Music

Rabu, 01 April 2015

Laporan Praktikum Pesisir dan Laut


PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM, SUMBERDAYA BUATAN DAN JASA LINGKUNGAN SERTA SOSIAL EKONOMI DAN KEBUDAYAAN
DI DESA OLELE KECAMATAN KABILA BONE
KABUPATEN BONE BOLANGO PROVINSI GORONTALO

OLEH
SANDRIANTO DJUNAIDI



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Indonesia terletak sangat strategis ,yaitu di daerah tropis, diapit oleh dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Hindia dan Pasifik). Letak yang strategis ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam khususnya pesisir. Wisata bahari, budi daya tambak, pertambangan dan pemukiman adalah beberapa contoh potensi ekonomi yang bernilai tinggi. Tak heran apabila daerah pesisir menjadi daya tarik bagi seluruh pihak untuk mengelola dan memanfaatkannya dari segi ekonomi maupun politikya. Delinom (2007:2)
Daerah pesisir adalah jalur tanah darat/kering yang berdampingan dengan laut, dimana lingkungan dan tata guna lahan mempengaruhi secara langsung lingkungan ruang bagian laut, dan sebaliknya. Daerah pesisir adalah jalur yang membatasi daratan dengan laut atau danau dengan lebar bervariasi.
Daerah ini selalu berkembang dengan pesatnya pembangunan yang dilakukan berbagai pihak. Pihak-pihak tersebut secara tidak langsung mengakibatkan kerusakan lingkungan karena aktivitas yang dilakukan di darat maupun di laut. Hal ini menjadikan ekosistem pesisir sebagai ekosistem yang rentan terhadap kerusakan dan perusakan baik alami maupun buatan. Penanggulangan atas permasalahan tersebut secara bijak dan tepat dapat mengurangi maupun mencegah kerusakan yang terjadi. Makalah ini menyajikan permasalahan pesisir yang diakibat oleh faktor alam maupun manusia beserta penanggulangannya yang tepat atas permasalahan yang dihadapi.
Wilayah pesisir yang merupakan sumber daya potensial di Indonesia adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumber daya ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai sepajang sekitar 81.000 km (Dahuri et al. 2001). Garis pantai yang panjang ini menyimpan potensi kekayaan sumber alam yang besar. Potensi itu diantaranya potensi hayati dan non hayati. Potensi hayati misalnya: perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang, sedangkan potensi nonhayati misalnya: mineral dan bahan tambang serta pariwisata. Di daerah ini juga berdiam para nelayan yang sebagian besar masih prasejahtera. Keadaan pantai di Indonesia sangat bervariasi, yaitu mulai dari pantai pasir putih-berbatu, landai-terjal, bervegetasi-berlumpur, teduh, bergelombang yang semua ini sangat cocok dengan berbagai peruntukannya, seperti perikanan pantai, budidaya perikanan, industri perhotelan, turisme, dan lain-lain.
1.2 Tujuan Praktikum  
Tujuan dilaksanakanya praktikum lapangan ini adalah :
1)      Untuk mengetahui pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu di kawasan pesisir Olele oleh pemerintah setempat.
2)      Untuk mengetahui potensi-potensi sumber daya alam di Olele yang  dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan
3)      Untuk mengetahui sosial ekonomi dan pendapat masyarakat mengenai potensi wisata Olele.
1.3 Manfaat Praktikum
Mahasiswa mendapatkan informasi mengenai  pengolaan, pembangunan dan  kondisi wilayah pesisir yang berada di  Desa Olele dan mahasiswa dapat  memberikan informasi mengenai sistem pengolahan yang didapat di Dea Olele kepada rekan-rekan sesama mahasiswa dan juga masyarakat.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Potensi Sumberdaya Perikanan Laut di Indonesia
Potensi sumberdaya perikanan laut di Indonesia terdiri dari sumberdaya perikanan pelagis besar (451.830 ton/tahun) dan pelagis kecil (2.423.000 ton/tahun), sumber daya perikanan demersal 3.163.630 ton/tahun, udang (100.720 ton/tahun), ikan karang (80.082 ton/tahun) dan cumi-cumi 328.960 ton/tahun. Dengan demikian secara nasional potensi lestari perikanan laut sebesar 6,7 juta ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan mencapai 48% (Dirjen Perikanan 1995). Data pada tahun 1998 menunjukkan bahwa produksi ikan laut adalah 3.616.140 ton dan hal ini menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan potensi laut baru mencapai 57,0% (Ditjen Perikanan 1999 dalam Susilo 2001). Pada tahun 2004, dilaporkan potensi sumberdaya ikan laut diperairan Indonesia 6,26 juta ton per tahun yang terdiri dan potensi di perairan wilayah Indonesia sekitar 4,40 juta ton pertahun dan perairan ZEEI sekitar 1,86 juta ton pertahun (Ditjen Perikanan Tangkap-DKP dan PKSPL-IPB, 2004). Potensi tersebut tersebar di sembilan wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia, yaitu : Selat Malaka, Laut Natuna, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Selat Sunda, Laut Flores, Selat Makasar, Laut Banda, Laut Malaka, Teluk Tomini, Laut Seram, Laut Sulawesi, Samudera Pasifik, Laut Araftira dan Samudera Hindia. Sedangkan potensi lahan pertambakan diperkirakan seluas 866.550 Ha dan baru dimanfaatkan seluas 344.759 Ha (39,78%) bahkan bisa lebih tinggi lagi. Dengan demikian masih terbuka peluang untuk peningkatan produksi dan produktivitas lahan. Keterlibatan masyarakat dalam meningkatkan produksi perlu diatur sehingga bisa mendatangkan keuntungan bagi semua pihak dan pengelolaan yang bersifat ramah lingkungan dan lestari. (Dirjen Perikanan 1995).
Pada usaha penangkapan ikan, perlu adanya peningkatan keterampilan bagi masyarakat dengan menggunakan teknologi baru yang efisien. Hal ini untuk mengantisipasi persaingan penangkapan oleh negara lain yang sering masuk ke perairan Indonesia dengan teknologi lebih maju. Usaha ini melibatkan semua pihak mulai dari masyarakat nelayan, pengusaha dan pemerintah serta pihak terkait lainnya. Hal lain yang perlu dilakukan adalah memberi pengertian pada masyarakat nelayan tentang bahaya penangkapan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak atau penggunaan racun. Pada bidang pertambakan, disamping dilakukan secara ekstensifikasi, usaha peningkatan hasil pertambakan dalam bentuk intensifikasi. Hal ini jika dihubungkan dengan pengelolaan tambak di Indonesia pada umumnya masih tradisional. Dengan hasil produksi pertambakan Indonesia tahun 1998 berjumlah 585.900 ton yang merupakan nilai lebih dari 50% hasil kegiatan budidaya perikanan (Susilo 1999 dalam Ditjen Perikanan 1999). Keterlibatan masyarakat dalam bentuk pertambakan inti rakyat dimana perusahaan sebagai intinya dan masyarakat petambak sebagai plasma merupakan suatu konsep yang baik meskipun kadangkala dalam pelaksanaannya banyak mengalami kendala. Hubungan lainnya seperti kemitraan antara masyarakat petambak dengan pengusaha penyedia sarana produksi juga adalah salah satu model kemitraan yang perlu dikembangkan dan disempurnakan dimasa yang akan datang.
2.2  Permasalahan Pembangunan Wilayah Pesisir
Ada beberapa masalah yang terjadi dalam pembangunan wilayah pesisir dan lautan di Indonesia antara lain adalah pencemaran, degradasi habitat, over-eksploitasi sumber daya alam, abrasi pantai, konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, dan bencana alam.
a. Pencemaran
Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya menurun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya (DKP RI, 2002).
Masalah pencemaran ini disebabkan karena aktivitas manusia seperti pembukaan lahan untuk pertanian, pengembangan kota dan industri, penebangan kayu dan penambangan di Daerah Aliran Sungai (DAS). Pembukaan lahan atas sebagai bagian dari kegiatan pertanian telah meningkatkan limbah pertanian baik padat maupun cair yang masuk ke perairan pesisir dan laut melalui aliran sungai.
Pengembangan kota dan industri merupakan sumber bahan sedimen dan pencemaran perairan pesisir dan laut. Pesatnya perkembangan pemukiman dan kota telah meningkatkan jumlah sampah baik padat maupun cair yang merupakan sumber pencemaran pesisir dan laut yang sulit dikontrol. Sektor industri dan pertambangan yang menghasilkan limbah kimia (berupa sianida, timah, nikel, khrom, dan lain-lain) yang dibuang dalam jumlah besar ke aliran sungai sangat potensial mencemari perairan pesisir dan laut, terlebih bahan sianida yang terkenal deng
an racun yang sangat berbahaya.
b. Kerusakan Fisik Habitat dari Organisme
Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan telah mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Hal ini terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang, dan rumput laut atau padang lamun. Kebanyakan rusaknya habitat di daerah pesisir adalah akibat aktivitas manusia seperti konversi hutan mangrove untuk kepentingan pemukiman, pembangunan infrastruktur, dan perikanan tambak mengakibatkan rusaknya habitat bagi organisme yang berasosiasi dengan wilayah tersebut seperti ikan, kepiting, dan lain-lain. Indonesia memiliki cadangan hutan mangrove tropis terluas di dunia dengan luas sekitar 3,8 juta ha atau sekitar 30 – 40 % dari jumlah seluruh hutan mangrove dunia Hutan mangrove di Indonesia terpusat di Irian Jaya dan Maluku (71%), Sumatra (16 %), Kalimantan (9 %) dan Sulawesi ( 2,5 %). Namun akibat dari aktivitas manusia, pada tahun 1970 – 1980, luas hutan mangrove Indonesia berkurang sekitar 700.000 ha untuk penggunaan lahan lainnya (Nugroho dkk 2001).
Ekosistem lainnya yang mengalami kerusakan cukup parah di Indonesia adalah ekosistem terumbu karang. Dari berbagai hasil penelitian menggambarkan bahwa dari 24 lokasi terumbu karang yang ada di Indoneisia, 60 % berada dalam kondisi sangat baik, 22 % baik, 33,5 % sedang dan 39 % dalam keadaan rusak (Suharsono dan Sukarno, 1992 dalam Dahuri dkk 2001). Menurut Kantor Menteri Lingkungan Hidup (1993) bahwa 14 % ekosistem terumbu karang di Indonesia sudah mencapai tingkat mengkhawatirkan, 46 % telah mengalami kerusakan, 33 % dalam keadaan baik, dan 7 % dalam keadaan sangat baik. (Nugroho dkk 2001).

2.3 Konsep Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu
Berdasarkan pendekatan perencanaan pengelolaan, konsep pengelolaan pesisir dan lautan dapat dikategorikan  atas dua jenis, yaitu konsep pengelolaan secara sektoral dan konsep pengelolaan secara terpadu (ICM = integrated coastal management).  Pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral pada dasarnya berkaitan hanya dengan satu jenis sumberdaya atau ekosistem untuk memenuhi tujuan tertentu (sektoral), seperti perikanan (tangkap dan budidaya), pariwisata, pertambangan , industri, pemukiman, perhubungan, pertanian pantai, pelabuhan dan sebagainya.  Pada pengelolaan wilayah pesisir semacam ini, aspek “cross sectoral” atau “cross regional” impects seringkali terabaikan.  Akibatnya, model pengelolaan sektoral ini menimbulkan berbagai dampak  yang dapat merusak lingkungan dan juga akan mematikan sektor lain.  Fenomena Pantai Utara Jawa merupakan salah satu contoh dari perencanaan pengelolaan  pesisir secara sektoral, dimana sector industri mematikan sektor budidaya apabila penanganan dan pengelolaan limbah industri tidak dilakukan secara tepat dan benar. (O’Riordan, T. and Vellinga, P. 1993).
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan lautan dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive assessment), merupakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan.  Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu  dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek social-ekonomi-budaya dan aspirasi  masyarakat pengguna wilayah pesisir (stakeholders), daya dukung lingkungan pesisir, serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada. (O’Riordan, T. and Vellinga, P. 1993).
Menurut Cicin-Sain (1993) dimensin keterpaduan dalam ICM meliputi lima aspek, yaitu (1) keterpaduan sector, yaitu antara berbagai sector pembangunan di wilayah pesisir, seperti perikanan (yangkap dan budidaya), pariwisata, pertambangan migas, perhubungan dan pelabuhan, pemukiman, pertanian pantai, dll; (2) keterpadua wilayah/ekologis, yaitu antara daratan dan perairan (laut) yang masuk dalam suatu system ekologis, (3) keterpaduan stakeholder dan tingkat pemerintah, yaitu dengan melibatkan seluruh komponen stakeholder yang terdapat di wilayah pesisir dan juga adanya keterpaduan antara pemerintah pada berbagai level, seperti pusat, propinsi dan kabupaten; (4) keterpaduan antara berbagai disiplin ilmu, yaitu dengan melibatkan seluruh disiplin ilmu yang terkait dengan pesisir dan lautan, seperti ilmu social budaya; fisika, biolagi, keteknikan, ekologi, hokum dan kelembagaan, dan lain0lain; dan (5) keterpaduan antar negara, yaitu adanya kerjasama dan koordinasi antar negara dalam mengelola sumberdaya pesisir, terutama yang menyangkut kepentingan seluruh manusia. Konsep-konsep pengelolaan wilayah pesisir seperti diuraikan di atas, pada dasarnya telah dimulai sejak tahun 1950-an (O’Riordan dan Vellinga, 1993) yang secara dinamis mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan waktu. 
Pengeloaan wilayah pesisir merupakan sebua siklus dari tahapan yang dilalui, mulai dari identifikasi isu sampai pada monitoring dan evaluasi.  Proses logis pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, atau perkembangan dari sutu kebijakan atau proyek dapat digambarkan sebagai suatu lingkaran seperti pada gambar 3, yang terdiri atas 5 (lima) tahapan, yaitu (1) identifikasi dan analisis terhadap isu-isu local wilayah pesisir, (2) penetapan tujuan dan persiapan rencana kebijakan dan program-program aksi, (3) formalisasi melalui jalur hukum, peraturan, kerjasama antar institusi dan mengalokasikan dana untuk pelaksanaannya, (4) implementasi dari rencana/program tersebut, dan (5) monitoring dan evaluasi. (O’Riordan, T. and Vellinga, P. 1993).
Siklus kebijakan menempatkan banyak kegiatan dari suatu program dalam satu sekuen yang logis dan membantu untuk menguraikan keterkaitan yang rumit dari unsure-unsur yang terdapat dalam pengelolaan wilayah pesisir.  Pengalaman menunjukan bahwa beberapa hal yang harus dilaksanakan pada saat yang tepat agar program pengelolaan wilayah pesisir dapat dengan sukses bergerak terus menuju tujuan jangka panjangnya.  Dalam konteks tersebut “siklus kebijakan” ini dapat dianggap sebagai peta atau alat bantu navigasi dalam menelusuri proses yang kompleks, dinamis dan bersifat adaptif. (O’Riordan, T. and Vellinga, P. 1993).

BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat
            Adapun waktu dan tempat pelaksanaan praktikum konservasi sumberdaya perairan pada hari Sabtu 24 November 2012, Pukul 10.45 WITA sampai selesai, di Desa Olele, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo.
3.2 Alat dan Bahan
  a. Alat             
Adapun alat yang digunakan pada praktikum adalah :
·      ATM (alat tulis menulis)
·      Camera
b. Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada praktikum adalah :
·         Lembar Kousioner
3.3 Metode Praktikum
            Metode yang dilakukan dalam pelaksanaan praktikum manajemen pesisir dan laut adalah metode pengambilan data sekunder  atau observasi dengan membuat daftar pertanyaan sesuai dengan informasi yang akan dicari di lokasi/ kawasan, dengan berdasarkan parameter serta kriteria yang harus dimiliki oleh kawasan tersebut selanjutnya memilih responden atau narasumber untuk diajukan pertanyaan berupa wawancara tentang adanya pengelolaan wilayah pesisir dan laut daerah di Desa Olele. Pertanyaan yang diajukan berupa keterangan responden, parameter pemanfaatan sumberdaya alam (SDA), sumberdaya buatan (SDB), jasa lingkungan, sarana sosial dan ekonomi, infrastruktur, serta pengelolaan wilayah pesisir tersebut.


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1    Hasil
Tabel 1. Keterangan Responden
I.       KETERANGAN RESPONDEN
1
Nama Responden
Alex Arsyad
2
Umur Responden
47 Tahun
3
Etnis
Gorontalo
4
Agama
Islam
5
Jenis Kelamin
Laki – laki
6
Status Perkawinan
Kawin
7
Pendidikan tertinggi
SD
8
Hubungan dengan kepala rumah tangga
Kepala Keluarga
9
Jumlah Anggota rumah tangga
5 orang
10
Anggota rumah tangga yang bekerja dan jenis pekerjaannya
Istri dan Suami
11
Kedudukan responden dalam masyarakat
Anggota Masyarakat


 
Tabel 2. Sumberdaya alam, sumberdaya buatan  dan jasa lingkungan
No
Variable
Batas Nilai
Keterangan
1
Mangrove
-
Tidak ada
2
Karang
Kondisi terumbu karang di Olele masih bervariasi dan terjaga ekosistemnya, lokasinya hampir seluruh laut Olele terumbu karangnya.
Baik
3
Lamun
-  
Tidak ada
4
Hasil perikanan
-         Pada saat melimpah pada bulan maret hingga agustus dan jenis ikan yang ditemui yaitu ikan Tuna.
Baik
5
Wisata Pantai/Laut
Terdapat keindahan bawah laut yang indah.
Baik
6
Sawah
Diareal pesisir tidak terdapat sawah.
Tidak Ada

Tabel 3. Sosial, Ekonomi dan Kebudayaan
No
Variabel
Batas Nilai
Keterangan
1
Sarana Ibadah
Masjid
Ada
2
Sekolah
SD dan SMP
Ada
3
Sarana kesehatan
Tersedia tapi dalam jumlah yang tidak mencukupi
Sedang
4
Kesehatan
Pusat Kesehatan Pembantu (PUSTU)
Ada
5
Perdagangan
Di desa olele terjadi jual beli hanya antar sesama warga pesisir namun tidan ada pasar.
Baik
6.
Usaha mikro, kecil, usaha menengah dan koperasi.
Memiliki usaha peminjaman alat selam, sewa perahu dan koperasi simpan pinjam bagi nelayan yang membutuhkan.
Baik

 
Tabel 4. Infrastruktur
No
Variabel
Batas Nilai
Keterangan
1
Jalan
-       Jalan masih biasa, belum ada perbaikan
-       Ada pengerasan dari bebatuan
-       Di aspal biasa untuk jalannya
 Kurang Baik
2
Dermaga
Tidak adanya dermaga karena kawasan perairan merupakan KKLD
-
3
Listrik
Listrik langsung dari PLN
Baik
4
Fasilitas/sarana wisata
Terdapat beberapa bangunan rumah dan sekolah serta sarana wisata berupa peminjaman perahu kaca dan alat diving
Baik

4.2  Pembahasan
Jumlah penduduk masyarakat Olele sebanyak 1025 jiwa dengan Kepala Keluarganya sekitar 300 KK.  Pekerjaan yang digeluti Masyarakat kebanyakan sebagai nelayan sekitar 80% sedangkan Non-Nelayan sekitar 20 %. Tingkat pendidikan masyarakat di Desa Olele  SD ± 50 %, SMP ± 20%, SMA ± 20 % dan Perguruan Tinggi ± 10 %.  
4.2.1 Kondisi Nelayan
Dari hasil wawancara dengan pak Alex Arsyad yang berprofesi sebagai nelayan, saya melihat kondisi nelayan di Olele hingga  saat ini masih belum sejahtera. Hal ini semakin diperparah dalam memenuhi kebutuhan hidup para nelayan dan pedagang di Olele yang sudah cukup hanya menangkap ikan dan berjualan. Padahal seperti yang diketahui hasil ikan tidak menentu tergantung cuaca. Kondisi nelayan sangat berbanding terbalik dengan kekayaan sumber daya alam negeri kita. Sangat ironis sekali dengan potensi yang begitu besar, saat ini masih banyak penduduk desa pantai yang memiliki taraf hidup tergolong rendah. Kemampuan nelayan untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal kehidupan sehari-hari sangat terbatas. Bagi masyarakat nelayan, diantara beberapa kebutuhan pokok kehidupan, kebutuhan yang paling penting adalah pangan.
Beberapa Faktor – Faktor yang mempengaruhi kemiskinan Nelayan  di Desa Olele adalah:
a)    Ketersediaan Sumber daya ikan
Ketersedian sumber daya perikanan di  Indramayu  ini  tidak dibarengi dengan Teknologi yang baik, dan modern. 
b)   Keterbatasan Modal
Nelayan dalam memproduksi ikan memerlukan input produksi atau faktor Produksi. Adapun wujud dari input produksi berupa modal (Uang),  alat tangkap dan peralatan melaut lainnya seperti kapal/perahu. Kebanyakan nelayan di Indonesia modal menjadi persoalan yang sangat serius hal ini dikarenakan nelayan memiliki keterbatasan modal. Nelayan masih mengandalkan modal dari juragan sehingga hasil produksinya tidak bisa dinikmati secara total oleh nelayan yang  bersangkutan. Belum lagi diperparah oleh posisi nelayan yang 80% masih sebagai buruh tangkap sehingga menyebabkan hasil (pendapatan) nelayan menjadi rendah.
c)    Rendahnya Tingkat Kependidikan
Satu aspek yang juga menjadi akar kemiskinan nelayan adalah rendahnya tingkat pendidikan.  Dengan demikian, keterbatasan tingkat pendidikan juga berdampak pada pemahaman proses penangkapan dan pemanfaatan hasil tangkapan.
d)     Lemahnya Lembaga Kelautan 
Keberadaan suatu kelembagaan sangat bermanfaat bagi nelayan agar dapat membantu pelaksanaan program pemerintah. Bentuk kelembagaan itu sendiri antara lain koperasi unit desa Mina bahari, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HSNI) dan beberapa kelompok nelayan lainnya. Namun pada kenyataannya, Selama ini keberadaan kelembagaan nelayan belum sepenuhnya berjalan secara baik dan belum mampu menjadi wakil dari nelayan.


Keberhasilan dari suatu program di daerah bukan hanya karena kemampuan pejabat daerahnya namun juga karena masyarakatnya yang mau bersama-sama untuk membangun daerah tersebut. Karena itu diperlukan suatu koordinasi yang baik antara pejabat pemerintahan dan masyarakat agar program tersebut berjalan dengan baik. Hingga saat ini koordinasi antar Dinas Perikanan dan Kelautan dengan masyarakat pesisir berjalan cukup baik.
4.2.2 Sumber daya Alam, Buatan dan jasa Lingkungan
Desa Olele memiliki sumber daya alamnya seperti terumbu karang yang indah. Keadaan terumbu karang terlihat bagus karena terlihat keindahan ekosistem terumbu karang yang ada. Pemanfaatan terumbu karang ditinjau dari fungsi ekologisnya, terumbu karang yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan dan menyumbangkan stabilitas fisik, yaitu mampu menahan hembusan gelombang yang kuat sehingga dapat melindungi pantai dari abrasi. Sedangkan dari segi sosial ekonominya, terumbu karang adalah sumber perikanan yang produktif sehingga dapat meningkatkan pendapatan nelayan, penduduk pesisir, dan devisa Negara yang berasal dari devisa perikanan dan pariwisata.
Manajemen yang baik memerlukan data dan informasi tentang potensi sumberdaya terumbu karang dan lebih khusus kegiatan perikanan tangkap, serta khususnya bagi pengembangan perikanan secara berkelanjutan. Keberlanjutan dalam konteks pembangunan perikanan adalah kunci yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan masyarakat perikanan itu sendiri. Sumberdaya perikanan dikategorikan sebagai sumberdaya dapat pulih, namun jika dalam pemanfaatnnya tidak dikelola dengan baik akan berdampak negatif terhadap keberlanjutan pembangunan perikanan itu sendiri.
4.2.3 Sarana Sosial dan Ekonomi
Untuk kesehatan masyarakat dari segi kebersihannya, daerah pesisir terlihat banyak kotoran ternak dan sampah. Kebiasaan masyarakat yang membuang sampah di selokan, ketika curah hujan tinggi otomatis mengakibatkan sampah yang berada di selokan terbawa arus dan mengotori wilayah pesisir. Di sini terlihat bahwa masih kurangnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan di sekitar wilayah pesisir. Dari segi kesehatannya juga yang kami wawancarai, warga pesisir pada umumnya mengalami sakit sendi (Reumatik), meriang (kedinginan saat melaut), dan asam urat. Beberapa penyakit ini sering kali menyerang masyarakat pesisir yang kebanyakan di alami oleh nelayan itu sendiri. Namun tempat kesehatan yang ada di Desa Olele tidak sesuai, artinya perlengkapan alatnya kurang memadai.
Nilai-nilai agama Masyarakat pesisir Olele punya tradisi untuk memperingati 10 Muharam. Tradisi tersebut berlangsung dengan melakukan ritual doa di pantai dan membuang kue ke pantai. Warga Olele menganggap bahwa hal tersebut dapat menolak bala.
Dari segi infrastrukturnya, pengadaan listriknya sudah bagus dari segi penerangan sudah mencukupi kebutuhan, kemudahan untuk akses menuju Desa  Olele mudah di jangkau baik jalur laut maupun darat serta sarana wisatanya cukup di bilang bagus.
Selanjutnya, dari kelembagaannya Konsentrasi pembangunan kehidupan manusia dan berbagai pembangunan di wilayah tersebut disebabkan oleh tiga alasan ekonomi yang kuat, yaitu bahwa wilayah pesisir merupakan kawasan yang produktif di bumi, wilayah pesisir menyediakan kemudahan bagi berbagai kegiatan serta wilayah pesisir memiliki pesona yang menarik bagi obyek pariwisata. Hal-hal tersebut menyebabkan kawasan pesisir mengalami tekanan ekologis yang parah dan kompleks sehingga menjadi rusak.


 
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
            Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa:
1)      Wilayah pesisir Olele merupakan salah satu daerah pantai di Kabupaten Bone Bolango sebagai daerah  yang mempunyai sumberdaya alam dan jalur infrastruktur transportasi.
2)      Wilayah pesisir Olele telah mendapatkan hasil dari pengelolaan pesisir  yakni pendapatan daerah yang selalu meningkat akibat dari kegiatan penangkapan ikan yang menjadi sektor unggulan dari pengelolaan wilyah pesisir terpadu.
3)      Peran pemerintah untuk menanggulangi segala permasalahan di wilayah  pesisir Olele seperti mengadakan sosialisasi kepada masyarakat pesisir,  pengadaan patroli disetiap pulau, bekerjasama  dengan masyarakat yang  disebut tim penwas,  memfasilitasi alat tangkap ramah lingkungan  kepada  para nelayan.
4)      Dalam mengatasi masalah wilayah pesisir diperlukan juga pendekatan  terhadap masyarakat dimana sangat penting untuk mengontrol perkembangan pantai/pesisir.  Perlunya integritas dari intansi pemerintah Olele lainnya agar pengelolaan pesisir ini menjadi keterpaduan yang bisa dikelola oleh pejabat setempat dan menjadi primadona masyarakat Olele.
5.2 Saran
Diharapakan kepada kita semua untuk lebih menjaga laut dan memanfaatkan hasil laut dengan tidak serakah. Memanfaatkan laut sebagai mana mestinya akan memberikan dampak positif dan berguna bagi masa depan anak cucu kita nanti.




DAFTAR PUSTAKA
Balitbang Provinsi Jawa Tengah. 2010. Penelitian dan Pengembangan Model Pemberdayaan Terhadap Keluarga Nelayan.
Bengen, D.G. 2000. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem dan Sumber daya Pesisir (Prosiding Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, Bogor 13-18 November 2000. Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan IPB).
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta
Dahuri, R. et al. 1998. “Penyusunan Konsep Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan yang Berakar dari Masyarakat” Kerjasama Ditjen Bangda dengan Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan, IPB. Laporan Akhir.
Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil, DepartemenKelautan dan Perikanan, 2003. Pedoman Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah, Jakarta
Nikijuluw, Victor P.H. 2010. Populasi dan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir serta Strategi  Pemberdayaan Mereka Dalam Konteks Pengelolaan  Sumberdaya Pesisir Secara Terpadu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar