Music

Kamis, 09 April 2015

ANALISIS PERIKANAN TUNA RAMAH LINGKUNGAN


ANALISIS PERIKANAN TUNA RAMAH LINGKUNGAN






OLEH
SANDRY DJUNAIDI


FORUM KAJIAN PENELITI PERIKANAN
KOMUNITAS DEHETO HULONTHALO
FISHERIES OF RESEARCH
2015


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perairan laut Indonesia kaya dengan sumberdaya ikan tuna karena terletak di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia yang merupakan habitat utama ikan tuna. Wilayah perairan laut Indonesia, yang meliputi perairan pesisir (pedalaman), perairan teritorial, perairan laut dalam, dan ZEEI merupakan jalur migrasi beberapa jenis ikan tuna (Dahuri, 2008).
Sumber daya ikan tuna yang memiliki nilai ekonomis penting, banyak tersebar hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia. Nilai ekonomis yang dimiliki ikan tuna menjadikannya sebagai salah satu komoditas utama dari sub sektor perikanan yang berguna untuk konsumsi ikan skala lokal maupun ekspor.  (DKP, 2005). Potensi ikan tuna di perairan Indonesia masih cukup besar. Hal ini ditunjukkan dengan volume produksi ikan tuna pada tahun 2007 yaitu sebesar 191.558 ton (DKP, 2008).
Salah satu cara meningkatkan produksi tuna adalah melalui peningkatan unit upaya (effort) yaitu dengan mengerahkan unit atau armada penangkapan ikan menuju lokasi yang diduga padat populasinya. Agar tetap terjaga kelestariannya diperlukan pengelolaan secara rasional yaitu meliputi pendugaan musim ikan dan bagaimana perubahannya sebagai respon dari kegiatan eksploitasi (Lintang., dkk., 2012).
Untuk dapat memanfaatkan sumberdaya ikan tuna secara optimal dan berkelanjutan, diperlukan kajian yang konprehensif terhadap usaha nelayan di lapangan, sehingga kekhawatiran akan degradasi daya dukung sumberdaya perikanan dimasa mendatang dapat teratasi. Selain itu, di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua unit penangkapan ikan yang dipakai nelayan memenuhi kriteria bertanggung jawab. Jika alat yang dipakai tidak ramah lingkungan, maka keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan tuna perlu dipertanyakan. Sehingganya perlu adanya pengetahuan tentang perikanan tuna yang ramah lingkungan dan dapat memberikan informasi bahwa pentingnya untuk menjaga kelestarian lingkungan khususnya di perikanan tuna.

1.2 Tujuan
            Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui analisis perikanan tuna yang ramah lingkungan.

1.3 Manfaat
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai:
1)       Informasi bagi nelayan mengenai perikananan tuna yang yang ramah lingkungan
2)       Informasi bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan pengelolaan perikanan tuna yang ramah lingkungan.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tuna
Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scombroidae, tubuhnya seperti cerutu. Mempunyai dua sirip pungung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang. Mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh ujung hipural. Tubuh ikan tuna tertutup oleh sisik-sisik kecil, berwarna biru tua dan agak gelap pada bagian atas tubuhnya, sebagian besar memiliki sirip tambahan yang berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap (Ditjen Perikanan, 1983).
Tuna termasuk perenang cepat dan terkuat di antara ikan-ikan yang berangka tulang. Penyebaran ikan tuna mulai dari laut merah, laut India, Malaysia, Indonesia dan sekitarnya. Juga terdapat di laut daerah tropis dan daerah beriklim sedang (Djuhanda, 1981 dalam Ma’arif 2011). Adapun beberapa species ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Beberapa spesies ikan tuna (Sumber : Ma’arif 2011).
Menurut Saanin (1984) dalam Ma’arif (2011), ikan tuna diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Pisces
Ordo: Percomorphi
Famili: Scombridae
Species: Thunnus alalunga
Thunnus obesus
Thunnus thynnus
Thynnus oreintalis
Thunnus maccoyii
Thunnus albacores

Menurut Collette (1994) dalam Ma’arif (2011), ikan tuna dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Albacore (Thunnus alalunga)
Ikan tuna jenis ini membentuk busur kuat ke arah belakang dibanding dengan jenis ikan tuna lain. Sirip dada sangat panjang mencapai 30% panjang tubuh atau berkisar lebih dari 50 cm. Albacore tersebar di semua perairan tropik dan perairan-perairan bersuhu sedang. Ikan ini bersifat epipelagik, mesopelagik, dan oceanic. Tempat penyebarannya pada kedalaman antara 300 m dan maksimal pada 600 m. Ukuran panjang badan maksimal tuna ini adalah 120 cm dengan berat badan maksimal 60 kg.
2) Bigeye (Thunnus obesus)
Bigeye merupakan salah satu jenis ikan tuna dengan ukuran besar, sirip dada cukup panjang pada individu yang besar dan dapat menjadi sangat panjang pada ukuran tuna yang masih kecil. Warna bagian bawah perut putih, garis-garis sisi seperti sabuk biru yang membujur di sepanjang badan. Ikan tuna jenis bigeye ini memiliki dua sirip punggung (D1) berwarna kuning terang sedangkan sirip punggung dua (D2) berwarna kuning muda. Jari-jari sirip tambahan berwarna kuning terang dan sedikit hitam pada ujungnya. Penyebaran bigeye dari perairan tropis ke subtropis yang biasanya berada pada kedalaman hingga 200 meter. Ukuran panjang bigeye dapat mencapai lebih dari 200 cm dengan berat badan maksimal 200 kg.
3) Atlantic Bluefin (Thunnus thynnus)
Panjang total atlantic bluefin maksimal hingga 458 cm dengan berat badan maksimal 684 kg. Ikan ini bersifat pelagis dan oceanodromus. Ikan ini biasanya berada pada lapisan kedalaman antara 0-100 m. Pada perairan sebelah barat Atlantik, Atlantic Bluefin ditemukan di perairan Kanada, Teluk Meksiko, dan Laut Karibia hingga Venezuela dan Brazil. Ikan ini juga ditemukan menyebar pada perairan timur Atlantik, termasuk Mediterania dan Laut Hitam, namun ikan tuna jenis ini tidak terdapat di Indonesia. Sirip punggung kedua dari Atlantic Bluefin lebih tinggi dari sirip punggung yang pertama. Sirip dada sangat pendek kurang dari 80% panjang kepala, sisi bawah perut berwarna putih.
4) Pacific Bluefin (Thunnus oreintalis)
Panjang cagak maksimal pacific bluefin hingga 300 cm dengan berat maksimal 198 kg, bersifat pelagis dan oceanodromus, namun pada musimmusim tertentu mendekat ke pesisir pada perairan pasifik utara (Teluk Alaska-selatan California, dan dari Pulau Saklir hingga selatan Laut Filiphina). Ikan tuna jenis ini tidak terdapat di perairan Indonesia. Feeding habit ikan pacific bluefin adalah sebagai predator dengan memangsa bermacam schooling kecil ikan atau cumi-cumi, juga kepiting dan organisme sesil.
5) Southern Bluefin (Thunnus maccoyii)
Tuna jenis southern bluefin merupakan salah satu jenis ikan terbesar, sirip dadanya sangat pendek (kurang dari 80% panjang kepala), dan tidak pernah mencapai jarak antara kedua sirip punggung. Warna bagian bawah perut putih keperakan dengan garis melintang yang tidak berwarna berselangselang dengan deretan bintik yang tidak berwarna, hal ini akan terlihat pada southern bluefin dalam keadaan segar. Southern bluefin menyebar di seluruh bagian selatan dan Samudera Hindia pada suhu 5-10 0C. Ikan ini bersifat epipelagic dan oceanic di air bersuhu dingin. Ikan ini bertelur dan berlarva pada suhu 20-300C. Ikan dewasa secara musiman beruaya ke daerah hangat pada kedalaman hingga 50 meter di bawah permukaan air. Panjang maksimal ikan ini mencapai 160-200 cm.
6) Yellowfin (Thunnus albacares)
Yellowfin tuna termasuk jenis ikan berukuran besar, mempunyai dua sirip dorsal dan sirip anal yang panjang. Sirip dada (pectoral fin) melampaui awal sirip punggung (dorsal) kedua, tetapi tidak melampaui pangkalnya. Ikan tuna jenis ini bersifat pelagic, oceanic, berada di atas dan di bawah termoklin. Ikan jenis yellowfin biasanya membentuk schooling (gerombolan) di bawah permukaan air pada kedalaman kurang dari 100 meter. Ukuran panjang yellowfin dapat mencapai lebih dari 200 cm dengan rata-rata 150 cm, berat badan maksimal 200 kg.

2.2 Tingkah Laku Ikan Tuna
Ikan tuna biasa dalam schooling (bergerombol) saat mencari makan, jumlah schooling bisa terdiri dari beberapa ekor maupun dalam jumlah banyak (Nakamura, 1969 dalam Ma’arif, 2011). Kondisi lingkungan (faktor-faktor fisika dan kimia) perairan berpengaruh terhadap pergerakan (migrasi) ikan tuna, namun pergerakan ikan tuna dewasa lebih disebabkan oleh naluri (instinct)-nya dalam mendapatkan (mengejar) makanan. Ikan-ikan tuna kecil (stadium larva dan juvenil), pergerakannya lebih banyak ditentukan oleh arus laut. Ikan tuna berumur muda lebih menyenangi hidup di daerah-daerah perairan laut yang berkadar garam (salinitas) relatif rendah, seperti perairan dangkal di sekitar pantai (Dahuri, 2008).
Aktivitas harian erat hubungannya dengan aktivitas mencari makan, albacore memburu mangsa pada siang hari, terkadang juga pada malam hari dengan puncak keaktifan pada pagi dan sore hari (Gunarso, 1985 dalam Ma’arif, 2011).
Ikan tuna biasanya membentuk gerombolan (schooling) pada saat ikan tersebut aktif mencari makanan. Bila ikan tersebut aktif mencari makan, maka gerombolan tersebut bergerak dengan cepat sambil melocat-loncat di permukaan air (Amiruddin, 1993 dalam Nababan, 2008). Gerombolan ikan tuna bermigrasi untuk memenuhi tuntutan dari siklus hidupnya dan untuk menghindari tekanan kondisi lingkungan perairan dimana ikan ini berada. Hela dan Laevastu (1970) dalam Nababan (2008) mengatakan faktor oseanografi yang mempengaruhi pola distribusi jenis ikan tuna adalah suhu, arus, dan salinitas.
Ikan tuna bergerak cepat melawan arus dan rakus terhadap makanan. Ikan tuna bersifat epipelagis, oseanik, dan peruaya jarak jauh. Tuna sangat menyenangi daerah dimana terjadi pertemuan arus atau arus konvergensi yang banyak terjadi pada daerah yang mempunyai banyak pulau. Selain itu, tuna juga menyenangi pertemuan antara arus panas dan arus dingin serta daerah upwelling. Penyebaran tuna secara vertikal terdapat mulai dari permukaan sampai kedalaman 260 m pada siang hari, sedangkan pada malam hari akan menuju permukaan (migrasi diurnal). Penyebaran geografis tuna terdapat terutama pada perairan tropis dan perairan panas di daerah lintang sedang (Nababan, 2008).

2.3 Penyebaran dan Ruaya Ikan Tuna
Penyebaran jenis-jenis tuna tidak dipengaruhi oleh perbedaan bujur melainkan dipengaruhi oleh perbedaan lintang (Nakamura, 1969 dalam Ma’arif, 2011). Di perairan Indonesia, yellowfin tuna dan bigeye tuna didapatkan di perairan pada daerah antara 150LU–150LS, dan melimpah pada daerah antara 0-150LS seperti daerah pantai Selatan Jawa dan Barat Sumatera (Nurhayati, 1995). Penyebaran ikan-ikan tuna di kawasan barat Indonesia terutama terdapat di perairan Samudra Hindia. Di perairan ini, terjadi percampuran antara perikanan tuna lapis dalam, yang dieksploitasi dengan alat rawai tuna, dengan perikanan tuna permukaan yang dieksploitasi menggunakan alat tangkap pukat cincin, gillnet, tonda dan payang (Sedana, 2004 dalam Ma’arif, 2011).
Menurut Anggraenia (2010), penyebaran ikan tuna dibagi menjadi beberapa daerah, adapun daerah-daerah tempat penyebaran ikan tuna adalah:
1. Samudera Hindia (termanfaatkan 48,74 %
2. Laut Sulawesi : termanfaatkan 87,54 %
3. Laut Arafura : termanfaatkan 67,93 %
4. Laut Banda : termanfaatkan 27,95 %
5. Laut seram : termanfaatkan 35,17 %
Ikan tuna ditemukan di seluruh lautan di dunia, kecuali di daerah kutub. Habitat ikan tuna berada di lapisan atas dan tengah dari laut sampai kedalaman 1600 kaki atau lebih 500 m. Ikan tuna bersifat highly migratory species dan merupakan pemangsa tangkas : ikan kecil seperti herring, cod, cumi dan udang. Cara penangkapannya: tuna long line atau rawai tuna, purse seine, pole, dan trolling. Tuna dari Indonesia berkadar lemak rendah karena hidup di perairan yang panas. Daerah penangkapan tuna antara lain sekitar perairan Samudera Hindia, Sumatera, Sulawesi Utara, Irian Jaya dan Maluku. Perairan Maluku terutama Laut Banda dan sekitarnya merupakan basis migrasi berbagai jenis tuna terbesar di Asia Tenggara. Hidup di laut lepas dan dekat di permukaan.  Panjang maksimum mencapai 195 cm, umumnya 50-150 cm, pemakan ikan cumi-cumi dan udang (Anggraenia, 2010).

2.4 Kondisi Oseanografis yang Mempengaruhi Keberadaan  Ikan Tuna
Pola kehidupan ikan tidak bisa dipisahkan dari adanya berbagai kondisi lingkungan. Fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai pengaruh yang besar terhadap periode migrasi musiman serta terdapatnya ikan di suatu tempat. Pengaruh suhu terhadap tingkah laku ikan akan terlihat jelas pada waktu ikan melakukan pemijahan. Setiap ikan mempunyai kisaran suhu tertentu untuk melakukan pemijahan, bahkan mungkin dengan suatu siklus musiman yang tertentu pula. Faktor oseanografi yang secara langsung mempengaruhi keberadaan ikan tuna yaitu suhu, arus dan salinitas perairan (Gunarso, 1985 dalam Limbong, 2008).
Tiga faktor lingkungan perairan laut yang mempengaruhi kehidupan ikan tuna adalah suhu, arus, dan salinitas. Secara umum, ikan tuna dapat tumbuh dan berkembang biak secara optimal pada perairan laut dengan kisaran suhu 200C–300C. Sebagai perairan laut tropis yang mendapatkan curahan sinar matahari sepanjang tahun, massa air permukaan laut Indonesia memiliki suhu rata-rata tahunan 270C–280C, dengan fluktuasi relatif kecil. Artinya, ikan tuna bisa berada di perairan laut Indonesia sepanjang tahun. Bahkan diperkirakan, perairan laut Indonesia menjadi salah satu tujuan migrasi utama gerombolan ikan tuna, baik yang berasal dari belahan bumi selatan (Samudra Hindia) maupun dari belahan bumi utara (Samudra Pasifik) (Dahuri, 2008).
Suhu permukaan laut dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menduga keberadaan organisme di suatu perairan, khususnya ikan. Hal ini karena sebagian besar organisme bersifat poikilotermik. Tinggi rendahnya suhu permukaan laut pada suatu perairan terutama dipengaruhi oleh radiasi. Perubahan intensitas cahaya akan mengakibatkan terjadinya perubahan suhu air laut baik horizontal, mingguan, bulanan maupun tahunan. Pengaruh suhu secara langsung terhadap kehidupan di laut adalah dalam laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologi hewan, khususnya derajat metabolisme dan siklus reproduksi. Secara tidak langsung suhu berpengaruh terhadap daya larut oksigen yang digunakan untuk respirasi biota laut (Edmondri, 1999 dalam Limbong, 2008).
Pengaruh suhu terhadap tingkah laku ikan akan terlihat jelas pada waktu ikan melakukan pemijahan. Setiap ikan mempunyai kisaran suhu tertentu untuk melakukan pemijahan, bahkan mungkin dengan suatu siklus musiman yang tertentu pula (Gunarso, 1985 alam Limbong, 2008).
Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan dalam densitas air laut, gerakan bergelombang panjang dan arus yang disebabkan oleh pasang surut. Angin yang berhebus di perairan Indonesia terutama adalah angin musim yang dalam setahun terjadi dua kali pembalikan arah yang mantap, masing-masing disebut angin barat dan angin timur (Nontji, 2005). Penyebaran ikan cakalang sering mengikuti penyebaran atau sirkulasi arus. Daerah pertemuan antara arus panas dan arus dingin merupakan daerah yang banyak organisme dan diduga daerah tersebut merupakan fishing ground yang baik bagi perikanan cakalang. Peranan arus terhadap tingkah laku ikan menurut Hela and Laevastu (1970) dalam Nababan (2008) adalah sebagai berikut :
1)        Arus mengangkat telur-telur ikan dan anak-anak ikan dari spawning ground ke nursery ground dan selanjutnya dari nursery ground ke feeding ground;
2)        Migrasi ikan dewasa dapat dipengaruhi oleh arus yaitu sebagai alat orientasi;
3)        Tingkah laku ikan diurnal juga dipengaruhi oleh arus, khususnya oleh arus pasang surut;
4)        Arus, khususnya pada daerah-daerah batas alih perairan berbeda mempengaruhi distribusi ikan dewasa dimana pada daerah tersebut terdapat makanan ikan; dan
5)        Arus dapat mempengaruhi aspek-aspek lingkungan dan secara tidak langsung menentukan spesies-spesies tertentu dan bahkan membatasi distribusi spesies tersebut secara geografis.
Nontji (1993) menyatakan bahwa salinitas merupakan salah satu perameter yang berperan penting dalam sistem ekologi laut. Beberapa jenis organisme ada yang bertahan dengan perubahan nilai salinitas yang besar (euryhaline) dan ada pula organisme yang hidup pada kisaran nilai salinitas yang sempit (stenohaline). Salinitas dapat dipergunakan untuk menentukan karakteristik oseanografi, selanjutnya dapat dipergunakan untuk memperkirakan daerah penyebaran populasi ikan tuna di suatu perairan.
Ikan tuna hidup pada perairan dengan kadar salinitas antara 33-35 o/oo. Tuna banyak ditemukan pada perairan dengan salinitas permukaan berkisar antara 32-35 o/oo dan jarang ditemui pada perairan dengan salinitas rendah (Suharto, 1992 dalam Limbong 2008). Gunarso (1985) dalam Limbong (2008) mengemukakan bahwa tuna hidup pada perairan dengan kadar salinitas antara 33-35 o/oo dan jarang dijumpai pada perairan dengan kadar salinitas yang lebih rendah atau tinggi dari itu. Blackburn (1965) dalam Limbong (2008) menyatakan bahwa salinitas perairan yang biasa dihuni oleh beberapa jenis tuna berbeda-beda, yaitu 18-38 o/oo untuk madidihang dan tuna sirip biru, 33-35 o/oo untuk tuna albakor dan 32-35 o/oo untuk cakalang.

2.5 Teknologi Penangkapan Ikan Tuna Ramah Lingkungan
Teknologi penangkapan Ikan tuna ramah lingkungan adalah seperangkat alat, teknik/cara atau proses yang digunakan untuk mempermudah segala pekerjaan dalam memenuhi kebutuhan dalam penangkapan ikan, tentunya dengan metode-metode yang tidak berdampak negatif terhadap lingkungan, seperti dengan polusi, dan pengurasan sumberdaya alam, atau secara  garis besar upaya penangkapan ikan tersebut dilakukan dengan  bijaksana, terarah, terukur, terencana, serta bertanggungjawab demi keberlanjutan ekosistem sumberdaya perikanan dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup. Menurut Djamani (2013), teknologi penangkapan ikan merupakan terapan dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Teknologi penangkapan ikan terdiri dari enam aspek yang saling berhubungan, yaitu:
  1. Teknologi bahan dan peralatan penangkapan ikan (fishing gear and materials)
  2. Teknologi kapal penangkapan ikan dan  perlengkapannya (fishing vessels and auxiliaries)
  3. Metode dan operasi penangkapan ikan (fishing methods and operations)
  4. Ilmu tingkah laku ikan (fish behavior)
  5. Teknologi pendeteksian dan penentuan posisi ikan (fish detection and location)
  6. Teknologi pengembangan perikanan tangkap (identification and development of new fisheries)
Menurut Onthoni (2010), dalam rangka mendayagunakan potensi perikanan secara optimal sebagai ujung tombak perekonomian daerah, maka kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan diarahkan untuk :

1)      Memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan.
2)      Meningkatkan penerimaan devisa negara dari ekspor hasil perikanan.
3)      Meningkatkan kesejahteraan nelayan.
4)      Meningkatkan kecukupan gizi dari hasil perikanan.
5)      Meningkatkan penyerapan tenaga kerja di bidang kelautan dan perikanan.

Untuk pencapaian tujuan yang telah digariskan, maka perlu adanya dukungan kebijakan pemerintah terhadap beberapa komponen yang mencakup kebijakan tentang infrastruktur, kebijakan sumberdaya nelayan, kebijakan perikanan tangkap, kebijakan perikanan budidaya, kebijakan pemasaran hasil perikanan, serta pembangunan dan pengembangan pelabuhan perikanan (Onthoni, 2010).
Secara umum, teknologi ramah lingkungan adalah teknologi yang hemat sumberdaya lingkungan (meliputi bahan baku material, energi dan ruang), dan karena itu juga sedikit mengeluarkan limbah (baik padat, cair, gas, kebisingan maupun radiasi) dan rendah resiko menimbulkan bencana. Penggunaan kapal perikanan modern yang lebih ramah lingkungan perlu dikembangkan, yakni yang menggunakan mesin dan sekaligus layar mekanis. Layar dapat dikembangkan otomatis jika arah dan kecepatan angin menguntungkan. Penggunaan energi angin dapat menghemat bahan bakar hingga 50%. Teknologi energi dan transportasi yang ramah lingkungan termasuk yang saat ini paling dilindungi oleh industri negara maju dan karenanya paling mahal. Namun, teknologi modern yang ramah lingkungan ini sangat diperlukan dalam pengelolaan sumber daya laut meskipun mengeluarkan biaya yang tidak sedikit (Onthoni, 2010).

2.6 Tingkat Eksploitasi Ikan Tuna di Indonesia
Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 29/MEN /2012 disebutkan bahwa pengertian perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan  pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari pra produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Dewasa ini aktifitas  perikanan mulai menurun, berdasarkan data dari Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) hasil  produksi ikan tuna 5 tahun terakhir ini terus menurun. Pada tahun 2013 hasil tangkapan ikan tuna yang diekspor sekitar 7.322 ton, sedangkan tahun 2012 sebanyak 9.085 ton. Artinya ada  penurunan sekitar 24 persen. Sementara untuk produksi tahun 2011 sekitar 13.444 ton, bila dibandingkan dengan produksi ikan tuna tahun 2010 mengalami penurunan sekitar 46,15 persen. Sedangkan produksi tahun 2009 sekitar 21.780 ton, bila dibandingkan dengan tahun 2008 mengalami kenaikan sekitar 5.000 ton. Penurunan produksi ikan tuna ini disebabkan karena memang tingginya eksploitasi tuna oleh para nelayan tanpa dibarengi kegiatan konservasi. 
Pada wilayah pengelolaan perikanan indonesia, status tingkat eksploitasi tuna jenis albakor, mandidihang, mata besar dan sirip biru sudah sangat meemprihatinkan dengan status tereksploitasi penuh bahkan hingga tereksploitasi secara berlebih. Bahkan untuk saat ini hanya tuna jenis cakalang yang masih dalam status tereksploitasi sedang atau moderat. Dengan status eksploitasi yang mengkhawatirkan menyebabkan terjadinya pnurunan produksi tuna. Selanjutnya akan mengancam keberlangsungan mata pencaharian sebagian besar nelayan yang menangkap tuna. Tidak hanya itu, bagi pebisnis tuna juga akan mengalami kerugian karena bisns ekspor tuna terhenti karena tidak adanya ikan karena terjadi penurunan populasi. Untuk itu perlu dilakukan usaha dari berbagai pihak untuk mengatasi masalah pengeksploitasian berlebih pada ikan tuna ini (Arianto, 2014).



BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan bebrapa poin penting, diantaranya adalah:
1)        Potensi perikanan tuna yang ada di Indonesia sebesar 191.558 ton.
2)        Produksi ikan tuna beberapa tahun terakhir selalu mengalami penurunan yaitu tahun 13.444 ton pada 2011, 9.085 ton pada 2012, 7.322 ton pada 2013. Penurunan jumlah  produksi diakibatkan menurunnya populasi karena eksploitasi berlebih terhadap ikan tuna.
3)        Perikanan tuna yang ramah lingkungan adalah sistem perikanan yang harus memperhatikan jenis alat tangkap yang digunakan serta lebih menjaga lingkungan perairan yang menjadi target penangkapan tuna.

3.2 Saran
Perlunya pengawasan pemerintah dan lembaga-lembaganya terhadap kegiatan perikanan serta sektor usaha yang berkaitan dengan ikan tuna. Sehingga proses produksi tidak terjadi  penurunan bahkan mengalami peningkatan tanpa merusak keseimbangan yang ada di lingkungan.




DAFTAR PUSTAKA
Anggraenia. 2010. Perikanan Tuna. http://anggraenia08.student.ipb.ac.id/ 2010/06/19/13/. (Diakses 25 Februari 2015).
Arianto. 2014. Peran Pemerintah terhadap Eksploitasi Ikan Tuna. http://www.academia.edu/8898431/Peran_Pemerintah_terhadap_eksploitasi_ikan_Tuna. (Diakses 25 Februari 2015).
Dahuri R. 2008. Restrukturisasi Manajemen Perikanan Tuna. Jakarta: Samudra Komunikasi Utama.
Direktorat Jenderal Perikanan, 1983. Sumberdaya Perikanan Laut di Indonesia.  Jakarta.
Djamani. 2013. Teknologi Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan. http://rianjuanda.blogspot.com/2013/04/teknologi-penangkapan-ikan-ramah.html. (Diakses 20 Februari 2015).
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Revitalisasi Perikanan. Jakarta: DKP.
______Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Panduan Jenis-jenis penangkapan ikan yang ramah lingkungan. Jakarta: DKP.
______Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Statistik Ekspor Hasil Perikanan 2007. Jakarta: DKP.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor KEP.29/MEN/2012. Pedoman Perikanan Laut di Indonesia.
Limbong. M. 2008. Pengaruh Suhu Permukaan Laut Terhadap Jumlah dan Ukuran Hasil Tangkapan Ikan Cakalang di Perairan Teluk Pelabuhanratu Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Lintang. C.J., Labaro. I.L., dan Telleng. 2012. Kajian Musim Penangkapan Ikan dengan Alat Tangkap Hand Line di Laut Maluku. Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap
Ma’arif. 2011. Evaluasi Kegiatan Perikanan Pancing Tonda Di pacitan terhadap kelestarian Sumberdaya ikan tuna. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Nababan.B. 2008. Analisis Sebaran Konsentrasi Klorofil-a dalam Kaitannya dengan Jumlah Hasil Tangkapan Ikan Cakalang di Perairan Binuangeun Banten. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Nurhayati I. 1995. Analisis Hubungan antara Suhu Permukaan Laut dengan Daerah dan Musim Penangkapan Tuna di Perairan Selatan Jawa Sumbawa. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Onthoni. J.C. 2010.  Analisis Penggunaan Bom Dalam Penangkapan Ikan Di Kecamatan Kao Utara Kabupaten Halmahera Utara. Skripsi. Intitut Pertanian Bogor. Bogor.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar