ANALISIS SEBARAN SPASIAL DAN
KERAPATAN EKOSISTEM MANGROVE
OLEH
JALIPATI TUHETERU
FORUM KAJIAN PENELITI
PERIKANAN
KOMUNITAS DEHETO HULONTHALO
FISHERIES OF RESEARCH
2015
1.1.Sumberdaya
Mangrove
A. Pengertian Mangrove
Asal
usul istilah dari mangrove belum
diketahui secara pasti. Ada yang mengatakan istilah tersebut merupakan perpaduan dari bahasa Portugis
dan dari bahasa Inggris. Bangsa Portugis menyebut salah satu jenis pohon
mangrove sebagai ‘mangue’ dan istilah Inggris ‘grove’, bila
disatukan akan menjadi ‘mangrove’ atau ‘mangrave’ (Jayatissa at. al,
2002 dan Sivasothi, 2001 dalam Setiawan
et. al, 2003 dan Talib, 2008). Ada kemungkinan pula istilah mangrove berasal
dari bahasa melayu, yang menyebut jenis tanaman ini dengan ‘mangi-mangi’
atau ‘mangin’. Menurut Sidik
(2005) dalam Djafar (2014), mangrove
memiliki arti ganda, yaitu sebagai
komunitas dan individu spesies. Komunitas mangrove umumnya disebut “mangal” dan
“mangrove” merupakan sebutan untuk
individu tumbuhan. Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman
yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut
(Irwanto, 2006 dalam Talib, 2008).
Hutan
mangrove merupakan tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara
sungai. Mangrove hidup pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai
yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau di
belakang terumbu karang di lepas pantai (Nontji, 1987 dalam Baderan, 2013).
Mangrove
adalah komunitas vegetasi pantai tropis dimana terdapat banyak spesies
pohon-pohonan yang khas atau semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan
berkembang di wilayah perairan pantai (Nybakken, 1992; 1988 dalam Djafar, 2014; dan Talib, 2008
). Hutan mangrove merupakan tipe hutan
tropis yang khas dan tumbuh di perairan pantai atau muara sungai yang
dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Levinton, 2005 dalam Hidayah, 2011). Anwar et.
al (1984) dalam Talib
(2008), mendefinisikan hutan mangrove
merupakan formasi tumbuhan litoral yang hidup dan berkembang di perairan pantai
yang terlindung dari ombak besar dan umumnya tersebar di daerah tropis dan
subtropis. Sedangkan pengertian dari
kata mangrove menurut Darsidi (1986) dalam
Talib (2008) adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang-surut
namun terdapat juga pada pantai karang dan daratan koral mati yang di atasnya
terdapat lumpur atau terdapat pada daerah berlumpur.
Ekosistem
mangrove sering disebut juga sebagai hutan payau karena tumbuh di air payau,
sedangkan hutan mangrove yang didominasi oleh jenis-jenis bakau disebut hutan bakau
(Talib, 2008).
B. Karakteristik Mangrove dan Kondisi Lingkungan
Pertumbuhan Hutan
Mangrove
Menurut
Bengen dan Dutton (2004) dalam Talib
(2008), karakteristik utama ekosistem mangrove di Indonesia adalah sebagai
berikut :
1.
Tidak dipengaruhi oleh faktor
iklim, tapi dipengaruhi oleh kondisi pasang surut,
2.
Terletak pada tanah
yang sebagian besar terdiri dari lumpur dan pasir yang tergenang oleh air laut,
3.
Terletak pada daerah
pantai yang landai,
4.
Tidak terstruktur
berdasarkan penutupannya/stratifikasi berdasarkan tegakan; jenis-jenis pohon
mulai dari laut ke darat adalah Rhizophora, Avicennia, Sonneratia,
Xylocarpus, Lumnitzera, Bruguiera, dan Nypa fruiicans,
5.
Terdiri dari
pohon-pohon yang dapat tumbuh mencapai lebih dari 30 meter,
6.
Komposisi vegetasinya dari pantai adalah Avicennia,
Sonneratia, Rhizophora, Rhizophora, Bruguiera, Xylocarpus,
Lumnitzera, dan Nypa fructicans,
7.
Komposisi dari
spesies-spesies vegetasi yang berasosiasi adalah Acrostichum aureum,
Acanthus ilicifolius, A. Ebracteatus.
Karakteristik
dari hutan mangrove, diantaranya secara spesifik menahan erosi dan abrasi laut
dari kerusakan pantai akibat hempasan gelombang air laut. Adapun kondisi
ekologis yang mengatur dan melindunginya, sangat tergantung kepada keseimbangan
dari persediaan kadar garam dan air tawar, nutrisi yang cukup dan substrat yang
stabil. Perakaran mangrove yang kuat
mampu meredam gerak pasang surut, juga mampu terendam dalam air yang kadar
garamnya bervariasi. Lebih dari itu, perakaran mangrove dapat mengendalikan
lumpur, sehingga ia mampu memperluas penambahan formasi dan “surfacing land“
(McKee, 1996 dalam Wijaya, 2011).
Peristiwa
pasang-surut merupakan peristiwa yang berpengaruh langsung terhadap ekosistem
mangrove yang menyebabkan komunitas ini didominasi oleh spesies-spesies pohon
yang keras yang memiliki manfaat terbesar terhadap perairan payau. Mangrove tumbuh dan berkembang dengan baik
dari ketinggian permukaan laut hingga pada rata-rata permukaan pasang. Jenis
tanaman tersebut bukan saja harus toleran terhadap garam, melainkan juga harus
mampu menahan kondisi tergenang dan kondisi-kondisi bawah yang anaerobik
(Talib, 2008).
Hutan
mangrove tumbuh subur dan luas di daerah delta dan aliran sungai yang besar
dengan muara yang lebar. Jika di daerah
pantai tidak ada aliran sungai, maka daerah mangrovenya sempit. Hutan mangrove mempunyai toleransi terhadap
kadar garam dan dapat tumbuh dan berkembang di daratan bersalinitas tinggi di
mana tanaman biasa tidak dapat tumbuh (Hukom et.
al, 2012).
Menurut Hukom et. al
(2012) hutan mangrove adalah ekosistem yang kompleks dimana terdiri atas flora
dan fauna daerah pantai, hidup sekaligus di wilayah daratan dan air laut,
diantara batas air pasang dan surut. Hutan mangrove berfungsi untuk
melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut dan angin topan. Fungsi
tanaman mangrove juga sebagai buffer
(perisai alam) yang menstabilkan tanah dengan menangkap dan memerangkap endapan
material dari darat yang terbawa air sungai dan yang kemudian terbawa ke tengah
laut oleh arus.
Dalam
suatu paparan, mangrove disuatu tempat tidak harus terdapat semua spesies jenis
mangrove. Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi,
dan efek neotetonik (Djafar, 2012). Santoso (2008) dalam Djafar (2012), menjelaskan bahwa komposisis spesies dan
karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor, cuaca, bentuk lahan
pesisir, jarak antara pasang surut air laut, ketersediaan air tawar dan tipe
tanah. Daya adaptasi tiap jenis akan
menentukan komposisi jenis tiap zonasi (Bengen dan Dutton, 2004 dalam Talib, 2008).
Ekosistem
mangrove bersifat kompleks dan dinamis tetapi labil. Kompleks, karena ekosistem
mangrove merupakan habitat berbagai jenis satwa daratan dan biota perairan.
Kemudian dinamis, karena zonasi ekosistem mangrove dapat berubah sesuai dengan
tempat tumbuh serta dapat terus tumbuh dan berkembang, dan labil, karena sulit
untuk pulih kembali ketika mangrove mengalami kerusakan (Kusmana, 1995 dalam Talib, 2008). Ekosistem mangrove
merupakan suatu sistem tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan
hubungan interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan antar sesama
makhluk hidup itu sendiri (Santoso, 2000 dalam
Djafar, 2014).
C. Fungsi
& Manfaat Mangrove
Menurut
Chapman (1995) dalam Wijaya (2011),
ekosistem mangrove terdiri 5 (lima) habitat yang merupakan fungsi bagi fauna,
antara lain sebagai berikut :
1.
Tajuk pohon yang dihuni
oleh berbagai jenis burung, mamalia, dan serangga.
2.
Lubang yang terdapat di
cabang dan genangan air di cagak antara batang dan cabang pohon yang merupakan
habitat yang cukup baik untuk serangga (terutama nyamuk).
3.
Permukaan tanah sebagai
habitat mudskipper dan keong/kerang.
4.
Lubang permanen dan semi
permanen di dalam tanah sebagai habitat kepiting dan katak.
5.
Saluran-saluran air
sebagai habitat buaya dan ikan/udang.
Ekosistem
mangrove mempunyai fungsi
sebagai penyaring bahan nutrisi dan penghasil bahan organik, serta
berfungsi sebagai daerah penyangga antara daratan dan lautan. Hutan mangrove memiliki fungsi dan
manfaat, antara lain; sebagai peredam gelombang dan angin badai,
pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen, penghasil sejumlah
besar detritus dari daun dan pohon mangrove, daerah asuhan (nursery grounds),
daerah mencari makan (feeding grounds) dan daerah pemijahan (spawning
grounds) berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya; penghasil kayu
untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang, dan bahan baku kertas
(pulp); pemasok larva ikan, udang, dan biota laut lainnya, dan sebagai
tempat pariwisata (Bengen, 2004 dalam
Talib, 2008).
Selain
fungsi di atas, Ong (2002) dalam
Setyawan, at. al (2003), menjelaskan
bahwa mangrove memiliki fungsi ekologi yang tidak kalah penting, antara lain untuk
menyaring dan menangkap bahan pencemar, menjaga stabilitas pantai dari erosi,
intrusi air laut, dan tekanan badai, membentuk daratan baru, menjaga kealamian
habitat, serta memiliki fungsi sosial sebagai area konservasi, pendidikan, ekoturisme,
dan identitas budaya.
D. Zonasi Mangrove
Zonasi
merupakan suatu fenomena ekologi yang menarik di perairan pesisir, yang
merupakan daerah yang terkena ritme pasang-surut air laut. Pengaruh dari
pasang-surut air laut yang berbeda untuk tiap zona memungkinkan berkembangnya
komunitas yang khas untuk masing masing zona di daerah ini (Peterson, 1991 dalam Talib 2008).
Baderan
(2013), menjelaskan bahwa zonasi hutan mangrove ditentukan oleh keadaan tanah,
salinitas, penggenangan, pasang surut, laju pengendapan dan pengikisan serta
ketinggian nisbi darat dan air. Zonasi juga menggambarkan tahapan suksesi yang
searah atau sejalan dengan perubahan tempat tumbuhnya mangrove. Perubahan
tempat tumbuh bersifat sangat dinamis disebabkan oleh adanya laju pengendapan
atau pengikisan. Daya adaptasi suatu jenis mangrove terhadap keadaan tempat
tumbuh dapat menentukan komposisi jenis mangrove pada tiap zonasi. Suatu jenis
akan menggantikan jenis yang lain apabila zonasi tumbuh mangrove Semakin jauh
dari laut, proses ini dapat terjadi sampai ke daerah peralihan yang berbatasan
dengan komunitas rawa, air tawar dan hutan pedalaman.
Noor
et. al (2006) dalam Djafar (2014), menjelaskan bahwa secara sederhana mangrove
umumnya tumbuh dalam empat zona yaitu pada daerah terbuka, daerah tengah,
daerah yang memiliki sungai berair payau sampai hampir tawar, dan daerah kearah
daratan yang memiliki air tawar. Lebih lanjut Noor et. al (2006) dalam
Djafar (2014), menjelaskan tentang
mengrove terbuka, mangrove tengah, mangrove payau serta mangrove daratan sebagai
berikut :
1.
Mangrove terbuka
Merupakan mangrove yang terdapat
pada bagian yang berhadapan dengan laut. Pada zona ini banyak terdapat jenis
mangrove Sonneratia alba.
2.
Mangrove tengah
Di zona ini, posisi mengrove
terdapat di belakang mangrove zona terbuka dan biasanya di dominasi oleh jenis
mangrove Rhizophora.
3.
Mangrove payau
Jenis mangrove ini berada di
sepanjang sungai berair payau hingga hampir berair tawar. Jenis mangrove yang
dominan adalah Nyipa atau Sonneratia.
4.
Mangrove daratan
Mangrove daratan terletak di zona
perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove yang
sebenarnya. Berdasarkan data dari Menteri Negara Lingkungan Hidup tahun 1993,
bahwa jenis mangrove yang umum terdapat pada zona ini adalah jenis Ficus microcarpus, Intsia bijuga, Lumnitzera racemosa, Pandanus sp, dan Xylocarpus moluccensis. Pola sebaran zonasi mangrove dapat dilihat
pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar
1. Pola Zonasi Mangrove (Bengen, 2004 dalam
Talib, 2008)
Zonasi
mangrove dipengaruhi oleh salinitas, toleransi terhadap ombak dan angin,
toleransi terhadap lumpur (keadaan tanah), frekuensi tergenang oleh air laut.
Zonasi yang menggambarkan tahapan suksesi yang sejalan dengan perubahan tempat
tumbuh. Perubahan tempat tumbuh sangat bersifat dinamis yang disebabkan oleh
laju pengendapan atau pengikisan.
Mangrove
tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan
bersubstrat lumpur, sedangkan di wilayah pesisir yang tidak terdapat muara
sungai, pertumbuhan hutan mangrove tidak optimal. Menurut Aksornkoae
(1993) dalam Baderan (2013), mangrove
juga dapat tumbuh dengan baik di substrat berlumpur dan perairan pasang yang
menyebabkan kondisi anaerob, hal ini disebabkan mangrove memiliki akar-akar
khusus yang berfungsi sebagai penyangga sekaligus penyerap oksigen dari udara
di permukaan air secara langsung.
2. 2 Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem
informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial
atau berkoordinat geografi atau dengan kata lain suatu SIG adalah suatu sistem
basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi
keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus dan
Wiradisastra, 2000 dalam Rosadi, 2012). Sedangkan menurut Anon (2001) dalam Rosadi (2012), Sistem Informasi
geografis
adalah suatu sistem Informasi yang dapat memadukan antara data grafis (spasial)
dengan data teks (atribut) objek yang dihubungkan secara geografis di bumi
(georeference). Disamping itu, SIG juga
dapat menggabungkan data, mengatur data dan melakukan analisis data yang
akhirnya akan menghasilkan keluaran yang dapat dijadikan acuan dalam
pengambilan keputusan pada masalah yang berhubungan dengan geografis (Rosadi, 2012).
SIG mampu menganalisis dan
mengkonversi sekumpulan data spasial menjadi informasi untuk keperluan
tertentu. Kunci kemampuan SIG adalah analisis data untuk menghasilkan informasi
baru. Salah satunya dengan tumpangsusun peta (overlay). SIG menyediakan
fasilitas tumpangsusun secara cepat untuk menghasilkan satuan pemetaan baru
sesuai dengan kriteria yang dibuat (Danoedoro, 1996 dalam Baderan, 2013).
Dilihat dari defenisinya, SIG adalah suatu sistem yang terdiri dari
berbagai komponen yang tidak dapat berdiri sendiri-sendiri. SIG memiliki perangkat keras komputer beserta
dengan perangkat lunaknya belum berarti bahwa kita sudah memiliki SIG apabila
data geografis dan sumberdaya manusia yang mengoperasikannya belum ada.
Kemampuan sumberdaya manusia untuk memformulasikan persoalan dan menganalisa
hasil akhir sangat berperan dalam keberhasilan SIG (Baderan, 2013).
Menurut
Rosadi (2012), kekuatan dari SIG adalah terbentuknya New Information
dari hasil analisis basis data, melalui berbagai proses yang dapat dilakukan
pada SIG , melalui (1) Pemrosesan data atribut (Query dan Kalkulasi),
(2) Pemrosesan data grafis (mengubah skala, mengubah sistem proyeksi, rotasi
dan translasi, pengkondisian (Spasial Querying), tumpang-susun (Overlay), re-klasifikasi,
jarak dan buffer, model elevasi/medan digital, pemodelan spasial dan
kalkulasi data grafis); dan (3) Terpadu antara data grafis dan atribut (pengkaitan
atribut ke grafis dengan simbol area, warna, angka, diagram).
Pada
dasarnya penginderaan jauh tidak pernah lepas dari Sistem Informasi Geografi (SIG). Data-data spasial hasil penginderaan jauh
merupakan salah satu data dasar yang dipergunakan dalam analisis SIG. Dalam perkembangannya data-data SIG juga
berguna dalam pengolahan data penginderaan jauh (Barus dan Wiradisastra, 2000 dalam Rosadi, 2012). SIG sangat baik
dalam proses manajemen data, baik itu data atribut maupun data spasialnya.
Integrasi antara data spasial dan data atribut dalam suatu sistem
terkomputerisasi yang bereferensi geografi merupakan keunggulan dari SIG (Rosadi, 2012).
Data
penginderaan jauh dapat menangkap dan mengindentifikasi berbagai macam objek di
wilayah pesisir seperti rumput laut, terumbu karang, keadaan pasir, padang
lamun, keberadaan mangrove, penggunaan lahan, serta sebaran vegetasi lainnya
yang merupakan suatu ekosistem wilayah pesisir ( Rosadi, 2012). Data-data tersebut bisa diintegrasikan dengan
data-data SIG seperti batas administrasi, jumlah penduduk, kondisi jalan,
kondisi sungai serta bentuk topografi suatu lahan maupun topografi pantai dan
lautnya. Selain pemanfaatan data-data SIG tersebut, SIG juga dapat
menganalisis data-data spasial sehingga memberikan bentuk lain dari data
spasial masukkan sebelumnya yang akan berguna dalam menentukan nilai Indeks
Kepekaan Lingkungan (Rosadi, 2012).
Sistem
Informasi Geografi merupakan suatu sistem informasi yang dirancang
pelaksanaannya dengan mendasarkan pada letak spasial atau koordinat geografi.
Dengan kata lain, SIG merupakan suatu sistem “data base” yang memiliki
kemampuan tertentu untuk data yang bereferensi spasial dan juga merupakan
serangkaian proses kerja dengan data spasial dan atribut (Rosadi, 2012). Star
and Estes (1990) dalam Rosadi (2012),
menyatakan bahwa pemahaman terhadap lingkungan alam dan gejala-gejalanya
(termasuk bencana alam) dapat dilakukan dengan menerapkan konsep empat M. Empat
M tersebut adalah pengukuran (measurement),
pemetaan (mapping), pantauan (monitoring) dan pembuatan model (modeling). Data penginderaan jauh
merupakan input penting pada SIG karena datanya muthakir, lengkap dan cepat
diperoleh.
Contoh
aplikasi SIG yang meliputi 4M, dimana M pertama adalah Measurement;
misalnya pengembangan pemodelan (SIG) untuk mengetahui tingkat kerusakan
ekosistem mangrove. Kedua adalah Mapping: pemetaan ekosistem
mangrove,
ketiga adalah Monitoring; monitoring ekosistem mangrove dalam konteks kelestarian
lingkungan; dan keempat adalah Modeling, misalnya model valuasi ekonomi sebagai dasar
untuk rehabilitasi kerusakan ekosistem mangrove.
Keunggulan
dari SIG adalah kemampaunnya menangani data spasial bereferensi geografi yang
berintegrasi dengan data atribut sehingga data-data tersebut dapat dianalisis
bentuk keruangannya. Hasil analisis tersebut seperti panjang, luas, volume,
keterkaitan, klasifikasi dan perkiraan yang berbentuk tampilan spasial. Keadaan
tersebut diperoleh dari analisis dan manipulasi data spasial yang merupakan
keunggulan lain dari SIG.
Adapun contoh analisis dan manipulasi
data spasial yang dilakukan dalam SIG seperti overlay, interpolasi, buffering
dan klasifikasi (Rosadi, 2012).
2.3. Penginderaan
Jauh (INDERAJA)
Menurut Howard (1996) dalam Aqsar (2009), Penginderaan jauh
merupakan suatu teknik pengukuran atau perolehan informasi dari beberapa sifat
obyek atau fenomena dengan menggunakan alat perekam yang secara fisik tidak
terjadi kontak langsung atau bersinggungan dengan obyek atau fenomena yang
dikaji. Lillesand dan Kiefer (1994) dalam
Kasim (2013), menjelaskan bahwa penginderaan jauh merupakan ilmu dan teknologi untuk memperoleh informasi
tentang objek, wilayah atau fenomena dengan menggunakan suatu
alat tanpa melakukan kontak langsung dengan objek, wilayah atau gejala yang
dikaji. Sedangkan
menurut Darmawan (2001), penginderaan jauh merupakan ilmu dan teknologi pengumpulan informasi tentang permukaan bumi berdasarkan perekaman energi pantul dan pancaran obyek,
pemrosesan, analisis dan pengaplikasian informasi tersebut.
Penginderaan jauh merupakan suatu metode untuk pengenalan
dan penentuan objek dipermukaan bumi tanpa harus melakukan kontak langsung
dengan objek tersebut. Data penginderaan jauh dapat bersifat kontinyu karena
mempunyai resolusi temporal, dapat digunakan untuk berbagai aplikasi karena
resolusi spektralnya dan ditampilkan dalam berbagai bentuk skala karena
resolusi spasialnya. Penginderaan jauh mempunyai kemampuan untuk menghasilkan
data spasial yang susunan geometrinya mendekati keadaan sebenarnya dari
permukaan bumi dalam jumlah yang banyak dan waktu yang cepat (Rosadi, 2012).
Data
penginderaan jauh dapat dikatakan sebagai sumber data yang terpenting bagi SIG
karena ketersediaannya secara berkala. Dengan adanya bermacam-macam satelit di
ruang angkasa dengan spesifikasinya masing-masing, kita bisa menerima berbagai
jenis citra satelit untuk beragam tujuan pemakaian. Beberapa
satelit yang terdapat di luar angkasa, seperti Ikonos, Spot, Lansat 7, Lansat 8
dan Alos.
Data-data yang
diperoleh dari berbagai jenis citra satelit itulah biasanya direpresentasikan dalam
format raster seperti data citra satelit . Data citra penginderaan jauh dapat
diinterpretasi terlebih dahulu sebelum dikonversi kedalam bentuk digital. Citra yang diperoleh dari satelit
yang sudah dalam bentuk digital dapat langsung digunakan setelah diadakan
koreksi seperlunya. Lebih lanjut dinyatakan ketiga sumber tersebut saling
mendukung satu terhadap yang lain. Data lapangan dapat digunakan untuk membuat
peta. Data penginderaan jauh juga
memerlukan data yang di peroleh dari lapangan seperti
data titik kordinat
untuk lebih memastikan kebenaran data tersebut. Jadi ketiga sumber data saling
berkaitan, melengkapi dan mendukung, sehingga tidak boleh ada yang terabaikan (Rosadi, 2012). Contohnya adalah perencanaan
pengelolaan wilayah pesisir dengan memanfaatkan sistem informasi geografis dan
penginderaan jauh.
Penginderaan jauh menyediakan
satu-satunya cara efisien untuk pemetaan dan pemantauan perubahan ekologi pada
daerah yang luas. Sehubungan dengan zona ekologis, penginderaan jauh
menyediakan sarana untuk mengamati daerah-daerah pada skala yang global dan
lokal. Identifikasi obyek dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh
dilaksanakan dengan beberapa pendekatan antara lain; karakteristik spektral
citra, visualisasi, floristik, geografi dan phsygonomik (Hartono, 2003 dalam
Baderan, 2013). Pada pengenalan
objek melalui citra yang dihasilkan oleh sistem satelit lebih banyak didasarkan
atas karakteristik spektral. Obyek yang berbeda akan memberikan pantulan
spektral yang berbeda pula, bahkan obyek yang sama dengan kondisi dan kerapatan
yang berbeda akan memberikan nilai spektral yang berbeda (Swain dan Davis, 1978
dalam Baderan, 2013).
Menurut Danoedoro (2009) dalam Baderan (2013), kajian ekosistem
mangrove melalui pendekatan secara spasial dapat diterapkan dengan menggunakan
citra skala besar atau resolusi spasial tinggi. Melalui pendekatan spasial akan
terlihat tekstur kanopi dan lokasi yang menjadi fokus penelitian. Untuk melihat
apakah terdapat mangrove dan bukan mangrove dapat menggunakan citra resolusi
sedang-rendah yang tercetak pada skala 1:100.000 hingga 1:300.000 dengan asumsi
bahwa lebar satuan pemetaan terkecil adalah 1 mm atau setara 100-300 meter.
Meskipun demikian, pada kenyataannya, lebar 1 zona mangrove bisa kurang dari 15
meter, dan pada citra tercetak zona ini bisa teridentifikasi dan terpetakan
hingga 1mm. Dengan demikian, skala paling kasar untuk pemetaan detil zona
mangrove ialah 1:15.000 (meskipun penggambaran satu zona selebar 1 mm akan
kurang akurat) dan resolusi spasial paling kasar sekitar 2,5-4 m.
Pemasukan data dapat dilakukan dengan
tiga cara, yaitu: pelarikan atau penyiaman (scanning), digitasi, dan
tabulasi. Komponen manajemen data meliputi semua operasi penyiapan,
pengaktifan, penyimpanan kembali dan pencetakan semua data yang diperoleh dari
masukan data. Manipulasi dan analisis
data untuk menghasilkan informasi baru (Danoedoro, 1996 dalam Baderan, 2013).
Kajian bidang penginderaan
jauh pada vegetasi lebih banyak tertuju pada reflektansi dari gelombang sinar tampak dan infra merah dekat (Near
Infrared) yang membentuk hubungan yang kuat pada
spectral dari vegetasi hijau yang sering disebut juga sebagai" red
edge" (Huete, 1998 dalam
Djumhaer, 2003). Nilai reflektansi dari sinar tampak dan inframerah dekat akan
Jebih jelas perbedaannya pada analisis vegetasi hijau
bila dibandingkan dengan analisis permukaan tanah (Ray, 1995 dalam Djumhaer, 2003).
2.4
Landset
Satelit Landset adalah
salah satu jenis satelit sumber daya bumi yang dikembangkan oleh NASA dan
Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat.
Jenis satelit ini tergolong dalam dua jenis generasi yaitu jenis
generasi pertama dan jenis generasi kedua. Generasi pertama merupakan jenis
satelit Landsat 1 sampai dengan Landsat 3.
Sedangkan jenis Satelit generasi kedua adalah satelit yang membawa dua
jenis sensor yaitu sensor MSS dan sensor Thematic Mapper (TM) (Budiyanto, 2002 dalam Harahap, 2011).
Peta tematik direncanakan
memiliki tujuh buah saluran spektral yang dirancang untuk memaksimumkan
kemampuan analisis vegetasi untuk terapan bidang pertanian. Saluran spektral
yang diusulkan untuk pengandaraan pemeta tematik antara lain: saluran satu
(0,45 μm-0,52 μm); saluran dua (0,52 μm-0,60 μm); saluran tiga (0.63 μm-0,69
μm); saluran empat (0,76 μm -0,90 μm); saluran lima (1,55 μm-1,75 μm); saluran
enam (2,08 μm-2,35 μm); dan saluran ketujuh (10,40 μm-12,50 μm) (Lillesand dan
Kiefer, 1990 dalam Aqsar, 2009). Adapun
beberapa contoh aplikasi landsat yang telah di gunakan untuk menganalisa NDVI,
seperti citra landsat ETM , citra landsat TM serta citar landsat OLI.
2.5.
NDVI (Normalized
Difference Vegetation Indeks)
NDVI (Normalized Difference Vegetation
Indeks) merupakan pengukuran keseimbangan antara
energi yang diterima dengan energi yang dipancarkan oleh obyek di bumi. Ketika NDVI
diterapkan pada komunitas tumbuhan, indeks tersebut dapat menentukan nilai
untuk mengetahui seberapa hijaunya suatu kawasan yang dapat mengekspresikan
jumlah keberadaan vegetasi dan tingkat kesehatan atau kekuatan pertumbuhannya
(Meneses-Tovar, 2011 dalam Fathurrohmah at. al, 2013).
NDVI
merupakan metode untuk mendapatkan indeks kehijauan dari tutupan vegetasi
melalui citra satelit. Indeks ini memanfaatkan karakteristik kontras dua band
multispektral dari raster dataset yaitu:
1. Serapan
pigmen klorofil pada band merah, dan
2. Reflektifitas
tinggi dari bahan tanaman pada band inframerah dekat (NIR).
|
Dimana
:
NIR
: Band Near Infra Red
(Inframerah Dekat)
R : Band Red (Merah).
The Normalised Perbedaan Indeks Vegetasi
(NDVI) adalah ukuran perbedaan pantulan antara rentang panjang gelombang. NDVI
mengambil nilai antara -1 dan 1, dengan nilai 0,5 mengindikasikan vegetasi yang
lebat dan nilai-nilai <0 menunjukkan tidak ada vegetasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar