeluarkan cukup mahal.


DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2001. Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Anwar, A. 2006. Tingkat Kematian Karang Keras (Scleractinia) Akibat Predator Bulu Seribu (Acanthaster planci) di Kepulauan Spermonde Makassar. Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Aziz, A. 1977. Bulu Seribu dari Pulau Pari. Oseana. 4 (1); 7-13j

_______1994.Pengaruh Salinitas Terhadap Sebaran Fauna Ekhinodermata. Oseana. 19(2); 23-32j

  _______1995. Beberapa Catatan tentang Kehadiran Bintang Laut Jenis Acanthasterplanci di Perairan Indonesia. Oseana. 20(2); 23-32j.
                                     
_______1996. Makanan dan Cara Makan Berbagai Jenis Bintang Laut.Oseana. 21(3); 13-22j.

_______1998. Beberapa Catatan tentang Daur Hidup Bintang Laut Pemakan Karang. Oseana.23(2); 11-17j.

Bachtiar, I. 2009. Bintang Laut Mahkota Duri (Acanthaster planci, Asteroidea). (http://mycoralreef.wordpress.com/2009/01/26/bintang-laut-mahkota-duri-acanthaster-planci-asteroidea/.Di akses Pada Tanggal 20 Maret 2014).

CRC, 2003. Crown-of-thorns starfish on the Great Barrier Reef. Australian Institute of Marine Science.

Dinas Perikanan dan Kelautan. 2011. Profil Desa Pesisir Kota Gorontalo Provinsi Gorontalo TA. 2011.

Dirjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Departemen Dalam Negeri. 2013. Profil Desa dan Kelurahan. TA. 2013.

Haerul, 2013. Analisis Keragaman dan Kondisi Terumbu Karang di Pulau Baranglompo Kabupaten Pangkep. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanudin. Makassar.

Hutabarat, S dan Evans, S.M. 1985. Pengantar Oseanografi. UI-Press. 140-141.

Hutauruk, E.L. 2009. Studi Keanekaragaman Echinodermata di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam. Skripsi. Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Ikhtiarto, S. 2011. Ekstraksi, Pemurnian dan Uji Aktivitas Anti Bakterial Racun Duri Acanthaster planci Perairan Maluku dan papua. Skripsi. Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik. Universitas Indonesia. Depok.

Kordi, K.M.G.H.  2010. Ekosistem Terumbu Karang. PT Rineka Cipta. Jakarta: 73-76.

Napitupulu, P., Tioho, H., dan Windarto, A. 2013. Struktur Populasi Acanthaster planci di Rataan Terumbu Bagian Selatan Pulau Bunaken. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis. 1(1). hal 34-36.

Nybakken. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia, Jakarta.

Rani, C., Arifin. D., dan Alfian. A. 2011. Status Ekologi Kepadatan Predator Karang Acanthaster Planci Linn: Kaitannya Dengan Kondisi Terumbu Karang di Perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi. Universitas Hasanudin. Makassar.

Rani, C., Syafiudin. Y., Florentina. DS. B. 2007. Preferensi dan Daya Predasi  Acanthaster Planci Terhadap Karang Keras. Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanudin. Makassar.

Romimohtarto, K. dan Juwana. 2004. Meroplankton Laut: Larva Hewan Laut yang Menjadi Plankton. Jakarta: Djambatan.

Sahputra. D. 2014. Analisis Populasi Acanthaster planci Di Perairan Teluk Tomini Kelurahan Leato Selatan Kota Gorontalo. Skripsi. Fakultas Ilmu-ilmu Pertanian. Universitas Negeri Gorontalo.

Suharsono. 1991. Bulu Seribu (Acanthaster planci). Oseana Vol. XVI, 3: 2-6. Jakarta.

Suryono, T., Sunanisari, S., Mulyana, E., dan Rosidah. 2010. Tingkat Kesuburan dan Pencemaran Danau Limboto, Gorontalo. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia.36(1): 49-61j

Thamrin, Setiawan, Y.J., dan Siregar, S.H. 2011. Analisis Kepadatan Bulu Babi Diadema Setosum Pada Kondisi Terumbu Karang Berbeda Di Desa Mapur Kepulauan Riau. Jurnal Ilmu Lingkungan. V:5 (1). Hal 46.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar