PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM, SUMBERDAYA BUATAN
DAN JASA LINGKUNGAN SERTA SOSIAL EKONOMI DAN KEBUDAYAAN
DI DESA OLELE KECAMATAN KABILA BONE
KABUPATEN BONE BOLANGO
PROVINSI GORONTALO
OLEH
SANDRIANTO DJUNAIDI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Indonesia terletak sangat strategis
,yaitu di daerah tropis, diapit oleh dua benua (Asia dan Australia) dan dua
samudera (Hindia dan Pasifik). Letak yang strategis ini menjadikan Indonesia
sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam khususnya pesisir. Wisata
bahari, budi daya tambak, pertambangan dan pemukiman adalah beberapa contoh
potensi ekonomi yang bernilai tinggi. Tak heran apabila daerah pesisir menjadi
daya tarik bagi seluruh pihak untuk mengelola dan memanfaatkannya dari segi
ekonomi maupun politikya. Delinom (2007:2)
Daerah pesisir adalah jalur tanah
darat/kering yang berdampingan dengan laut, dimana lingkungan dan tata guna
lahan mempengaruhi secara langsung lingkungan ruang bagian laut, dan
sebaliknya. Daerah pesisir adalah jalur yang membatasi daratan dengan laut atau
danau dengan lebar bervariasi.
Daerah ini selalu berkembang dengan
pesatnya pembangunan yang dilakukan berbagai pihak. Pihak-pihak tersebut secara
tidak langsung mengakibatkan kerusakan lingkungan karena aktivitas yang
dilakukan di darat maupun di laut. Hal ini menjadikan ekosistem pesisir sebagai
ekosistem yang rentan terhadap kerusakan dan perusakan baik alami maupun
buatan. Penanggulangan atas permasalahan tersebut secara bijak dan tepat dapat
mengurangi maupun mencegah kerusakan yang terjadi. Makalah ini menyajikan
permasalahan pesisir yang diakibat oleh faktor alam maupun manusia beserta
penanggulangannya yang tepat atas permasalahan yang dihadapi.
Wilayah pesisir yang merupakan sumber daya potensial di Indonesia adalah
suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumber daya
ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai sepajang sekitar 81.000
km (Dahuri et al. 2001). Garis pantai yang panjang ini menyimpan potensi
kekayaan sumber alam yang besar. Potensi itu diantaranya potensi hayati dan non
hayati. Potensi hayati misalnya: perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang,
sedangkan potensi nonhayati misalnya: mineral dan bahan tambang serta
pariwisata. Di daerah ini juga berdiam
para nelayan yang sebagian besar masih prasejahtera. Keadaan pantai di
Indonesia sangat bervariasi, yaitu mulai dari pantai pasir putih-berbatu,
landai-terjal, bervegetasi-berlumpur, teduh, bergelombang yang semua ini sangat
cocok dengan berbagai peruntukannya, seperti perikanan pantai, budidaya
perikanan, industri perhotelan, turisme, dan lain-lain.
1.2
Tujuan Praktikum
Tujuan dilaksanakanya praktikum lapangan ini adalah :
1)
Untuk
mengetahui pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu di kawasan
pesisir Olele oleh pemerintah setempat.
2)
Untuk
mengetahui potensi-potensi sumber daya alam di Olele yang dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan
3)
Untuk
mengetahui sosial ekonomi dan pendapat masyarakat mengenai potensi wisata Olele.
1.3
Manfaat Praktikum
Mahasiswa
mendapatkan informasi mengenai
pengolaan, pembangunan dan kondisi
wilayah pesisir yang berada di Desa
Olele dan mahasiswa dapat memberikan
informasi mengenai sistem pengolahan yang didapat di Dea Olele kepada
rekan-rekan sesama mahasiswa dan juga masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Potensi
Sumberdaya Perikanan Laut di Indonesia
Potensi sumberdaya
perikanan laut di Indonesia terdiri dari sumberdaya perikanan pelagis besar
(451.830 ton/tahun) dan pelagis kecil (2.423.000 ton/tahun), sumber daya
perikanan demersal 3.163.630 ton/tahun, udang (100.720 ton/tahun), ikan karang
(80.082 ton/tahun) dan cumi-cumi 328.960 ton/tahun. Dengan demikian secara
nasional potensi lestari perikanan laut sebesar 6,7 juta ton/tahun dengan
tingkat pemanfaatan mencapai 48% (Dirjen Perikanan 1995). Data pada tahun 1998
menunjukkan bahwa produksi ikan laut adalah 3.616.140 ton dan hal ini
menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan potensi laut baru mencapai 57,0% (Ditjen Perikanan
1999 dalam Susilo 2001). Pada tahun 2004, dilaporkan potensi sumberdaya ikan
laut diperairan Indonesia 6,26 juta ton per tahun yang terdiri dan potensi di
perairan wilayah Indonesia sekitar 4,40 juta ton pertahun dan perairan ZEEI
sekitar 1,86 juta ton pertahun (Ditjen Perikanan Tangkap-DKP dan PKSPL-IPB,
2004). Potensi tersebut tersebar di sembilan wilayah pengelolaan perikanan
(WPP) Indonesia, yaitu : Selat Malaka, Laut Natuna, Laut Cina Selatan, Laut
Jawa, Selat Sunda, Laut Flores, Selat Makasar, Laut Banda, Laut Malaka, Teluk
Tomini, Laut Seram, Laut Sulawesi, Samudera Pasifik, Laut Araftira dan Samudera
Hindia. Sedangkan potensi lahan pertambakan diperkirakan seluas 866.550 Ha dan
baru dimanfaatkan seluas 344.759 Ha (39,78%) bahkan bisa lebih tinggi lagi.
Dengan demikian masih terbuka peluang untuk peningkatan produksi dan
produktivitas lahan. Keterlibatan masyarakat dalam meningkatkan produksi perlu
diatur sehingga bisa mendatangkan keuntungan bagi semua pihak dan pengelolaan
yang bersifat ramah lingkungan dan
lestari. (Dirjen Perikanan 1995).
Pada usaha
penangkapan ikan, perlu adanya peningkatan keterampilan bagi masyarakat dengan
menggunakan teknologi baru yang efisien. Hal ini untuk mengantisipasi
persaingan penangkapan oleh negara lain yang sering masuk ke perairan Indonesia
dengan teknologi lebih maju. Usaha ini melibatkan semua pihak mulai dari
masyarakat nelayan, pengusaha dan pemerintah serta pihak terkait lainnya. Hal
lain yang perlu dilakukan adalah memberi pengertian pada masyarakat nelayan
tentang bahaya penangkapan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan
peledak atau penggunaan racun. Pada bidang
pertambakan, disamping dilakukan secara ekstensifikasi, usaha peningkatan hasil
pertambakan dalam bentuk intensifikasi. Hal ini jika dihubungkan dengan
pengelolaan tambak di Indonesia pada umumnya masih tradisional. Dengan hasil
produksi pertambakan Indonesia tahun 1998 berjumlah 585.900 ton yang merupakan
nilai lebih dari 50% hasil kegiatan budidaya perikanan (Susilo 1999 dalam
Ditjen Perikanan 1999). Keterlibatan masyarakat dalam bentuk pertambakan inti
rakyat dimana perusahaan sebagai intinya dan masyarakat petambak sebagai plasma
merupakan suatu konsep yang baik meskipun kadangkala dalam pelaksanaannya
banyak mengalami kendala. Hubungan lainnya seperti kemitraan antara masyarakat
petambak dengan pengusaha penyedia sarana produksi juga adalah salah satu model
kemitraan yang perlu dikembangkan dan disempurnakan dimasa yang akan datang.
2.2 Permasalahan Pembangunan
Wilayah Pesisir
Ada beberapa masalah
yang terjadi dalam pembangunan wilayah pesisir dan lautan di Indonesia antara
lain adalah pencemaran, degradasi habitat, over-eksploitasi sumber daya alam,
abrasi pantai, konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya,
dan bencana alam.
a. Pencemaran
Pencemaran laut
adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga
kualitasnya menurun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut
tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau
fungsinya (DKP RI, 2002).
Masalah pencemaran
ini disebabkan karena aktivitas manusia seperti pembukaan lahan untuk
pertanian, pengembangan kota dan industri, penebangan kayu dan penambangan di
Daerah Aliran Sungai (DAS). Pembukaan lahan atas sebagai bagian dari kegiatan
pertanian telah meningkatkan limbah pertanian baik padat maupun cair yang masuk
ke perairan pesisir dan laut melalui aliran sungai.
Pengembangan kota dan industri merupakan sumber bahan sedimen dan pencemaran perairan pesisir dan laut. Pesatnya perkembangan pemukiman dan kota telah meningkatkan jumlah sampah baik padat maupun cair yang merupakan sumber pencemaran pesisir dan laut yang sulit dikontrol. Sektor industri dan pertambangan yang menghasilkan limbah kimia (berupa sianida, timah, nikel, khrom, dan lain-lain) yang dibuang dalam jumlah besar ke aliran sungai sangat potensial mencemari perairan pesisir dan laut, terlebih bahan sianida yang terkenal dengan racun yang sangat berbahaya.
Pengembangan kota dan industri merupakan sumber bahan sedimen dan pencemaran perairan pesisir dan laut. Pesatnya perkembangan pemukiman dan kota telah meningkatkan jumlah sampah baik padat maupun cair yang merupakan sumber pencemaran pesisir dan laut yang sulit dikontrol. Sektor industri dan pertambangan yang menghasilkan limbah kimia (berupa sianida, timah, nikel, khrom, dan lain-lain) yang dibuang dalam jumlah besar ke aliran sungai sangat potensial mencemari perairan pesisir dan laut, terlebih bahan sianida yang terkenal dengan racun yang sangat berbahaya.
b. Kerusakan Fisik Habitat dari Organisme
Kerusakan fisik
habitat wilayah pesisir dan lautan telah mengakibatkan penurunan kualitas
ekosistem. Hal ini terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang, dan rumput
laut atau padang lamun. Kebanyakan rusaknya habitat di daerah pesisir adalah akibat
aktivitas manusia seperti konversi hutan mangrove untuk kepentingan pemukiman,
pembangunan infrastruktur, dan perikanan tambak mengakibatkan rusaknya habitat
bagi organisme yang berasosiasi dengan wilayah tersebut seperti ikan, kepiting,
dan lain-lain. Indonesia memiliki cadangan hutan mangrove tropis terluas di
dunia dengan luas sekitar 3,8 juta ha atau sekitar 30 – 40 % dari jumlah
seluruh hutan mangrove dunia Hutan mangrove di Indonesia terpusat di Irian Jaya
dan Maluku (71%), Sumatra (16 %), Kalimantan (9 %) dan Sulawesi ( 2,5 %). Namun
akibat dari aktivitas manusia, pada tahun 1970 – 1980, luas hutan mangrove
Indonesia berkurang sekitar 700.000 ha untuk penggunaan lahan lainnya (Nugroho dkk 2001).
Ekosistem lainnya
yang mengalami kerusakan cukup parah di Indonesia adalah ekosistem terumbu
karang. Dari berbagai hasil penelitian menggambarkan bahwa dari 24 lokasi
terumbu karang yang ada di Indoneisia, 60 % berada dalam kondisi sangat baik,
22 % baik, 33,5 % sedang dan 39 % dalam keadaan rusak (Suharsono dan Sukarno,
1992 dalam Dahuri dkk 2001). Menurut Kantor Menteri Lingkungan Hidup (1993)
bahwa 14 % ekosistem terumbu karang di Indonesia sudah mencapai tingkat
mengkhawatirkan, 46 % telah mengalami kerusakan, 33 % dalam keadaan baik, dan 7
% dalam keadaan sangat baik. (Nugroho dkk
2001).
2.3 Konsep Pengelolaan Wilayah
Pesisir Secara Terpadu
Berdasarkan pendekatan perencanaan
pengelolaan, konsep pengelolaan pesisir dan lautan dapat dikategorikan atas dua jenis, yaitu konsep pengelolaan
secara sektoral dan konsep pengelolaan secara terpadu (ICM = integrated
coastal management). Pengelolaan
wilayah pesisir secara sektoral pada dasarnya berkaitan hanya dengan satu jenis
sumberdaya atau ekosistem untuk memenuhi tujuan tertentu (sektoral), seperti
perikanan (tangkap dan budidaya), pariwisata, pertambangan , industri,
pemukiman, perhubungan, pertanian pantai, pelabuhan dan sebagainya. Pada pengelolaan wilayah pesisir semacam ini,
aspek “cross sectoral” atau “cross regional” impects seringkali
terabaikan. Akibatnya, model pengelolaan
sektoral ini menimbulkan berbagai dampak
yang dapat merusak lingkungan dan juga akan mematikan sektor lain. Fenomena Pantai Utara Jawa merupakan salah
satu contoh dari perencanaan pengelolaan
pesisir secara sektoral, dimana sector industri mematikan sektor
budidaya apabila penanganan dan pengelolaan limbah industri tidak dilakukan
secara tepat dan benar. (O’Riordan, T. and Vellinga, P. 1993).
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
pesisir dan lautan dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive
assessment), merupakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta
mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang
optimal dan berkelanjutan. Perencanaan
dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek
social-ekonomi-budaya dan aspirasi
masyarakat pengguna wilayah pesisir (stakeholders), daya dukung
lingkungan pesisir, serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada.
(O’Riordan, T. and Vellinga, P. 1993).
Menurut Cicin-Sain (1993) dimensin keterpaduan
dalam ICM meliputi lima aspek, yaitu (1) keterpaduan sector, yaitu antara
berbagai sector pembangunan di wilayah pesisir, seperti perikanan (yangkap dan
budidaya), pariwisata, pertambangan migas, perhubungan dan pelabuhan,
pemukiman, pertanian pantai, dll; (2) keterpadua wilayah/ekologis, yaitu antara
daratan dan perairan (laut) yang masuk dalam suatu system ekologis, (3)
keterpaduan stakeholder dan tingkat pemerintah, yaitu dengan melibatkan
seluruh komponen stakeholder yang terdapat di wilayah pesisir dan juga adanya
keterpaduan antara pemerintah pada berbagai level, seperti pusat, propinsi dan
kabupaten; (4) keterpaduan antara berbagai disiplin ilmu, yaitu dengan
melibatkan seluruh disiplin ilmu yang terkait dengan pesisir dan lautan,
seperti ilmu social budaya; fisika, biolagi, keteknikan, ekologi, hokum dan
kelembagaan, dan lain0lain; dan (5) keterpaduan antar negara, yaitu adanya
kerjasama dan koordinasi antar negara dalam mengelola sumberdaya pesisir,
terutama yang menyangkut kepentingan seluruh manusia.
Konsep-konsep pengelolaan wilayah pesisir
seperti diuraikan di atas, pada dasarnya telah dimulai sejak tahun 1950-an
(O’Riordan dan Vellinga, 1993) yang secara dinamis mengalami
perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan waktu.
Pengeloaan wilayah
pesisir merupakan sebua siklus dari tahapan yang dilalui, mulai dari
identifikasi isu sampai pada monitoring dan evaluasi. Proses logis pengelolaan wilayah pesisir
secara terpadu, atau perkembangan dari sutu kebijakan atau proyek dapat digambarkan
sebagai suatu lingkaran seperti pada gambar 3, yang terdiri atas 5 (lima)
tahapan, yaitu (1) identifikasi dan analisis terhadap isu-isu local wilayah
pesisir, (2) penetapan tujuan dan persiapan rencana kebijakan dan
program-program aksi, (3) formalisasi melalui jalur hukum, peraturan, kerjasama
antar institusi dan mengalokasikan dana untuk pelaksanaannya, (4) implementasi
dari rencana/program tersebut, dan (5) monitoring dan evaluasi. (O’Riordan, T. and Vellinga, P. 1993).
Siklus kebijakan
menempatkan banyak kegiatan dari suatu program dalam satu sekuen yang logis dan
membantu untuk menguraikan keterkaitan yang rumit dari unsure-unsur yang
terdapat dalam pengelolaan wilayah pesisir.
Pengalaman menunjukan bahwa beberapa hal yang harus dilaksanakan pada
saat yang tepat agar program pengelolaan wilayah pesisir dapat dengan sukses
bergerak terus menuju tujuan jangka panjangnya.
Dalam konteks tersebut “siklus kebijakan” ini dapat dianggap sebagai
peta atau alat bantu navigasi dalam menelusuri proses yang kompleks, dinamis
dan bersifat adaptif. (O’Riordan, T. and Vellinga, P. 1993).
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1
Waktu dan Tempat
Adapun waktu dan
tempat pelaksanaan praktikum konservasi sumberdaya perairan pada hari Sabtu 24
November 2012, Pukul 10.45 WITA sampai selesai, di Desa Olele, Kecamatan Kabila
Bone, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo.
3.2
Alat dan Bahan
a.
Alat
Adapun alat yang
digunakan pada praktikum adalah :
· ATM
(alat tulis menulis)
· Camera
b. Bahan
Adapun bahan
yang digunakan pada praktikum adalah :
·
Lembar Kousioner
3.3
Metode Praktikum
Metode yang
dilakukan dalam pelaksanaan praktikum manajemen pesisir dan laut adalah metode
pengambilan data sekunder atau observasi
dengan membuat daftar pertanyaan sesuai dengan informasi yang akan dicari di
lokasi/ kawasan, dengan berdasarkan parameter serta kriteria yang harus
dimiliki oleh kawasan tersebut selanjutnya memilih responden atau narasumber
untuk diajukan pertanyaan berupa wawancara tentang adanya pengelolaan wilayah
pesisir dan laut daerah di Desa Olele. Pertanyaan yang diajukan berupa keterangan
responden, parameter pemanfaatan sumberdaya alam (SDA), sumberdaya buatan
(SDB), jasa lingkungan, sarana sosial dan ekonomi, infrastruktur, serta
pengelolaan wilayah pesisir tersebut.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil
Tabel 1. Keterangan Responden
I. KETERANGAN
RESPONDEN
|
||
1
|
Nama Responden
|
Alex
Arsyad
|
2
|
Umur Responden
|
47 Tahun
|
3
|
Etnis
|
Gorontalo
|
4
|
Agama
|
Islam
|
5
|
Jenis Kelamin
|
Laki – laki
|
6
|
Status Perkawinan
|
Kawin
|
7
|
Pendidikan tertinggi
|
SD
|
8
|
Hubungan dengan kepala rumah tangga
|
Kepala
Keluarga
|
9
|
Jumlah Anggota rumah
tangga
|
5 orang
|
10
|
Anggota rumah tangga yang bekerja dan jenis
pekerjaannya
|
Istri dan
Suami
|
11
|
Kedudukan responden dalam
masyarakat
|
Anggota Masyarakat
|
Tabel 2.
Sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan
jasa lingkungan
No
|
Variable
|
Batas Nilai
|
Keterangan
|
1
|
Mangrove
|
-
|
Tidak ada
|
2
|
Karang
|
Kondisi
terumbu karang di Olele masih bervariasi dan terjaga ekosistemnya, lokasinya hampir seluruh laut Olele terumbu
karangnya.
|
Baik
|
3
|
Lamun
|
-
|
Tidak ada
|
4
|
Hasil perikanan
|
-
Pada saat
melimpah pada bulan maret hingga agustus dan jenis ikan yang ditemui yaitu
ikan Tuna.
|
Baik
|
5
|
Wisata Pantai/Laut
|
Terdapat
keindahan bawah laut yang indah.
|
Baik
|
6
|
Sawah
|
Diareal pesisir tidak terdapat sawah.
|
Tidak Ada
|
Tabel 3. Sosial, Ekonomi
dan Kebudayaan
|
|||
No
|
Variabel
|
Batas Nilai
|
Keterangan
|
1
|
Sarana
Ibadah
|
Masjid
|
Ada
|
2
|
Sekolah
|
SD dan SMP
|
Ada
|
3
|
Sarana kesehatan
|
Tersedia tapi dalam jumlah yang tidak mencukupi
|
Sedang
|
4
|
Kesehatan
|
Pusat Kesehatan Pembantu (PUSTU)
|
Ada
|
5
|
Perdagangan
|
Di desa olele terjadi jual beli hanya
antar sesama warga pesisir namun tidan ada pasar.
|
Baik
|
6.
|
Usaha mikro,
kecil, usaha menengah dan koperasi.
|
Memiliki
usaha peminjaman alat selam, sewa perahu dan koperasi simpan pinjam bagi
nelayan yang membutuhkan.
|
Baik
|
Tabel 4.
Infrastruktur
No
|
Variabel
|
Batas Nilai
|
Keterangan
|
1
|
Jalan
|
-
Jalan masih biasa, belum ada perbaikan
-
Ada pengerasan dari bebatuan
-
Di aspal biasa untuk jalannya
|
Kurang Baik
|
2
|
Dermaga
|
Tidak adanya
dermaga karena kawasan perairan merupakan KKLD
|
-
|
3
|
Listrik
|
Listrik langsung dari PLN
|
Baik
|
4
|
Fasilitas/sarana wisata
|
Terdapat
beberapa bangunan rumah dan sekolah serta sarana wisata berupa peminjaman
perahu kaca dan alat diving
|
Baik
|
4.2 Pembahasan
Jumlah
penduduk masyarakat Olele sebanyak 1025 jiwa dengan Kepala Keluarganya sekitar 300 KK. Pekerjaan yang digeluti Masyarakat kebanyakan
sebagai nelayan sekitar 80% sedangkan Non-Nelayan sekitar 20 %. Tingkat
pendidikan masyarakat di Desa Olele SD
± 50 %,
SMP
± 20%,
SMA
± 20 %
dan Perguruan Tinggi
± 10 %.
4.2.1 Kondisi Nelayan
Dari
hasil wawancara dengan pak Alex Arsyad yang berprofesi sebagai nelayan, saya
melihat kondisi nelayan di Olele hingga
saat ini masih belum sejahtera. Hal ini semakin diperparah dalam
memenuhi kebutuhan hidup para nelayan dan pedagang di Olele yang sudah cukup
hanya menangkap ikan dan berjualan. Padahal seperti yang diketahui hasil ikan
tidak menentu tergantung cuaca. Kondisi nelayan sangat berbanding terbalik
dengan kekayaan sumber daya alam negeri kita. Sangat ironis sekali dengan
potensi yang begitu besar, saat ini masih banyak penduduk desa pantai yang
memiliki taraf hidup tergolong rendah. Kemampuan nelayan untuk memenuhi
kebutuhan dasar minimal kehidupan sehari-hari sangat terbatas. Bagi masyarakat
nelayan, diantara beberapa kebutuhan pokok kehidupan, kebutuhan yang paling
penting adalah pangan.
Beberapa
Faktor – Faktor yang mempengaruhi kemiskinan Nelayan di Desa Olele adalah:
a) Ketersediaan
Sumber daya ikan
Ketersedian sumber daya perikanan di Indramayu
ini tidak dibarengi dengan
Teknologi yang baik, dan modern.
b) Keterbatasan
Modal
Nelayan dalam
memproduksi ikan memerlukan input produksi atau faktor Produksi. Adapun wujud
dari input produksi berupa modal (Uang),
alat tangkap dan peralatan melaut lainnya seperti kapal/perahu.
Kebanyakan nelayan di Indonesia modal menjadi persoalan yang sangat serius hal
ini dikarenakan nelayan memiliki keterbatasan modal. Nelayan masih mengandalkan
modal dari juragan sehingga hasil produksinya tidak bisa dinikmati secara total
oleh nelayan yang bersangkutan. Belum
lagi diperparah oleh posisi nelayan yang 80% masih sebagai buruh tangkap
sehingga menyebabkan hasil (pendapatan) nelayan menjadi rendah.
c) Rendahnya
Tingkat Kependidikan
Satu aspek yang juga
menjadi akar kemiskinan nelayan adalah rendahnya tingkat pendidikan. Dengan demikian, keterbatasan tingkat
pendidikan juga berdampak pada pemahaman proses penangkapan dan pemanfaatan
hasil tangkapan.
d) Lemahnya
Lembaga Kelautan
Keberadaan suatu
kelembagaan sangat bermanfaat bagi nelayan agar dapat membantu pelaksanaan
program pemerintah. Bentuk kelembagaan itu sendiri antara lain koperasi unit
desa Mina bahari, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HSNI) dan beberapa
kelompok nelayan lainnya. Namun pada kenyataannya, Selama ini keberadaan
kelembagaan nelayan belum sepenuhnya berjalan secara baik dan belum mampu
menjadi wakil dari nelayan.
Keberhasilan
dari suatu program di daerah bukan hanya karena kemampuan pejabat daerahnya
namun juga karena masyarakatnya yang mau bersama-sama untuk membangun daerah
tersebut. Karena itu diperlukan suatu koordinasi yang baik antara pejabat
pemerintahan dan masyarakat agar program tersebut berjalan dengan baik. Hingga
saat ini koordinasi antar Dinas Perikanan dan Kelautan dengan masyarakat
pesisir berjalan cukup baik.
4.2.2 Sumber daya Alam,
Buatan dan jasa Lingkungan
Desa Olele memiliki sumber daya
alamnya seperti terumbu karang yang indah. Keadaan terumbu karang terlihat
bagus karena terlihat keindahan ekosistem terumbu karang yang ada. Pemanfaatan
terumbu karang ditinjau dari fungsi ekologisnya, terumbu karang yang sangat
penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan dan menyumbangkan stabilitas
fisik, yaitu mampu menahan hembusan gelombang yang kuat sehingga dapat
melindungi pantai dari abrasi. Sedangkan dari segi sosial ekonominya, terumbu
karang adalah sumber perikanan yang produktif sehingga dapat meningkatkan
pendapatan nelayan, penduduk pesisir, dan devisa Negara yang berasal dari
devisa perikanan dan pariwisata.
Manajemen yang baik memerlukan data
dan informasi tentang potensi sumberdaya terumbu karang dan lebih khusus
kegiatan perikanan tangkap, serta khususnya bagi pengembangan perikanan secara
berkelanjutan. Keberlanjutan dalam konteks pembangunan perikanan adalah kunci yang
diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan masyarakat perikanan itu
sendiri. Sumberdaya perikanan dikategorikan sebagai sumberdaya dapat pulih,
namun jika dalam pemanfaatnnya tidak dikelola dengan baik akan berdampak
negatif terhadap keberlanjutan pembangunan perikanan itu sendiri.
4.2.3 Sarana Sosial dan
Ekonomi
Untuk kesehatan masyarakat dari
segi kebersihannya, daerah pesisir terlihat banyak kotoran ternak dan sampah.
Kebiasaan masyarakat yang membuang sampah di selokan, ketika curah hujan tinggi
otomatis mengakibatkan sampah yang berada di selokan terbawa arus dan mengotori
wilayah pesisir. Di sini terlihat bahwa masih kurangnya kesadaran masyarakat
terhadap lingkungan di sekitar wilayah pesisir. Dari segi kesehatannya juga
yang kami wawancarai, warga pesisir pada umumnya mengalami sakit sendi
(Reumatik), meriang (kedinginan saat melaut), dan asam urat. Beberapa penyakit
ini sering kali menyerang masyarakat pesisir yang kebanyakan di alami oleh
nelayan itu sendiri. Namun tempat kesehatan yang ada di Desa Olele tidak
sesuai, artinya perlengkapan alatnya kurang memadai.
Nilai-nilai agama Masyarakat
pesisir Olele punya tradisi untuk memperingati 10 Muharam. Tradisi tersebut
berlangsung dengan melakukan ritual doa di pantai dan membuang kue ke pantai.
Warga Olele menganggap bahwa hal tersebut dapat menolak bala.
Dari segi infrastrukturnya,
pengadaan listriknya sudah bagus dari segi penerangan sudah mencukupi
kebutuhan, kemudahan untuk akses menuju Desa
Olele mudah di jangkau baik jalur laut maupun darat serta sarana
wisatanya cukup di bilang bagus.
Selanjutnya, dari kelembagaannya Konsentrasi
pembangunan kehidupan manusia dan berbagai pembangunan di wilayah tersebut
disebabkan oleh tiga alasan ekonomi yang kuat, yaitu bahwa wilayah pesisir
merupakan kawasan yang produktif di bumi, wilayah pesisir menyediakan kemudahan
bagi berbagai kegiatan serta wilayah pesisir memiliki pesona yang menarik bagi
obyek pariwisata. Hal-hal tersebut menyebabkan kawasan pesisir mengalami
tekanan ekologis yang parah dan kompleks sehingga menjadi rusak.
BAB V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa:
1) Wilayah
pesisir Olele merupakan salah satu daerah pantai di Kabupaten Bone Bolango
sebagai daerah yang mempunyai sumberdaya
alam dan jalur infrastruktur transportasi.
2) Wilayah
pesisir Olele telah mendapatkan hasil dari pengelolaan pesisir yakni pendapatan daerah yang selalu meningkat
akibat dari kegiatan penangkapan ikan yang menjadi sektor unggulan dari
pengelolaan wilyah pesisir terpadu.
3) Peran
pemerintah untuk menanggulangi segala permasalahan di wilayah pesisir Olele seperti mengadakan sosialisasi
kepada masyarakat pesisir, pengadaan
patroli disetiap pulau, bekerjasama dengan
masyarakat yang disebut tim penwas, memfasilitasi alat tangkap ramah
lingkungan kepada para nelayan.
4) Dalam
mengatasi masalah wilayah pesisir diperlukan juga pendekatan terhadap masyarakat dimana sangat penting
untuk mengontrol perkembangan pantai/pesisir.
Perlunya integritas dari intansi pemerintah Olele lainnya agar
pengelolaan pesisir ini menjadi keterpaduan yang bisa dikelola oleh pejabat
setempat dan menjadi primadona masyarakat Olele.
5.2
Saran
Diharapakan kepada kita semua untuk lebih menjaga
laut dan memanfaatkan hasil laut dengan tidak serakah. Memanfaatkan laut
sebagai mana mestinya akan memberikan dampak positif dan berguna bagi masa
depan anak cucu kita nanti.
DAFTAR PUSTAKA
Balitbang
Provinsi Jawa Tengah. 2010. Penelitian
dan Pengembangan Model Pemberdayaan Terhadap Keluarga Nelayan.
Bengen, D.G. 2000. Pengenalan dan
Pengelolaan Ekosistem dan Sumber daya Pesisir (Prosiding Pelatihan Untuk
Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, Bogor 13-18 November 2000. Pusat
Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan IPB).
Dahuri,
R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta
Dahuri, R. et al. 1998.
“Penyusunan Konsep Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan yang Berakar dari
Masyarakat” Kerjasama Ditjen Bangda dengan Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan
Lautan, IPB. Laporan Akhir.
Direktorat
Jenderal Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil, DepartemenKelautan dan Perikanan,
2003. Pedoman Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah, Jakarta
Nikijuluw,
Victor P.H. 2010. Populasi dan Sosial
Ekonomi Masyarakat Pesisir serta Strategi
Pemberdayaan Mereka Dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Secara Terpadu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar