Music

Kamis, 09 April 2015

ANALISIS SEBARAN SPASIAL DAN KERAPATAN EKOSISTEM MANGROVE



ANALISIS SEBARAN SPASIAL DAN KERAPATAN EKOSISTEM MANGROVE


OLEH
JALIPATI TUHETERU





FORUM KAJIAN PENELITI PERIKANAN
KOMUNITAS DEHETO HULONTHALO
FISHERIES OF RESEARCH
2015



1.1.Sumberdaya Mangrove
A.     Pengertian Mangrove
Asal usul istilah  dari mangrove belum diketahui secara pasti. Ada yang mengatakan istilah tersebut merupakan perpaduan dari bahasa Portugis dan dari bahasa Inggris. Bangsa Portugis menyebut salah satu jenis pohon mangrove sebagai ‘mangue’ dan istilah Inggris ‘grove’, bila disatukan akan menjadi ‘mangrove’ atau ‘mangrave’ (Jayatissa at. al, 2002 dan Sivasothi, 2001 dalam Setiawan et. al, 2003 dan Talib, 2008).  Ada kemungkinan pula istilah mangrove berasal dari bahasa melayu, yang menyebut jenis tanaman ini dengan ‘mangi-mangi’ atau ‘mangin’.  Menurut Sidik (2005) dalam Djafar (2014), mangrove memiliki arti ganda, yaitu  sebagai komunitas dan individu spesies. Komunitas mangrove umumnya disebut “mangal” dan “mangrove”  merupakan sebutan untuk individu tumbuhan. Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut (Irwanto, 2006 dalam Talib, 2008).
Hutan mangrove merupakan tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai. Mangrove hidup pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang di lepas pantai (Nontji, 1987 dalam Baderan, 2013).
Mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis dimana terdapat banyak spesies pohon-pohonan yang khas atau semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang di wilayah perairan pantai (Nybakken, 1992; 1988 dalam Djafar, 2014; dan Talib, 2008 ).  Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropis yang khas dan tumbuh di perairan pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Levinton, 2005 dalam Hidayah, 2011).  Anwar et. al (1984) dalam Talib (2008),  mendefinisikan hutan mangrove merupakan formasi tumbuhan litoral yang hidup dan berkembang di perairan pantai yang terlindung dari ombak besar dan umumnya tersebar di daerah tropis dan subtropis.  Sedangkan pengertian dari kata mangrove menurut Darsidi (1986) dalam Talib (2008) adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang-surut namun terdapat juga pada pantai karang dan daratan koral mati yang di atasnya terdapat lumpur atau terdapat pada daerah berlumpur.
Ekosistem mangrove sering disebut juga sebagai hutan payau karena tumbuh di air payau, sedangkan hutan mangrove yang didominasi oleh jenis-jenis bakau disebut hutan bakau (Talib, 2008).
B.   Karakteristik Mangrove dan Kondisi Lingkungan Pertumbuhan Hutan Mangrove

Menurut Bengen dan Dutton (2004) dalam Talib (2008), karakteristik utama ekosistem mangrove di Indonesia adalah sebagai berikut :
1.        Tidak dipengaruhi oleh faktor iklim, tapi dipengaruhi oleh kondisi pasang surut,
2.        Terletak pada tanah yang sebagian besar terdiri dari lumpur dan pasir yang tergenang oleh air laut,
3.        Terletak pada daerah pantai yang landai,
4.        Tidak terstruktur berdasarkan penutupannya/stratifikasi berdasarkan tegakan; jenis-jenis pohon mulai dari laut ke darat adalah Rhizophora, Avicennia, Sonneratia, Xylocarpus, Lumnitzera, Bruguiera, dan Nypa fruiicans,
5.        Terdiri dari pohon-pohon yang dapat tumbuh mencapai lebih dari 30 meter,
6.         Komposisi vegetasinya dari pantai adalah Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Rhizophora, Bruguiera, Xylocarpus, Lumnitzera, dan Nypa fructicans,
7.        Komposisi dari spesies-spesies vegetasi yang berasosiasi adalah Acrostichum aureum, Acanthus ilicifolius, A. Ebracteatus.
Karakteristik dari hutan mangrove, diantaranya secara spesifik menahan erosi dan abrasi laut dari kerusakan pantai akibat hempasan gelombang air laut. Adapun kondisi ekologis yang mengatur dan melindunginya, sangat tergantung kepada keseimbangan dari persediaan kadar garam dan air tawar, nutrisi yang cukup dan substrat yang stabil.  Perakaran mangrove yang kuat mampu meredam gerak pasang surut, juga mampu terendam dalam air yang kadar garamnya bervariasi. Lebih dari itu, perakaran mangrove dapat mengendalikan lumpur, sehingga ia mampu memperluas penambahan formasi dan “surfacing land“ (McKee, 1996 dalam Wijaya, 2011).
Peristiwa pasang-surut merupakan peristiwa yang berpengaruh langsung terhadap ekosistem mangrove yang menyebabkan komunitas ini didominasi oleh spesies-spesies pohon yang keras yang memiliki manfaat terbesar terhadap perairan payau.  Mangrove tumbuh dan berkembang dengan baik dari ketinggian permukaan laut hingga pada rata-rata permukaan pasang. Jenis tanaman tersebut bukan saja harus toleran terhadap garam, melainkan juga harus mampu menahan kondisi tergenang dan kondisi-kondisi bawah yang anaerobik (Talib, 2008).
Hutan mangrove tumbuh subur dan luas di daerah delta dan aliran sungai yang besar dengan muara yang lebar.  Jika di daerah pantai tidak ada aliran sungai, maka daerah mangrovenya sempit.  Hutan mangrove mempunyai toleransi terhadap kadar garam dan dapat tumbuh dan berkembang di daratan bersalinitas tinggi di mana tanaman biasa tidak dapat tumbuh (Hukom et. al, 2012).
Menurut Hukom et. al (2012) hutan mangrove adalah ekosistem yang kompleks dimana terdiri atas flora dan fauna daerah pantai, hidup sekaligus di wilayah daratan dan air laut, diantara batas air pasang dan surut.  Hutan mangrove berfungsi untuk melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut dan angin topan. Fungsi tanaman mangrove juga sebagai buffer (perisai alam) yang menstabilkan tanah dengan menangkap dan memerangkap endapan material dari darat yang terbawa air sungai dan yang kemudian terbawa ke tengah laut oleh arus.
Dalam suatu paparan, mangrove disuatu tempat tidak harus terdapat semua spesies jenis mangrove. Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, dan efek neotetonik (Djafar, 2012). Santoso (2008) dalam Djafar (2012), menjelaskan bahwa komposisis spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor, cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antara pasang surut air laut, ketersediaan air tawar dan tipe tanah.  Daya adaptasi tiap jenis akan menentukan komposisi jenis tiap zonasi (Bengen dan Dutton, 2004 dalam Talib, 2008).
Ekosistem mangrove bersifat kompleks dan dinamis tetapi labil. Kompleks, karena ekosistem mangrove merupakan habitat berbagai jenis satwa daratan dan biota perairan. Kemudian dinamis, karena zonasi ekosistem mangrove dapat berubah sesuai dengan tempat tumbuh serta dapat terus tumbuh dan berkembang, dan labil, karena sulit untuk pulih kembali ketika mangrove mengalami kerusakan (Kusmana, 1995 dalam Talib, 2008). Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan antar sesama makhluk hidup itu sendiri (Santoso, 2000 dalam Djafar, 2014).
C.    Fungsi & Manfaat Mangrove
Menurut Chapman (1995) dalam Wijaya (2011), ekosistem mangrove terdiri 5 (lima) habitat yang merupakan fungsi bagi fauna, antara lain sebagai berikut :
1.        Tajuk pohon yang dihuni oleh berbagai jenis burung, mamalia, dan serangga.
2.        Lubang yang terdapat di cabang dan genangan air di cagak antara batang dan cabang pohon yang merupakan habitat yang cukup baik untuk serangga (terutama nyamuk).
3.        Permukaan tanah sebagai habitat mudskipper dan keong/kerang.
4.        Lubang permanen dan semi permanen di dalam tanah sebagai habitat kepiting dan katak.
5.        Saluran-saluran air sebagai habitat buaya dan ikan/udang.
Ekosistem mangrove mempunyai fungsi sebagai penyaring bahan nutrisi dan penghasil bahan organik, serta berfungsi sebagai daerah penyangga antara daratan dan lautan.  Hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat, antara lain; sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen, penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan pohon mangrove, daerah asuhan (nursery grounds), daerah mencari makan (feeding grounds) dan daerah pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya; penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang, dan bahan baku kertas (pulp); pemasok larva ikan, udang, dan biota laut lainnya, dan sebagai tempat pariwisata (Bengen, 2004 dalam Talib, 2008).
Selain fungsi di atas, Ong (2002) dalam Setyawan, at. al (2003), menjelaskan bahwa mangrove memiliki fungsi ekologi yang tidak kalah penting, antara lain untuk menyaring dan menangkap bahan pencemar, menjaga stabilitas pantai dari erosi, intrusi air laut, dan tekanan badai, membentuk daratan baru, menjaga kealamian habitat, serta memiliki fungsi sosial sebagai area konservasi, pendidikan, ekoturisme, dan identitas budaya. 
 D.      Zonasi Mangrove

Zonasi merupakan suatu fenomena ekologi yang menarik di perairan pesisir, yang merupakan daerah yang terkena ritme pasang-surut air laut. Pengaruh dari pasang-surut air laut yang berbeda untuk tiap zona memungkinkan berkembangnya komunitas yang khas untuk masing masing zona di daerah ini (Peterson, 1991 dalam Talib 2008).
Baderan (2013), menjelaskan bahwa zonasi hutan mangrove ditentukan oleh keadaan tanah, salinitas, penggenangan, pasang surut, laju pengendapan dan pengikisan serta ketinggian nisbi darat dan air. Zonasi juga menggambarkan tahapan suksesi yang searah atau sejalan dengan perubahan tempat tumbuhnya mangrove. Perubahan tempat tumbuh bersifat sangat dinamis disebabkan oleh adanya laju pengendapan atau pengikisan. Daya adaptasi suatu jenis mangrove terhadap keadaan tempat tumbuh dapat menentukan komposisi jenis mangrove pada tiap zonasi. Suatu jenis akan menggantikan jenis yang lain apabila zonasi tumbuh mangrove Semakin jauh dari laut, proses ini dapat terjadi sampai ke daerah peralihan yang berbatasan dengan komunitas rawa, air tawar dan hutan pedalaman.
Noor et. al (2006) dalam Djafar (2014), menjelaskan bahwa secara sederhana mangrove umumnya tumbuh dalam empat zona yaitu pada daerah terbuka, daerah tengah, daerah yang memiliki sungai berair payau sampai hampir tawar, dan daerah kearah daratan yang memiliki air tawar. Lebih lanjut Noor et. al (2006) dalam Djafar (2014),  menjelaskan tentang mengrove terbuka, mangrove tengah, mangrove payau serta mangrove daratan sebagai berikut :
1.        Mangrove terbuka
Merupakan mangrove yang terdapat pada bagian yang berhadapan dengan laut. Pada zona ini banyak terdapat jenis mangrove Sonneratia alba.
2.        Mangrove tengah
Di zona ini, posisi mengrove terdapat di belakang mangrove zona terbuka dan biasanya di dominasi oleh jenis mangrove Rhizophora.
3.        Mangrove payau
Jenis mangrove ini berada di sepanjang sungai berair payau hingga hampir berair tawar. Jenis mangrove yang dominan adalah Nyipa atau Sonneratia.
4.        Mangrove daratan
Mangrove daratan terletak di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove yang sebenarnya. Berdasarkan data dari Menteri Negara Lingkungan Hidup tahun 1993, bahwa jenis mangrove yang umum terdapat pada zona ini adalah jenis Ficus microcarpus, Intsia bijuga,  Lumnitzera racemosa, Pandanus sp, dan Xylocarpus moluccensis. Pola sebaran zonasi mangrove dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Pola Zonasi Mangrove (Bengen, 2004 dalam Talib, 2008)

Zonasi mangrove dipengaruhi oleh salinitas, toleransi terhadap ombak dan angin, toleransi terhadap lumpur (keadaan tanah), frekuensi tergenang oleh air laut. Zonasi yang menggambarkan tahapan suksesi yang sejalan dengan perubahan tempat tumbuh. Perubahan tempat tumbuh sangat bersifat dinamis yang disebabkan oleh laju pengendapan atau pengikisan. 
Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan bersubstrat lumpur, sedangkan di wilayah pesisir yang tidak terdapat muara sungai, pertumbuhan hutan mangrove tidak optimal. Menurut Aksornkoae (1993) dalam Baderan (2013), mangrove juga dapat tumbuh dengan baik di substrat berlumpur dan perairan pasang yang menyebabkan kondisi anaerob, hal ini disebabkan mangrove memiliki akar-akar khusus yang berfungsi sebagai penyangga sekaligus penyerap oksigen dari udara di permukaan air secara langsung.
2. 2     Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi atau dengan kata lain suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus dan Wiradisastra, 2000 dalam Rosadi, 2012).  Sedangkan menurut Anon (2001) dalam Rosadi (2012), Sistem Informasi geografis adalah suatu sistem Informasi yang dapat memadukan antara data grafis (spasial) dengan data teks (atribut) objek yang dihubungkan secara geografis di bumi (georeference).  Disamping itu, SIG juga dapat menggabungkan data, mengatur data dan melakukan analisis data yang akhirnya akan menghasilkan keluaran yang dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan pada masalah yang berhubungan dengan geografis (Rosadi, 2012).
SIG mampu menganalisis dan mengkonversi sekumpulan data spasial menjadi informasi untuk keperluan tertentu. Kunci kemampuan SIG adalah analisis data untuk menghasilkan informasi baru. Salah satunya dengan tumpangsusun peta (overlay). SIG menyediakan fasilitas tumpangsusun secara cepat untuk menghasilkan satuan pemetaan baru sesuai dengan kriteria yang dibuat (Danoedoro, 1996 dalam Baderan, 2013).  Dilihat dari defenisinya, SIG adalah suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang tidak dapat berdiri sendiri-sendiri.  SIG memiliki perangkat keras komputer beserta dengan perangkat lunaknya belum berarti bahwa kita sudah memiliki SIG apabila data geografis dan sumberdaya manusia yang mengoperasikannya belum ada. Kemampuan sumberdaya manusia untuk memformulasikan persoalan dan menganalisa hasil akhir sangat berperan dalam keberhasilan SIG (Baderan, 2013).
Menurut Rosadi (2012), kekuatan dari SIG adalah terbentuknya New Information dari hasil analisis basis data, melalui berbagai proses yang dapat dilakukan pada SIG , melalui (1) Pemrosesan data atribut (Query dan Kalkulasi), (2) Pemrosesan data grafis (mengubah skala, mengubah sistem proyeksi, rotasi dan translasi, pengkondisian (Spasial Querying), tumpang-susun (Overlay), re-klasifikasi, jarak dan buffer, model elevasi/medan digital, pemodelan spasial dan kalkulasi data grafis); dan (3) Terpadu antara data grafis dan atribut (pengkaitan atribut ke grafis dengan simbol area, warna, angka, diagram).
Pada dasarnya penginderaan jauh tidak pernah lepas dari Sistem Informasi Geografi (SIG).  Data-data spasial hasil penginderaan jauh merupakan salah satu data dasar yang dipergunakan dalam analisis SIG.  Dalam perkembangannya data-data SIG juga berguna dalam pengolahan data penginderaan jauh (Barus dan Wiradisastra, 2000 dalam Rosadi, 2012). SIG sangat baik dalam proses manajemen data, baik itu data atribut maupun data spasialnya. Integrasi antara data spasial dan data atribut dalam suatu sistem terkomputerisasi yang bereferensi geografi merupakan keunggulan dari SIG (Rosadi, 2012).
Data penginderaan jauh dapat menangkap dan mengindentifikasi berbagai macam objek di wilayah pesisir seperti rumput laut, terumbu karang, keadaan pasir, padang lamun, keberadaan mangrove, penggunaan lahan, serta sebaran vegetasi lainnya yang merupakan suatu ekosistem wilayah pesisir ( Rosadi, 2012). Data-data tersebut bisa diintegrasikan dengan data-data SIG seperti batas administrasi, jumlah penduduk, kondisi jalan, kondisi sungai serta bentuk topografi suatu lahan maupun topografi pantai dan lautnya. Selain pemanfaatan data-data SIG tersebut, SIG juga dapat menganalisis data-data spasial sehingga memberikan bentuk lain dari data spasial masukkan sebelumnya yang akan berguna dalam menentukan nilai Indeks Kepekaan Lingkungan (Rosadi, 2012).
Sistem Informasi Geografi merupakan suatu sistem informasi yang dirancang pelaksanaannya dengan mendasarkan pada letak spasial atau koordinat geografi. Dengan kata lain, SIG merupakan suatu sistem “data base” yang memiliki kemampuan tertentu untuk data yang bereferensi spasial dan juga merupakan serangkaian proses kerja dengan data spasial dan atribut (Rosadi, 2012). Star and Estes (1990) dalam Rosadi (2012), menyatakan bahwa pemahaman terhadap lingkungan alam dan gejala-gejalanya (termasuk bencana alam) dapat dilakukan dengan menerapkan konsep empat M. Empat M tersebut adalah pengukuran (measurement), pemetaan (mapping), pantauan (monitoring) dan pembuatan model (modeling). Data penginderaan jauh merupakan input penting pada SIG karena datanya muthakir, lengkap dan cepat diperoleh.
Contoh aplikasi SIG yang meliputi 4M, dimana M pertama adalah Measurement; misalnya pengembangan pemodelan (SIG) untuk mengetahui tingkat kerusakan ekosistem mangrove.  Kedua adalah Mapping: pemetaan ekosistem mangrove, ketiga adalah Monitoring; monitoring ekosistem mangrove dalam konteks kelestarian lingkungan; dan keempat adalah Modeling, misalnya model valuasi ekonomi sebagai dasar untuk rehabilitasi kerusakan ekosistem mangrove.
Keunggulan dari SIG adalah kemampaunnya menangani data spasial bereferensi geografi yang berintegrasi dengan data atribut sehingga data-data tersebut dapat dianalisis bentuk keruangannya. Hasil analisis tersebut seperti panjang, luas, volume, keterkaitan, klasifikasi dan perkiraan yang berbentuk tampilan spasial. Keadaan tersebut diperoleh dari analisis dan manipulasi data spasial yang merupakan keunggulan lain dari SIG. Adapun contoh analisis dan manipulasi data spasial yang dilakukan dalam SIG seperti overlay, interpolasi, buffering dan klasifikasi (Rosadi, 2012).
2.3.     Penginderaan Jauh (INDERAJA)
Menurut Howard (1996) dalam Aqsar (2009), Penginderaan jauh merupakan suatu teknik pengukuran atau perolehan informasi dari beberapa sifat obyek atau fenomena dengan menggunakan alat perekam yang secara fisik tidak terjadi kontak langsung atau bersinggungan dengan obyek atau fenomena yang dikaji. Lillesand dan Kiefer (1994) dalam Kasim (2013), menjelaskan bahwa penginderaan jauh  merupakan ilmu dan teknologi untuk memperoleh informasi tentang objek, wilayah atau fenomena dengan menggunakan suatu alat tanpa melakukan kontak langsung dengan objek, wilayah atau gejala yang dikaji. Sedangkan menurut Darmawan (2001), penginderaan jauh merupakan ilmu dan teknologi pengumpulan informasi tentang permukaan bumi berdasarkan perekaman energi pantul dan pancaran obyek, pemrosesan, analisis dan pengaplikasian informasi tersebut.
Penginderaan jauh merupakan suatu metode untuk pengenalan dan penentuan objek dipermukaan bumi tanpa harus melakukan kontak langsung dengan objek tersebut. Data penginderaan jauh dapat bersifat kontinyu karena mempunyai resolusi temporal, dapat digunakan untuk berbagai aplikasi karena resolusi spektralnya dan ditampilkan dalam berbagai bentuk skala karena resolusi spasialnya. Penginderaan jauh mempunyai kemampuan untuk menghasilkan data spasial yang susunan geometrinya mendekati keadaan sebenarnya dari permukaan bumi dalam jumlah yang banyak dan waktu yang cepat (Rosadi, 2012).
Data penginderaan jauh dapat dikatakan sebagai sumber data yang terpenting bagi SIG karena ketersediaannya secara berkala. Dengan adanya bermacam-macam satelit di ruang angkasa dengan spesifikasinya masing-masing, kita bisa menerima berbagai jenis citra satelit untuk beragam tujuan pemakaian. Beberapa satelit yang terdapat di luar angkasa, seperti Ikonos, Spot, Lansat 7, Lansat 8 dan Alos. Data-data yang diperoleh dari berbagai jenis citra satelit itulah biasanya direpresentasikan dalam format raster seperti data citra satelit . Data citra penginderaan jauh dapat diinterpretasi terlebih dahulu sebelum dikonversi kedalam bentuk digital.  Citra yang diperoleh dari satelit yang sudah dalam bentuk digital dapat langsung digunakan setelah diadakan koreksi seperlunya. Lebih lanjut dinyatakan ketiga sumber tersebut saling mendukung satu terhadap yang lain. Data lapangan dapat digunakan untuk membuat peta. Data penginderaan jauh juga memerlukan data yang di peroleh dari lapangan seperti data titik kordinat untuk lebih memastikan kebenaran data tersebut. Jadi ketiga sumber data saling berkaitan, melengkapi dan mendukung, sehingga tidak boleh ada yang terabaikan (Rosadi, 2012).  Contohnya adalah perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dengan memanfaatkan sistem informasi geografis dan penginderaan jauh. 
Penginderaan jauh menyediakan satu-satunya cara efisien untuk pemetaan dan pemantauan perubahan ekologi pada daerah yang luas. Sehubungan dengan zona ekologis, penginderaan jauh menyediakan sarana untuk mengamati daerah-daerah pada skala yang global dan lokal. Identifikasi obyek dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dilaksanakan dengan beberapa pendekatan antara lain; karakteristik spektral citra, visualisasi, floristik, geografi dan phsygonomik (Hartono,  2003 dalam Baderan, 2013).  Pada pengenalan objek melalui citra yang dihasilkan oleh sistem satelit lebih banyak didasarkan atas karakteristik spektral. Obyek yang berbeda akan memberikan pantulan spektral yang berbeda pula, bahkan obyek yang sama dengan kondisi dan kerapatan yang berbeda akan memberikan nilai spektral yang berbeda (Swain dan Davis, 1978 dalam Baderan, 2013).
Menurut Danoedoro (2009) dalam Baderan (2013), kajian ekosistem mangrove melalui pendekatan secara spasial dapat diterapkan dengan menggunakan citra skala besar atau resolusi spasial tinggi. Melalui pendekatan spasial akan terlihat tekstur kanopi dan lokasi yang menjadi fokus penelitian. Untuk melihat apakah terdapat mangrove dan bukan mangrove dapat menggunakan citra resolusi sedang-rendah yang tercetak pada skala 1:100.000 hingga 1:300.000 dengan asumsi bahwa lebar satuan pemetaan terkecil adalah 1 mm atau setara 100-300 meter. Meskipun demikian, pada kenyataannya, lebar 1 zona mangrove bisa kurang dari 15 meter, dan pada citra tercetak zona ini bisa teridentifikasi dan terpetakan hingga 1mm. Dengan demikian, skala paling kasar untuk pemetaan detil zona mangrove ialah 1:15.000 (meskipun penggambaran satu zona selebar 1 mm akan kurang akurat) dan resolusi spasial paling kasar sekitar 2,5-4 m.
Pemasukan data dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu: pelarikan atau penyiaman (scanning), digitasi, dan tabulasi. Komponen manajemen data meliputi semua operasi penyiapan, pengaktifan, penyimpanan kembali dan pencetakan semua data yang diperoleh dari masukan data.  Manipulasi dan analisis data untuk menghasilkan informasi baru (Danoedoro, 1996 dalam Baderan, 2013).
Kajian bidang penginderaan jauh pada vegetasi lebih banyak tertuju pada reflektansi dari gelombang sinar tampak dan infra merah dekat (Near Infrared) yang membentuk hubungan yang kuat pada spectral dari vegetasi hijau yang sering disebut juga sebagai" red edge" (Huete, 1998 dalam Djumhaer, 2003). Nilai reflektansi dari sinar tampak dan inframerah dekat akan Jebih jelas perbedaannya pada analisis vegetasi hijau bila dibandingkan dengan analisis permukaan tanah (Ray, 1995 dalam Djumhaer, 2003).


2.4      Landset

Satelit Landset adalah salah satu jenis satelit sumber daya bumi yang dikembangkan oleh NASA dan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat.  Jenis satelit ini tergolong dalam dua jenis generasi yaitu jenis generasi pertama dan jenis generasi kedua. Generasi pertama merupakan jenis satelit Landsat 1 sampai dengan Landsat 3.  Sedangkan jenis Satelit generasi kedua adalah satelit yang membawa dua jenis sensor yaitu sensor MSS dan sensor Thematic Mapper (TM) (Budiyanto, 2002 dalam Harahap, 2011).
Peta tematik direncanakan memiliki tujuh buah saluran spektral yang dirancang untuk memaksimumkan kemampuan analisis vegetasi untuk terapan bidang pertanian. Saluran spektral yang diusulkan untuk pengandaraan pemeta tematik antara lain: saluran satu (0,45 μm-0,52 μm); saluran dua (0,52 μm-0,60 μm); saluran tiga (0.63 μm-0,69 μm); saluran empat (0,76 μm -0,90 μm); saluran lima (1,55 μm-1,75 μm); saluran enam (2,08 μm-2,35 μm); dan saluran ketujuh (10,40 μm-12,50 μm) (Lillesand dan Kiefer, 1990 dalam Aqsar, 2009). Adapun beberapa contoh aplikasi landsat yang telah di gunakan untuk menganalisa NDVI, seperti citra landsat ETM , citra landsat TM serta citar landsat OLI.
2.5.            NDVI (Normalized Difference Vegetation Indeks)
NDVI (Normalized Difference Vegetation Indeks) merupakan pengukuran keseimbangan antara energi yang diterima dengan energi yang dipancarkan oleh obyek di bumi. Ketika NDVI diterapkan pada komunitas tumbuhan, indeks tersebut dapat menentukan nilai untuk mengetahui seberapa hijaunya suatu kawasan yang dapat mengekspresikan jumlah keberadaan vegetasi dan tingkat kesehatan atau kekuatan pertumbuhannya (Meneses-Tovar, 2011 dalam Fathurrohmah at. al, 2013).
NDVI merupakan metode untuk mendapatkan indeks kehijauan dari tutupan vegetasi melalui citra satelit. Indeks ini memanfaatkan karakteristik kontras dua band multispektral dari raster dataset yaitu:
1.    Serapan pigmen klorofil pada band merah, dan
2.    Reflektifitas tinggi dari bahan tanaman pada band inframerah dekat (NIR).
NDVI =

 
Adapun Persamaan NDVI menurut Fathurrohma et. al, 2013, yaitu:

                                     
Dimana  :
NIR       : Band Near Infra Red (Inframerah Dekat)
R           : Band Red (Merah).
The Normalised Perbedaan Indeks Vegetasi (NDVI) adalah ukuran perbedaan pantulan antara rentang panjang gelombang. NDVI mengambil nilai antara -1 dan 1, dengan nilai 0,5 mengindikasikan vegetasi yang lebat dan nilai-nilai <0 menunjukkan tidak ada vegetasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar