ANALISIS
PERIKANAN TUNA RAMAH LINGKUNGAN
OLEH
SANDRY DJUNAIDI
SANDRY DJUNAIDI
FORUM KAJIAN
PENELITI PERIKANAN
KOMUNITAS DEHETO
HULONTHALO
FISHERIES OF
RESEARCH
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perairan laut Indonesia kaya dengan sumberdaya ikan
tuna karena terletak di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia yang
merupakan habitat utama ikan tuna. Wilayah perairan laut Indonesia, yang
meliputi perairan pesisir (pedalaman), perairan teritorial, perairan laut
dalam, dan ZEEI merupakan jalur migrasi beberapa jenis ikan tuna (Dahuri,
2008).
Sumber daya ikan tuna yang memiliki
nilai ekonomis penting, banyak tersebar hampir di seluruh wilayah perairan
Indonesia. Nilai ekonomis yang dimiliki ikan tuna menjadikannya sebagai salah
satu komoditas utama dari sub sektor perikanan yang berguna untuk konsumsi ikan
skala lokal maupun ekspor. (DKP, 2005). Potensi
ikan tuna di perairan Indonesia masih cukup besar. Hal ini ditunjukkan dengan
volume produksi ikan tuna pada tahun 2007 yaitu sebesar 191.558 ton (DKP,
2008).
Salah satu cara meningkatkan produksi tuna adalah
melalui peningkatan unit upaya (effort) yaitu dengan mengerahkan unit
atau armada penangkapan ikan menuju lokasi yang diduga padat populasinya. Agar
tetap terjaga kelestariannya diperlukan pengelolaan secara rasional yaitu
meliputi pendugaan musim ikan dan bagaimana perubahannya sebagai respon dari
kegiatan eksploitasi (Lintang., dkk., 2012).
Untuk dapat memanfaatkan sumberdaya ikan tuna secara
optimal dan berkelanjutan, diperlukan kajian yang konprehensif terhadap usaha
nelayan di lapangan, sehingga kekhawatiran akan degradasi daya dukung sumberdaya
perikanan dimasa mendatang dapat teratasi. Selain itu, di lapangan menunjukkan
bahwa tidak semua unit penangkapan ikan yang dipakai nelayan memenuhi kriteria
bertanggung jawab. Jika alat yang dipakai tidak ramah lingkungan, maka
keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan tuna perlu dipertanyakan.
Sehingganya perlu adanya pengetahuan tentang perikanan tuna yang ramah
lingkungan dan dapat memberikan informasi bahwa pentingnya untuk menjaga
kelestarian lingkungan khususnya di perikanan tuna.
1.2 Tujuan
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui analisis perikanan tuna yang
ramah lingkungan.
1.3 Manfaat
Penulisan
makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai:
1) Informasi
bagi nelayan mengenai perikananan tuna yang yang ramah lingkungan
2) Informasi
bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan pengelolaan perikanan tuna yang
ramah lingkungan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tuna
Ikan tuna termasuk
dalam keluarga Scombroidae, tubuhnya seperti cerutu. Mempunyai dua sirip pungung, sirip depan yang biasanya pendek dan
terpisah dari sirip belakang.
Mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Sirip dada
terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari penyokong menutup
seluruh ujung hipural. Tubuh ikan
tuna tertutup oleh sisik-sisik kecil, berwarna biru tua dan agak gelap pada bagian atas tubuhnya, sebagian besar memiliki
sirip tambahan yang berwarna kuning
cerah dengan pinggiran berwarna gelap (Ditjen Perikanan, 1983).
Tuna termasuk perenang
cepat dan terkuat di antara ikan-ikan yang berangka tulang. Penyebaran ikan
tuna mulai dari laut merah, laut India, Malaysia, Indonesia dan sekitarnya.
Juga terdapat di laut daerah tropis dan daerah beriklim sedang (Djuhanda, 1981 dalam Ma’arif 2011). Adapun beberapa
species ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar
1. Beberapa spesies ikan tuna (Sumber : Ma’arif 2011).
Menurut Saanin (1984) dalam Ma’arif (2011), ikan tuna diklasifikasikan
sebagai berikut:
Kingdom: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Pisces
Ordo: Percomorphi
Famili: Scombridae
Species: Thunnus
alalunga
Thunnus obesus
Thunnus thynnus
Thynnus oreintalis
Thunnus maccoyii
Thunnus
albacores
Menurut Collette (1994) dalam Ma’arif (2011), ikan tuna dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
1)
Albacore (Thunnus alalunga)
Ikan tuna jenis ini membentuk busur kuat ke arah
belakang dibanding dengan jenis ikan tuna lain. Sirip dada sangat panjang
mencapai 30% panjang tubuh atau berkisar lebih dari 50 cm. Albacore tersebar
di semua perairan tropik dan perairan-perairan bersuhu sedang. Ikan ini
bersifat epipelagik, mesopelagik, dan oceanic. Tempat penyebarannya pada
kedalaman antara 300 m dan maksimal pada 600 m. Ukuran panjang badan maksimal
tuna ini adalah 120 cm dengan berat badan maksimal 60 kg.
2)
Bigeye (Thunnus obesus)
Bigeye merupakan
salah satu jenis ikan tuna dengan ukuran besar, sirip dada cukup panjang pada
individu yang besar dan dapat menjadi sangat panjang pada ukuran tuna yang
masih kecil. Warna bagian bawah perut putih, garis-garis sisi seperti sabuk
biru yang membujur di sepanjang badan. Ikan tuna jenis bigeye ini
memiliki dua sirip punggung (D1) berwarna kuning terang sedangkan sirip
punggung dua (D2) berwarna kuning muda. Jari-jari sirip tambahan berwarna
kuning terang dan sedikit hitam pada ujungnya. Penyebaran bigeye dari
perairan tropis ke subtropis yang biasanya berada pada kedalaman hingga 200
meter. Ukuran panjang bigeye dapat mencapai lebih dari 200 cm dengan
berat badan maksimal 200 kg.
3)
Atlantic Bluefin (Thunnus thynnus)
Panjang total atlantic bluefin maksimal
hingga 458 cm dengan berat badan maksimal 684 kg. Ikan ini bersifat pelagis dan
oceanodromus. Ikan ini biasanya berada pada lapisan kedalaman antara
0-100 m. Pada perairan sebelah barat Atlantik, Atlantic Bluefin ditemukan
di perairan Kanada, Teluk Meksiko, dan Laut Karibia hingga Venezuela dan
Brazil. Ikan ini juga ditemukan menyebar pada perairan timur Atlantik, termasuk
Mediterania dan Laut Hitam, namun ikan tuna jenis ini tidak terdapat di Indonesia.
Sirip punggung kedua dari Atlantic Bluefin lebih tinggi dari sirip
punggung yang pertama. Sirip dada sangat pendek kurang dari 80% panjang kepala,
sisi bawah perut berwarna putih.
4)
Pacific Bluefin (Thunnus oreintalis)
Panjang cagak maksimal pacific bluefin hingga
300 cm dengan berat maksimal 198 kg, bersifat pelagis dan oceanodromus,
namun pada musimmusim tertentu mendekat ke pesisir pada perairan pasifik utara
(Teluk Alaska-selatan California, dan dari Pulau Saklir hingga selatan Laut
Filiphina). Ikan tuna jenis ini tidak terdapat di perairan Indonesia. Feeding
habit ikan pacific bluefin adalah sebagai predator dengan memangsa
bermacam schooling kecil ikan atau cumi-cumi, juga kepiting dan
organisme sesil.
5)
Southern Bluefin (Thunnus maccoyii)
Tuna jenis southern bluefin merupakan salah
satu jenis ikan terbesar, sirip dadanya sangat pendek (kurang dari 80% panjang
kepala), dan tidak pernah mencapai jarak antara kedua sirip punggung. Warna
bagian bawah perut putih keperakan dengan garis melintang yang tidak berwarna
berselangselang dengan deretan bintik yang tidak berwarna, hal ini akan
terlihat pada southern bluefin dalam keadaan segar. Southern bluefin menyebar
di seluruh bagian selatan dan Samudera Hindia pada suhu 5-10 0C.
Ikan ini bersifat epipelagic dan oceanic di air bersuhu dingin.
Ikan ini bertelur dan berlarva pada suhu 20-300C. Ikan dewasa secara
musiman beruaya ke daerah hangat pada kedalaman hingga 50 meter di bawah
permukaan air. Panjang maksimal ikan ini mencapai 160-200 cm.
6)
Yellowfin (Thunnus albacares)
Yellowfin tuna termasuk
jenis ikan berukuran besar, mempunyai dua sirip dorsal dan sirip anal yang
panjang. Sirip dada (pectoral fin) melampaui awal sirip punggung
(dorsal) kedua, tetapi tidak melampaui pangkalnya. Ikan tuna jenis ini bersifat
pelagic, oceanic, berada di atas dan di bawah termoklin. Ikan
jenis yellowfin biasanya membentuk schooling (gerombolan) di
bawah permukaan air pada kedalaman kurang dari 100 meter. Ukuran panjang yellowfin
dapat mencapai lebih dari 200 cm dengan rata-rata 150 cm, berat badan
maksimal 200 kg.
2.2
Tingkah Laku Ikan Tuna
Ikan tuna biasa dalam schooling (bergerombol)
saat mencari makan, jumlah schooling bisa terdiri dari beberapa ekor
maupun dalam jumlah banyak (Nakamura, 1969 dalam
Ma’arif, 2011). Kondisi lingkungan (faktor-faktor fisika dan kimia)
perairan berpengaruh terhadap pergerakan (migrasi) ikan tuna, namun pergerakan
ikan tuna dewasa lebih disebabkan oleh naluri (instinct)-nya dalam
mendapatkan (mengejar) makanan. Ikan-ikan tuna kecil (stadium larva dan
juvenil), pergerakannya lebih banyak ditentukan oleh arus laut. Ikan tuna
berumur muda lebih menyenangi hidup di daerah-daerah perairan laut yang
berkadar garam (salinitas) relatif rendah, seperti perairan dangkal di sekitar
pantai (Dahuri, 2008).
Aktivitas harian erat hubungannya dengan aktivitas
mencari makan, albacore memburu mangsa pada siang hari, terkadang juga
pada malam hari dengan puncak keaktifan pada pagi dan sore hari (Gunarso, 1985 dalam Ma’arif, 2011).
Ikan tuna biasanya membentuk gerombolan (schooling)
pada saat ikan tersebut aktif mencari makanan. Bila ikan tersebut aktif mencari
makan, maka gerombolan tersebut bergerak dengan cepat sambil melocat-loncat di
permukaan air (Amiruddin, 1993 dalam Nababan,
2008). Gerombolan ikan tuna bermigrasi untuk memenuhi tuntutan dari siklus
hidupnya dan untuk menghindari tekanan kondisi lingkungan perairan dimana ikan
ini berada. Hela dan Laevastu
(1970) dalam Nababan (2008)
mengatakan faktor oseanografi yang mempengaruhi pola distribusi jenis ikan tuna
adalah suhu, arus, dan salinitas.
Ikan tuna bergerak cepat melawan arus dan rakus
terhadap makanan. Ikan tuna bersifat epipelagis, oseanik, dan peruaya jarak
jauh. Tuna sangat menyenangi daerah dimana terjadi pertemuan arus atau arus
konvergensi yang banyak terjadi pada daerah yang mempunyai banyak pulau. Selain
itu, tuna juga menyenangi pertemuan antara arus panas dan arus dingin serta
daerah upwelling. Penyebaran tuna secara vertikal terdapat mulai dari
permukaan sampai kedalaman 260 m pada siang hari, sedangkan pada malam hari
akan menuju permukaan (migrasi diurnal). Penyebaran geografis tuna terdapat
terutama pada perairan tropis dan perairan panas di daerah lintang sedang
(Nababan, 2008).
2.3
Penyebaran dan Ruaya Ikan Tuna
Penyebaran jenis-jenis tuna tidak dipengaruhi oleh
perbedaan bujur melainkan dipengaruhi oleh perbedaan lintang (Nakamura, 1969 dalam Ma’arif, 2011). Di perairan
Indonesia, yellowfin tuna dan bigeye tuna didapatkan di perairan
pada daerah antara 150LU–150LS, dan melimpah pada daerah
antara 0-150LS seperti daerah pantai Selatan Jawa dan Barat Sumatera
(Nurhayati, 1995). Penyebaran ikan-ikan tuna di kawasan barat Indonesia
terutama terdapat di perairan Samudra Hindia. Di perairan ini, terjadi
percampuran antara perikanan tuna lapis dalam, yang dieksploitasi dengan alat
rawai tuna, dengan perikanan tuna permukaan yang dieksploitasi menggunakan alat
tangkap pukat cincin, gillnet, tonda dan payang (Sedana, 2004 dalam Ma’arif, 2011).
Menurut Anggraenia (2010), penyebaran ikan tuna dibagi menjadi beberapa
daerah, adapun daerah-daerah tempat penyebaran ikan tuna adalah:
1. Samudera
Hindia (termanfaatkan 48,74 %
2. Laut
Sulawesi : termanfaatkan 87,54 %
3. Laut
Arafura : termanfaatkan 67,93 %
4. Laut
Banda : termanfaatkan 27,95 %
5. Laut
seram : termanfaatkan 35,17 %
Ikan tuna ditemukan di seluruh lautan di dunia, kecuali di daerah kutub.
Habitat ikan tuna berada di lapisan atas dan tengah dari laut sampai kedalaman
1600 kaki atau lebih 500 m. Ikan tuna bersifat highly migratory species dan merupakan pemangsa tangkas : ikan
kecil seperti herring, cod, cumi dan udang. Cara penangkapannya: tuna long line
atau rawai tuna, purse seine, pole, dan trolling. Tuna dari Indonesia berkadar
lemak rendah karena hidup di perairan yang panas. Daerah penangkapan tuna
antara lain sekitar perairan Samudera Hindia, Sumatera, Sulawesi Utara, Irian
Jaya dan Maluku. Perairan Maluku terutama Laut Banda dan sekitarnya merupakan
basis migrasi berbagai jenis tuna terbesar di Asia Tenggara. Hidup di laut
lepas dan dekat di permukaan. Panjang maksimum mencapai 195 cm, umumnya
50-150 cm, pemakan ikan cumi-cumi dan udang (Anggraenia, 2010).
2.4
Kondisi Oseanografis yang Mempengaruhi Keberadaan Ikan Tuna
Pola kehidupan ikan tidak bisa dipisahkan dari
adanya berbagai kondisi lingkungan. Fluktuasi keadaan lingkungan
mempunyai pengaruh yang besar terhadap periode migrasi musiman serta
terdapatnya ikan di suatu tempat. Pengaruh suhu terhadap tingkah laku
ikan akan terlihat jelas pada waktu ikan melakukan pemijahan. Setiap
ikan mempunyai kisaran suhu tertentu untuk melakukan pemijahan, bahkan
mungkin dengan suatu siklus musiman yang tertentu pula. Faktor
oseanografi yang secara langsung mempengaruhi keberadaan ikan tuna yaitu
suhu, arus dan salinitas perairan (Gunarso, 1985 dalam Limbong, 2008).
Tiga faktor lingkungan perairan laut yang
mempengaruhi kehidupan ikan tuna adalah suhu, arus, dan salinitas. Secara umum,
ikan tuna dapat tumbuh dan berkembang biak secara optimal pada perairan laut
dengan kisaran suhu 200C–300C. Sebagai perairan laut
tropis yang mendapatkan curahan sinar matahari sepanjang tahun, massa air
permukaan laut Indonesia memiliki suhu rata-rata tahunan 270C–280C,
dengan fluktuasi relatif kecil. Artinya, ikan tuna bisa berada di perairan laut
Indonesia sepanjang tahun. Bahkan diperkirakan, perairan laut Indonesia menjadi
salah satu tujuan migrasi utama gerombolan ikan tuna, baik yang berasal dari
belahan bumi selatan (Samudra Hindia) maupun dari belahan bumi utara (Samudra
Pasifik) (Dahuri, 2008).
Suhu permukaan laut dapat digunakan sebagai salah
satu cara untuk menduga keberadaan organisme di suatu perairan, khususnya ikan.
Hal ini karena sebagian besar organisme bersifat poikilotermik. Tinggi
rendahnya suhu permukaan laut pada suatu perairan terutama dipengaruhi oleh
radiasi. Perubahan intensitas cahaya akan mengakibatkan terjadinya perubahan
suhu air laut baik horizontal, mingguan, bulanan maupun tahunan. Pengaruh suhu
secara langsung terhadap kehidupan di laut adalah dalam laju fotosintesis
tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologi hewan, khususnya derajat metabolisme dan
siklus reproduksi. Secara tidak langsung suhu berpengaruh terhadap daya larut
oksigen yang digunakan untuk respirasi biota laut (Edmondri, 1999 dalam Limbong, 2008).
Pengaruh suhu terhadap tingkah laku ikan akan
terlihat jelas pada waktu ikan melakukan pemijahan. Setiap ikan mempunyai
kisaran suhu tertentu untuk melakukan pemijahan, bahkan mungkin dengan suatu
siklus musiman yang tertentu pula (Gunarso, 1985 alam Limbong, 2008).
Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang
dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan dalam densitas air laut, gerakan
bergelombang panjang dan arus yang disebabkan oleh pasang surut. Angin yang
berhebus di perairan Indonesia terutama adalah angin musim yang dalam setahun
terjadi dua kali pembalikan arah yang mantap, masing-masing disebut angin barat
dan angin timur (Nontji, 2005). Penyebaran ikan cakalang sering mengikuti
penyebaran atau sirkulasi arus. Daerah pertemuan antara arus panas dan arus
dingin merupakan daerah yang banyak organisme dan diduga daerah tersebut
merupakan fishing ground yang baik bagi perikanan cakalang.
Peranan arus terhadap tingkah laku ikan menurut Hela and Laevastu (1970)
dalam Nababan (2008) adalah sebagai
berikut :
1)
Arus mengangkat telur-telur ikan dan
anak-anak ikan dari spawning ground ke nursery ground dan
selanjutnya dari nursery ground ke feeding ground;
2)
Migrasi ikan dewasa dapat dipengaruhi
oleh arus yaitu sebagai alat orientasi;
3)
Tingkah laku ikan diurnal juga
dipengaruhi oleh arus, khususnya oleh arus pasang surut;
4)
Arus, khususnya pada daerah-daerah batas
alih perairan berbeda mempengaruhi distribusi ikan dewasa dimana pada daerah
tersebut terdapat makanan ikan; dan
5)
Arus dapat mempengaruhi aspek-aspek
lingkungan dan secara tidak langsung menentukan spesies-spesies tertentu dan
bahkan membatasi distribusi spesies tersebut secara geografis.
Nontji (1993) menyatakan bahwa salinitas merupakan
salah satu perameter yang berperan penting dalam sistem ekologi laut. Beberapa
jenis organisme ada yang bertahan dengan perubahan nilai salinitas yang besar (euryhaline)
dan ada pula organisme yang hidup pada kisaran nilai salinitas yang sempit (stenohaline).
Salinitas dapat dipergunakan untuk menentukan karakteristik oseanografi,
selanjutnya dapat dipergunakan untuk memperkirakan daerah penyebaran populasi
ikan tuna di suatu perairan.
Ikan tuna hidup pada perairan dengan kadar salinitas
antara 33-35 o/oo. Tuna banyak ditemukan pada perairan
dengan salinitas permukaan berkisar antara 32-35 o/oo dan
jarang ditemui pada perairan dengan salinitas rendah (Suharto, 1992 dalam Limbong 2008). Gunarso (1985) dalam Limbong (2008) mengemukakan bahwa
tuna hidup pada perairan dengan kadar salinitas antara 33-35 o/oo
dan jarang dijumpai pada perairan dengan kadar salinitas yang lebih rendah atau
tinggi dari itu. Blackburn (1965) dalam Limbong
(2008) menyatakan bahwa salinitas perairan yang biasa dihuni oleh beberapa
jenis tuna berbeda-beda, yaitu 18-38 o/oo untuk
madidihang dan tuna sirip biru, 33-35 o/oo untuk tuna
albakor dan 32-35 o/oo untuk cakalang.
2.5 Teknologi Penangkapan Ikan Tuna
Ramah Lingkungan
Teknologi penangkapan Ikan tuna
ramah lingkungan adalah seperangkat alat, teknik/cara atau proses yang
digunakan untuk mempermudah segala pekerjaan dalam memenuhi kebutuhan dalam
penangkapan ikan, tentunya dengan metode-metode yang tidak berdampak negatif
terhadap lingkungan, seperti dengan polusi, dan pengurasan sumberdaya alam,
atau secara garis besar upaya penangkapan ikan tersebut dilakukan dengan
bijaksana, terarah, terukur, terencana, serta bertanggungjawab demi
keberlanjutan ekosistem sumberdaya perikanan dengan tujuan untuk meningkatkan
taraf hidup. Menurut Djamani (2013), teknologi penangkapan ikan merupakan
terapan dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Teknologi penangkapan ikan
terdiri dari enam aspek yang saling berhubungan, yaitu:
- Teknologi bahan dan peralatan penangkapan ikan (fishing gear and materials)
- Teknologi kapal penangkapan ikan dan perlengkapannya (fishing vessels and auxiliaries)
- Metode dan operasi penangkapan ikan (fishing methods and operations)
- Ilmu tingkah laku ikan (fish behavior)
- Teknologi pendeteksian dan penentuan posisi ikan (fish detection and location)
- Teknologi pengembangan perikanan tangkap (identification and development of new fisheries)
Menurut Onthoni (2010), dalam rangka mendayagunakan
potensi perikanan secara optimal sebagai ujung tombak perekonomian daerah, maka
kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan diarahkan untuk :
1) Memanfaatkan
sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan.
2) Meningkatkan
penerimaan devisa negara dari ekspor hasil perikanan.
3) Meningkatkan
kesejahteraan nelayan.
4) Meningkatkan
kecukupan gizi dari hasil perikanan.
5) Meningkatkan
penyerapan tenaga kerja di bidang kelautan dan perikanan.
Untuk pencapaian tujuan yang telah digariskan, maka
perlu adanya dukungan kebijakan pemerintah terhadap beberapa komponen yang
mencakup kebijakan tentang infrastruktur, kebijakan sumberdaya nelayan,
kebijakan perikanan tangkap, kebijakan perikanan budidaya, kebijakan pemasaran
hasil perikanan, serta pembangunan dan pengembangan pelabuhan perikanan
(Onthoni, 2010).
Secara umum, teknologi ramah lingkungan adalah
teknologi yang hemat sumberdaya lingkungan (meliputi bahan baku material,
energi dan ruang), dan karena itu juga sedikit mengeluarkan limbah (baik padat,
cair, gas, kebisingan maupun radiasi) dan rendah resiko menimbulkan bencana.
Penggunaan kapal perikanan modern yang lebih ramah lingkungan perlu
dikembangkan, yakni yang menggunakan mesin dan sekaligus layar mekanis. Layar
dapat dikembangkan otomatis jika arah dan kecepatan angin menguntungkan.
Penggunaan energi angin dapat menghemat bahan bakar hingga 50%. Teknologi
energi dan transportasi yang ramah lingkungan termasuk yang saat ini paling
dilindungi oleh industri negara maju dan karenanya paling mahal. Namun,
teknologi modern yang ramah lingkungan ini sangat diperlukan dalam pengelolaan
sumber daya laut meskipun mengeluarkan biaya yang tidak sedikit (Onthoni,
2010).
2.6 Tingkat Eksploitasi Ikan Tuna di Indonesia
Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 29/MEN /2012 disebutkan
bahwa pengertian perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari
pra produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu
sistem bisnis perikanan. Dewasa ini aktifitas perikanan mulai menurun,
berdasarkan data dari Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) hasil
produksi ikan tuna 5 tahun terakhir ini terus menurun. Pada tahun 2013
hasil tangkapan ikan tuna yang diekspor sekitar 7.322 ton, sedangkan tahun 2012
sebanyak 9.085 ton. Artinya ada penurunan sekitar 24 persen. Sementara
untuk produksi tahun 2011 sekitar 13.444 ton, bila dibandingkan dengan produksi
ikan tuna tahun 2010 mengalami penurunan sekitar 46,15 persen. Sedangkan
produksi tahun 2009 sekitar 21.780 ton, bila dibandingkan dengan tahun 2008
mengalami kenaikan sekitar 5.000 ton. Penurunan produksi ikan tuna ini
disebabkan karena memang tingginya eksploitasi tuna oleh para nelayan tanpa
dibarengi kegiatan konservasi.
Pada wilayah pengelolaan perikanan
indonesia, status tingkat eksploitasi tuna jenis albakor, mandidihang, mata
besar dan sirip biru sudah sangat meemprihatinkan dengan status tereksploitasi
penuh bahkan hingga tereksploitasi secara berlebih. Bahkan untuk saat ini hanya
tuna jenis cakalang yang masih dalam
status tereksploitasi sedang atau
moderat. Dengan status eksploitasi yang
mengkhawatirkan menyebabkan terjadinya pnurunan produksi tuna. Selanjutnya akan
mengancam keberlangsungan mata pencaharian sebagian besar nelayan yang
menangkap tuna. Tidak hanya itu,
bagi pebisnis tuna juga akan
mengalami kerugian karena bisns ekspor tuna
terhenti karena tidak adanya
ikan karena terjadi penurunan populasi. Untuk
itu perlu dilakukan usaha dari
berbagai pihak untuk mengatasi masalah
pengeksploitasian berlebih pada
ikan tuna ini (Arianto, 2014).
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan beberapa uraian
di atas maka dapat disimpulkan
bebrapa poin penting,
diantaranya adalah:
1)
Potensi perikanan tuna yang ada di Indonesia sebesar
191.558 ton.
2)
Produksi ikan tuna beberapa tahun terakhir selalu
mengalami penurunan yaitu tahun 13.444 ton pada 2011, 9.085 ton pada 2012,
7.322 ton pada 2013. Penurunan jumlah produksi diakibatkan menurunnya
populasi karena eksploitasi berlebih terhadap ikan tuna.
3)
Perikanan tuna yang ramah lingkungan
adalah sistem perikanan yang harus memperhatikan jenis alat tangkap yang
digunakan serta lebih menjaga lingkungan perairan yang menjadi target
penangkapan tuna.
3.2 Saran
Perlunya pengawasan pemerintah dan
lembaga-lembaganya terhadap kegiatan perikanan serta sektor usaha yang
berkaitan dengan ikan tuna. Sehingga proses produksi tidak terjadi
penurunan bahkan mengalami peningkatan tanpa merusak keseimbangan yang
ada di lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraenia. 2010. Perikanan Tuna.
http://anggraenia08.student.ipb.ac.id/ 2010/06/19/13/. (Diakses 25 Februari
2015).
Arianto. 2014. Peran Pemerintah terhadap
Eksploitasi Ikan Tuna.
http://www.academia.edu/8898431/Peran_Pemerintah_terhadap_eksploitasi_ikan_Tuna.
(Diakses 25 Februari 2015).
Dahuri
R. 2008. Restrukturisasi Manajemen Perikanan Tuna. Jakarta: Samudra Komunikasi Utama.
Direktorat Jenderal Perikanan, 1983. Sumberdaya
Perikanan Laut di Indonesia. Jakarta.
Djamani. 2013. Teknologi Penangkapan Ikan Ramah
Lingkungan.
http://rianjuanda.blogspot.com/2013/04/teknologi-penangkapan-ikan-ramah.html.
(Diakses 20 Februari 2015).
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan.
2005. Revitalisasi Perikanan. Jakarta: DKP.
______Departemen
Kelautan dan Perikanan. 2006. Panduan Jenis-jenis penangkapan ikan yang ramah
lingkungan. Jakarta: DKP.
______Departemen
Kelautan dan Perikanan. 2008. Statistik Ekspor Hasil Perikanan 2007. Jakarta:
DKP.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
RI Nomor KEP.29/MEN/2012. Pedoman Perikanan Laut di Indonesia.
Limbong. M. 2008. Pengaruh Suhu
Permukaan Laut Terhadap Jumlah dan Ukuran Hasil Tangkapan Ikan Cakalang di
Perairan Teluk Pelabuhanratu Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.
Lintang. C.J., Labaro. I.L., dan
Telleng. 2012. Kajian Musim Penangkapan Ikan dengan Alat Tangkap Hand Line di Laut Maluku. Jurnal Ilmu
dan Teknologi Perikanan Tangkap
Ma’arif. 2011. Evaluasi Kegiatan Perikanan Pancing Tonda Di pacitan terhadap kelestarian
Sumberdaya ikan tuna. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.
Nababan.B.
2008. Analisis Sebaran Konsentrasi Klorofil-a dalam Kaitannya dengan Jumlah
Hasil Tangkapan Ikan Cakalang di Perairan Binuangeun Banten. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta:
Penerbit Djambatan.
Nurhayati
I. 1995. Analisis Hubungan antara Suhu Permukaan Laut dengan Daerah dan Musim Penangkapan Tuna di Perairan
Selatan Jawa Sumbawa. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Onthoni. J.C.
2010. Analisis Penggunaan Bom Dalam
Penangkapan Ikan Di Kecamatan Kao Utara Kabupaten Halmahera Utara. Skripsi. Intitut Pertanian Bogor. Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar