Music

Rabu, 25 Maret 2015

KONDISI TERUMBU KARANG



KONDISI TERUMBU KARANG DI INDONESIA
(publish: Djunaidi, 2015)
A. Ekosistem Terumbu Karang
            Ekosistem terumbu karang merupakan suatu kumpulan dari tumbuhan dan hewan yang saling bersimbiosis serta berada di daerah perairan laut dangkal. Kumpulan tersebut menghasilkan zat kapur yang diendapkan melalui proses ratusan tahun yang membentuk struktur terumbu karang. Komponen terpenting suatu terumbu karang adalah hewan yang termasuk ke dalam filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo Scleratina dan Scleraktinae (Kimbal, 1999 dalam Nababan, 2009).
http://www.lipi.go.id/intra/berita/1397716933.jpghttp://awsassets.wwf.or.id/img/original/terumbukarangbyhafizadyas.jpg







Gambar 1. Terumbu Karang (Sumber : LIPI, 2014).
Kata terumbu karang mengacu pada daerah dangkal di laut yang membentuk wilayah berbahaya untuk dilewati kapal laut. Meski hanya menempati 0,17% dari dasar samudera, terumbu karang merupakan tempat tinggal bagi 25% dari keseluruhan spesies laut. Terumbu karang yang dibentuk oleh aktivitas organisme dan tersusun oleh ribuan karang batu (stony coral) ini diperkirakan mulai terbentuk sekitar 500 juta tahun yang lalu sehingga kini menjadi ekosistem yang paling tua (Hardianto et al., 1998 dalam Syarifudin, 2011).
Bengen D. G, (2001), dalam membicarakan mengenai ekosistem terumbu karang ada beberapa istilah yang kedengarannya sama, namun maknanya berbeda. Ada empat  istilah yang berkaitan dengan kata karang, yaitu: terumbu karang, karang, batu karang dan karang batu. Terumbu karang adalah bangunan kapur besar yang dibentuk dan dihasilkan oleh binatang karang dan organisme berkapur lainnya, sehingga membentuk suatu ekosistem yang kompak sebagai habitat bagi biota-biota laut. Karang adalah suatu kelompok organisme dari filum Coelenterata, kelas Anthozoa, terutama dari ordo Scleractinia yang merupakan pembentuk karang batu dan karang lunak. Karang batu adalah karang hidup yang khusus berkapur, biasanya disebut juga sebagai karang hermatipik, sedangkan batu karang adalah karang yang sudah mati berupa batu kapur.
Terumbu karang meliputi wilayah yang luas (jutaan mil persegi) di daerah tropik. Terumbu karang merupakan keunikan di antara asosiasi atau komunitas lautan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis. Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh karang dengan sedikit tambahan dari alga barkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Meskipun karang ditemukan di seluruh lautan di dunia, baik di perairan kutub maupun perairan ugahari, seperti yang ada di daerah tropik, tetapi hanya di daerah tropik terumbu dapat berkembang (Syarifudin, 2011).
Ada dua kelompok karang, yang satu dinamakan hermatipik dan yang lain adalah ahermatipik. Karang hermatipik dapat menghasilkan terumbu sedangkan ahermatipik tidak. Karang ahermatipik tersebar di seluruh dunia, tetapi karang hermatipik hanya ditemukan di wilayah tropik. Perbedaan yang mencolok antara kedua karang ini adalah bahwa di dalam jaringan karang hermatipik terdapat sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis yang dinamakan zooxantella, sedang ahermatripik tidak (Nybakken, 1992 dalam Syarifudin, 2011).

B. Fungsi dan Manfaat Terumbu Karang
Terumbu karang mempunyai nilai dan arti yang penting baik dari segi sosial, ekonomi maupun budaya masyarakat Indonesia. Hampir sepertiga penduduk Indonesia yang tinggal di pesisir menggantungkan hidupnya dari perikanan laut dangkal. Mereka umumnya masih menggunakan cara-cara tradisional dan terbatas (Sudiono, 2008).
Terumbu karang mempuyai nilai penting sebagai pendukung dan penyedia bagi perikanan pantai termasuk didalamnya sebagai penyedia bahan dan tempat budidaya berbagai hasil laut. Terumbu karang juga berfungsi sebagai daerah rekreasi baik rekreasi pantai maupun rekreasi bawah laut. Terumbu karang juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana penelitian dan pendidikan serta sebagai tempat perlindungan biota-biota langka (Suharsono, 1993 dalam Djunaidi, 2014).
Manfaat yang terkandung di dalam ekosistem terumbu karang sangat besar dan beragam baik manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. Manfaat langsung antara lain sebagai habitat ikan dan biota lainnya, pariwisata bahari, dan lain-lain, sedangkan manfaat tidak langsung, antara lain sebagai penahan abrasi pantai dan pemecah gelombang. Terumbu karang adalah  salah satu ekosistem laut yang paling penting sebagai sumber makanan, habitat berbagai jenis biota komersial, menyokong industri pariwisata, menyediakan pasir untuk pantai, dan  sebagai penghalang terjangan ombak dan erosi pantai (Westmacott, et al., 2000 dalam Sudiono, 2008).
Menurut Nybakken (1992) dalam Djunaidi (2014), fungsi dan manfaat terumbu karang adalah sebagai berikut : 
  1. Terumbu karang merupakan sumber daya yang sangat tinggi; sebanyak 132 jenis ikan yang bernilai ekonomi di Indonesia dengan 32 jenis diantaranya hidup pada terumbu karang. Banyak ikan karang yang dapat dijadikan sebagai komoditi ekspor yang bernilai ekonomi tinggi. 
  2. Indahnya terumbu karang dapat dijadikan sebagai obyek wisata bawah air yang sangat menarik. Masyarakat dapat memanfaatkannya sebagai sumber ekonomi wilayah dengan mendirikan pusat penyelaman, restoran hingga penginapan. 
  3. Terumbu karang melindungi pantai dari abrasi dan erosi. Strukturnya yang keras dapat menahan gelombang dan arus sehingga dapat mencegah rusaknya dua ekosistem perairan dangkal lainnya, seperti lamun dan mangrove. 
  4. Terumbu karang dapat dipandang sebagai laboratorium alam penunjang penelitian dan pendidikan.
Moberg and Folke (1999) dalam Ahmad (2013) menyatakan bahwa fungsi ekosistem terumbu karang mengacu kepada habitat, biologis atau proses ekosistem sebagai penyumbang barang maupun jasa. Untuk barang adalah yang terkait dengan sumberdaya seperti bahan makanan yaitu ikan, rumput laut dan tambang seperti pasir, karang. Sedangkan untuk jasa dari ekosistem terumbu karang dibedakan :
1)      Jasa struktur fisik sebagai pelindung pantai
2)      Jasa biologi sebagai habitat dan mata rantai kehidupan
3)      Jasa biokimia sebagai fiksasi nitrogen
4)      Jasa informasi sebagai pencatatan iklim
5)      Jasa sosial dan budaya sebagai nilai keindahan, rekreasi dan permainan.
Terumbu karang menyediakan berbagai manfaat langsung maupun tidak langsung. Cesar (2000) dalam Ahmad (2013) menjelaskan bahwa ekosistem terumbu karang banyak menyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan karang, moluska dan krustasea bagi masyarakat yang hidup di kawasan pesisir. Selain itu bersama dengan ekosistem pesisir lainnya menyediakan makanan dan merupakan tempat berpijah bagi berbagai jenis biota laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.

C. Sebaran Terumbu Karang
Sebaran terumbu karang tidak hanya terbatas secara horizontal akan tetapi juga terbatas secara vertikal dengan faktor kedalaman serta struktur substrat dasar. Pertumbuhan, penutupan dan kecepatan tumbuh karang berkurang secara eksponensial dengan kedalaman. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi sebaran vertikal adalah intensitas cahaya, oksigen, suhu dan kecerahan air. Terumbu karang tersebar di laut dangkal di daerah tropis hingga suptropis yaitu diantara lintang 3500 Lintang Utara dan 3200 Lintang Selatan mengelilingi bumi. Garis lintang tersebut merupakan batas maksimum dimana karang masih dapat tumbuh. Karang pembentuk terumbu hanya dapat tumbuh dengan baik pada daerah-daerah tertentu seperti pulau-pulau yang sedikit mangalami proses sedimentasi atau di sebelah barat dari benua yang umumnya tidak terpengaruh oleh adanya arus dingin (Suharsono, 1998).
Sebaran karang yang tumbuh paling baik dan berkembang secara maksimum adalah di Pulau Sulawesi, Propinsi Maluku, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Di kawasan tersebut muara sungai relatif sedikit, struktur pantai dan substrat dasar berupa substrat yang keras dan pola arus yang mengalir sepanjang tahun. Karena adanya arus lintas Indonesia yang berasal dari Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia, pertumbuhan dan perkembangan karang yang berasal dari Samudra pasifik menuju Samudra Hindia, Pertumbuhan dan perkembangan karang sangat baik mulai dari kedalaman 2-30 m. Keanekaragaman jenis berkembang secara maksimum bahkan sekitar Sulawesi dianggap sebagai pusat keanekaragaman jenis dan pusat asal usul karang (Suharsono, 1998).

D. Tipe-tipe Terumbu Karang
Nybakken (1992) dalam Ahmad (2013), mengelompokkan terumbu karang menjadi tiga tipe umum yaitu :
a.    Terumbu karang tepi (fringing reef)
Berkembang di sepanjang pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40m. Terumbu karang ini tumbuh ke atas atau ke arah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat di bagian yang cukup arus. Sedangkan di antara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhan yang kurang baik bahkan banyak mati karena sering mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat.
b.    Terumbu karang tipe penghalang (Barrief reef)
Terletak di berbagai jarak kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40- 70 m). Umumnya memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar-putar seakan–akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar. Contohnya adalah The Great Barrier Reef yang berderet di sebelah timur laut Australia dengan panjang 1.350 mil.
c.    Terumbu karang cincin (atol) yang melingkari suatu goba (lagoon).
ImageKedalaman goba di dalam atol sekitar 45 m jarang sampai 100 m seperti terumbu karang penghalang. Contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi Selatan.






Gambar 2. Tipe-tipe terumbu karang, yaitu terumbu karang tepi (kiri), terumbu karang penghalang (tengah), dan terumbu karang cincin (kanan) (Sumber : Dedi, 2007).
Berbagai tipe terumbu mempunyai asal dan riwayat yang berbeda, tetapi perhatian dipusatkan pada asal terumbu cincin/atol. Beberapa teori telah berkembang mengenai asal atol, namun salah satu yang masih diterima hingga kini adalah teori penenggelaman (subsidence theory) sebagaimana pertama kali dikemukakan oleh Darwin, melalui pengalamannya mempelajari terumbu karang di beberapa kawasan selama 5 tahun berlayar di atas kapal Beagle. Teori penenggelaman Darwin secara skematik diuraikan dalam. Terumbu karang ditemukan di perairan dangkal daerah tropis, dengan suhu perairan rata-rata tahunan >180°C (Ahmad, 2013).
Terumbu karang tepi (fringing reef), yaitu terumbu karang yang terdapat di sepanjang pantai dan kedalamannya tidak lebih dari 40 meter. Terumbu ini tumbuh ke permukaan dan ke arah laut terbuka. Terumbu karang penghalang (Barrier Reef), yaitu berada jauh dari pantai yang dipisahkan oleh goba (lagoon) dengan kedalaman 40–70 meter. Umumnya terumbu karang ini memanjang menyusuri pantai. Atol (atolls), yang merupakan karang berbentuk melingkar seperti cincin yang muncul dari perairan yang dalam, jauh dari daratan dan melingkari gobah yang memiliki terumbu gobah atau terumbu petak. (Ahmad, 2013).

E. Faktor Pembatas Terumbu Karang
Ada beberapa faktor fisik yang mempengaruhi pembentukan terumbu karang. Pada tingkatan yang minimum pada faktor-faktor ini, biasanya karang tidak akan dapat tumbuh dengan baik. Faktor ini disebut faktor pembatas. Nybakken (1997) dalam Ahmad (2013), mencatat ada 6 (enam) faktor pembatas utama bagi terumbu karang: cahaya, suhu, kedalaman, salinitas, sedimentasi dan terakhir udara yang menyebabkan karang tidak dapat tumbuh ke atas. Karang akan mati jika terlalu lama di udara terbuka, sehingga pertumbuhan mereka ke atas terbatas hanya sampai tingkat pasang-surut terendah.
Menurut Ahmad (2013), beberapa faktor yang membatasi pertumbuhan karang adalah sebagai berikut:
a)      Cahaya
Cahaya adalah salah satu faktor yang cukup penting yang membatasi terumbu karang. Cahaya yang cukup harus tersedia agar fotosintesis oleh zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang dapat terlaksana. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan bersamaan dengan itu kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu akan berkurang pula. Titik kompensasi untuk karang nampaknya merupakan kedalaman dimana intensitas cahaya berkurang sampai 15–20% dari 8 intensitas di permukaan.
b)      Suhu
Pertumbuhan karang yang optimum terjadi pada perairan yang rata-rata suhu tahunannya berkisar 23-250C. Akan tetapi karang juga dapat mentolerir suhu pada kisaran 200C, sampai dengan 36-400C. Perkembangan terumbu yang paling optimal terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 23 – 250C. Terumbu karang umumnya dominan pada wilayah yang berada pada 25o lintang utara hingga 25o lintang selatan dimana suhu perairan umumnya konstan sepanjang tahun (Hoegh-Guldberg, 1999 dalam Ahmad, 2013). Nybakken (1997) dalam Ahmad (2013) menyatakan bahwa karang lebih suka pada suhu perairan rata-rata 23–25oC, namun Hoegh-Guldberg (1999) dalam Ahmad (2013), menemukan pula karang dapat hidup pada suhu 18–30oC.
c)      Kedalaman
Terumbu karang tidak dapat berkembang di perairan yang lebih dalam dari 50-70 m. Kebanyakan terumbu tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang. Yang menjadi alasan untuk pembatasan kedalaman berhubungan dengan kebutuhan karang hermatipik akan cahaya. Tidak ada spesies karang yang dapat ditemukan tumbuh dengan baik pada perairan dengan kedalaman lebih dari 70m, kebanyakan karang tumbuh baik pada perairan yang kedalamannya kurang dari 25 meter (Nybakken, 1997 dalam Ahmad, 2013).
d)     Salinitas perairan
Karang dapat hidup pada kisaran salinitas 32-35 0/00. Toleransi karang batu terhadap salinitas cukup tinggi yang dapat berkisar antara 27-400/00. Faktor lain yang membatasi perkembangan terumbu karang adalah salinitas. Karang hermatipik umumnya tidak dapat bertahan pada salinitas yang menyimpang dari 32 – 35‰ (Nybakken, 1997 dalam Ahmad, 2013).
e)      Arus
Pergerakan air (arus) diperlukan untuk tersedianya aliran yang membawa masukan makanan dan oksigen serta menghindarkan karang dari pengaruh sedimentasi. Menurut Bakosurtanal (2003) dalam Ahmad (2013), gerakan air, termasuk ombak, adalah faktor penting yang menentukan zonasi karang, morfologi karang, dan distribusi kedalaman terumbu karang, ganggang, dan fauna karang yang lain. Badai biasanya membentuk kendali tidak tetap dan terputus-putus dalam masa yang panjang terhadap struktur perkembangan komunitas karang dengan jalan memangkas habis dan atau mengganti substrat sehingga akan tumbuh koloni baru. Badai, ombak, dan arus adalah juga kekuatan-kekuatan yang menyebabkan sedimentasi dan transpor nutrien, yang akan membentuk garis pantai dengan jalan penumpukan dan erosi.
f)       Substrat
Pada umumnya larva karang mampu menempel pada berbagai tipe substrat keras, seperti berbagai jenis batu-batuan, skeleton karang yang telah mati, kerangka atau cangkang berbagai jenis hewan dasar laut baik yang bebas bergerak maupun yang hidup menetap. Tidak terkecuali untuk benda-benda keras yang mengapung di permukaan air bisa menjadi objek untuk tempat penempelan larva planula karang. Secara umum pasir halus atau substrat halus yang bergerak serta dasar perairan berlumpur tidak menjadi substrat target bagi planula karang dalam penempelan. Substrat termasuk faktor pembatas sangat penting bagi karang, karena dalam fase hidup karang hanya bebas bergerak dalam jumlah waktu terbatas terutama pada saat larva planula. Fase berikutnya memerlukan substrat untuk tempat menempel dan melekat secara permanen untuk selama hidupnya. Kecuali pada beberapa jenis karang dari kelompok Fungia yang setelah dewasa kembali melepaskan diri dari substrat tempat menempel dari saat larva planula menjelang dewasa (Thamrin, 2006 dalam Ahmad, 2013).
g)      Sedimentasi
Sedimentasi juga mempengaruhi pertumbuhan karang. Endapan yang berasal dari aktivitas sungai yang bermuara ke perairan mampu menutupi poripori karang sehingga menyumbat struktur pemberian makannya. Syarat utama bagi karang untuk tumbuh dan berkembang secara aktif adalah keberadaan cahaya. Jika karang tidak mendapat cahaya yang cukup (entah karena meningkatnya kekeruhan air atau meningkatnya pengendapan yang menghalangi cahaya masuk ke dalam kolom air), karang akan berhenti tumbuh atau dapat mati (Nybakken, 1997 dalam Ahmad, 2013).
Cahaya dibutuhkan dalam proses fotosintesis zooxanthellae dalam karang. Cahaya juga meningkatkan produksi oksigen, yang akan merangsang metabolisme karang untuk meningkatkan pengendapan kalsium karbonat dan juga pertumbuhan karang itu sendiri. Karang mensyaratkan kedalaman air dimana intensitas cahaya sedikitnya 1–2% dari intensitas yang ada di permukaan. Ketergantungan karang dengan cahaya juga membatasi kedalaman perairan dimana karang dapat ditemukan. Hal lain yang mengganggu adalah pembatasan intensitas cahaya yang masuk ke perairan akibat adanya sedimentasi maupun partikel-partikel terlarut yang mengganggu proses fotosintesis zooxanthellae (Nybakken 1997 dalam Ahmad, 2013).

F. Kondisi Terumbu Karang Indonesia
Karang dan terumbu karang merupakan komunitas yang sangat peka. Sedikit saja perubahan di lingkungan terumbu dapat menyebabkan pengaruh yang buruk terhadap kondisi kesehatan seluruh koloni karang. Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu karang ini bisa hidup lebih dari 300 jenis karang, yang terdiri dari sekitar 200 jenis ikan dan berpuluh-puluh jenis Molusca, Crustacean, Sponge, Alga, lamun dan biota lainnya (Dahuri, 2000).
Luas perairan terumbu karang di Indonesia diperkirakan sekitar 75.000 km2, namum demikian berdasarkan hasil pemantauan yang dilaporkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 1999 menyebutkan bahwa kondisi terumbu karang di Indonesia hanya 7 % dalam kondisi yang sangat baik, 33 % dalam kondisi baik, 46 % dalam kondisi rusak dan 15 % dalam kondisi kritis. Laporan dari COREMAP II tahun 2007 menunjukkan 43% terumbu karang dalam kondisi kritis, 28,8% dalam kondisi rusak, 22% dalam kondisi baik dan 6,2 % dalam kondisi yang sangat baik. Data-data tersebut sangat merupakan warning bagi kita semua dalam menyelamatkan sumberdaya hayati laut (COREMAP II, 2009).
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2011 menunjukkan 30,76% terumbu karang memiliki kondisi yang kurang baik atau rusak. Data yang dihimpun 1.076 lokasi pengamatan di Indonesia itu mengungkap hanya 5,58% karang yang kondisinya sangat baik; 26,95% baik dan 36,90% sisanya cukup baik (COREMAP II, 2012).
Berdasarkan hasil Penelitian Pusat Penelitian (Puslit) Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) hingga 2013 pada 1.135 stasiun menunjukkan bahwa sebesar 30,4% kondisi terumbu karang di Indonesia mengalami kerusakan atau kurang baik. Hanya sebesar 5,29% dalam kondisi sangat baik, 27,14% masih dalam kondisi baik dan 37,18% dalam kondisi cukup (LIPI, 2014).

G. Penyebab Kerusakan Terumbu Karang
Secara umum tingginya tutupan karang batu dan keragaman jenis merupakan petunjuk dari karang yang sehat. Kedua indikator ini sering digunakan dalam keperluan pemantauan berkala kondisi terumbu karang (Gomez dan Yap, 1984 dalam Sudiono, 2008).
Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang sangat rentan terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya termasuk gangguan yang berasal dari kegiatan manusia dan pemulihannya memerlukan waktu yang lama. Menurut Burke, et. all., (2002) dalam Sudiono (2008), bahwa Terdapat beberapa penyebab kerusakan terumbu karang yaitu :
1)        Pembangunan di wilayah pesisir yang tidak dikelola dengan baik;
2)        Aktivitas di laut antara lain dari kapal dan pelabuhan termasuk akibat langsung dari pelemparan jangkar kapal
3)        Penebangan hutan dan perubahan tata guna lahan yang menyebabkan peningkatan sedimentasi
4)        Penangkapan ikan secara berlebihan memberikan dampak terhadap keseimbangan yang harmonis di dalam ekosistem terumbu karang
5)        Penangkapan ikan dengan menggunakan racun dan bom
6)        Perubahan iklim global.
Ancaman manusia terhadap terumbu karang dapat dideteksi dengan cara melihat indikasi yang tampak dan kemungkinan penanganan yang dapat dilakukan. Ancaman terhadap ekosistem terumbu karang juga dapat disebabkan oleh karena adanya faktor alam. Ancaman oleh alam dapat berupa angin topan, badai tsunami, gempa bumi, pemangsaan oleh CoTs (crown-of-thorns starfish) dan pemanasan global yang menyebabkan pemutihan karang (Sukmara et.al, 2001 dalam Sudiono, 2008).
Menurut Burke, et. al., (2002) dalam Sudiono (2008), bahwa tanpa ikan-ikan dan hewan-hewan avertebrata laut, maka populasi karang akan digantikan oleh populasi alga yang mencegah penempelan dan pertumbuhan larva karang pada substrat. Penangkapan ikan dengan menggunakan racun dan pengeboman ikan merupakan praktek yang umum dilakukan, yang memberikan dampak sangat negatif bagi terumbu karang. Pengeboman ikan dengan dinamit atau dengan racikan bom lainnya, akan dapat menghancurkan struktur terumbu karang, dan membunuh banyak sekali ikan yang ada di sekelilingnya (Gambar 3).
Gambar 2. Beberapa bentuk eksploitasi yang sangat merusak (Sumber: Kasim, 2011).

Ancaman-ancaman ini sebagian besar merupakan hasil dari kenaikan penggunaan sumber-sumber pesisir oleh populasi pesisir yang berkembang secara cepat, ditunjang oleh kurangnya perencanaan dan pengelolaan yang tepat. Analisis ancaman-ancaman yang potensial bagi terumbu karang dari kegiatan manusia (pembangunan daerah pesisir, eksploitasi berlebihan dan praktek perikanan yang merusak, polusi darat dan erosi dan polusi laut) di tahun 1998 memperkirakan bahwa 27% dari terumbu berada ditingkat berisiko tinggi (mengalami kerusakan) dan 31% lainnya berada pada resiko sedang (Westmacott, et. al., 2000 dalam Sudion, 2008).

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad. 2013. Sebaran dan Keanekaragaman Ikan Target pada Kondisi dan Topografi terumbu Karang di Pulau Samatellulompo kabupaten Pangkep. Skripsi. Universitas Hasanudin Makasar.
Bengen, D.G. 2001. “Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut Serta Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu dan Berkelanjutan”. Jakarta
COREMAP II. 2009. MengenalPotensi Kawasan Konservasi Perairan (Laut) Daerah. Jakarta. Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP II) Direktoral Jendral Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
__________. 2012. Sepertiga Terumbu Karang di Indonesia Rusak. http://www.coremap.or.id/berita/article.php?id=1100.
Dahuri, R. 2000. “Pendayagunaan sumberdaya kelautan untuk kesejahteraan masyarakat”. LISPI. Jakarta.
Dedi. 2007. Ekosistem Terumbu Karang. http://web.ipb.ac.id/~dedi_s/index. php?option=com_content&task=view&id=20&Itemid=48. (Diakses 10 Maret 2015).
Djunaidi. S. 2014. Bentuk Pertumbuhan dan Kondisi Terumbu Karang di Perairan Teluk Tomini Kelurahan Leato Selatan Kota Gorontalo. Skripsi. Jurusan Teknologi Perikanan. Universitas Negeri Gorontalo. (Tidak dipublikasikan).
Kasim. F.  2011. Pelestarian Terumbu Karang untuk Pembangunan Kelautan Daerah Berkelanjutan. Makalah Penyuluhan Kemah Bhakti. Fakultas Pertanian. UNG. Gorontalo
Lalang., B. Sadarun., L.M.Y. Haya. (2012). Kelimpahan Drupella dan Kondisi Terumbu Karang di Perairan Pulau Mandike Selat Tiworo Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Jurnal Mina Laut Indonesia. Vol 01. ISSN: 2303-3959.
LIPI. 2014. Kondisi 30,4 Persen Terumbu Karrang Indonesia Rusak. http://www.lipi.go.id/www.cgi?berita&1397716933&&2014&&ina.
Muzaki, dkk., 2010. Kondisi Terumbu Karang di Perairan Bangka Provinsi Bangka Belitung. Jurnal Penelitian.
Nababan. T. 2009. Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nangroe Aceh Darusalam. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Sudiono, G. 2008. Analisis Pengelolaan Terumbu Karang pada Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pulau Randayan dan Sekitarnya Kabupaten Bengkayang Provinsi Kalimantan Barat. Tesis. Program Magister Ilmu Lingkungan. Universitas Diponegoro.
Suharsono, 1998. Distribusi, Metodologi dan Status Terumbu Karang di Indonesia. Konperensi Nasional I Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. PKSPL. IPB
Supriharyono, 2000. “Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang”, Djambatan,. Jakarta.
Syarifuddin.2011. Studi Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Karang Acropora Formosa(Veron & Terrence 1979) Menggunakan Teknologi Biorock di Pulau Barrang Lompo Kota Makassar. Skripsi.Universitas Hasanudin Makasar.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar